Wujudkan Kemandirian Obat Nasional Melalui Peran Farmakologi Translasional

Universitas Indonesia (UI) mengukuhkan Prof. Dr. Melva Louisa, S.Si, M.Biomed., sebagai guru besar tetap Fakultas Kedokteran (FK) bidang Farmakologi dan Terapeutik, Sabtu 7 September 2023. Pada kesempatan tersebut, ia membacakan pidato pengukuhannya yang berjudul “Peran Farmakologi Translasional dalam Pengembangan Obat Baru: Peran dan Pemanfaatannya dalam Mewujudkan Kemandirian Obat Nasional” di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba. Menurutnya, kemandirian obat merupakan aspek penting dalam memastikan ketersediaan dan aksesibilitas obat bagi masyarakat di suatu negara.

Di Indonesia, salah satu masalah utama adalah ketergantungan terhadap impor obat. Konsumsi obat dalam negeri yang tinggi perlu diikuti kapasitas produksi obat dalam negeri yang tinggi pula. “Dalam rangka mewujudkan kemandirian obat nasional, kita perlu mengoptimalkan peran Farmakologi Translasional dalam pengembangan obat baru. Farmakologi Translasional adalah bagian dari ilmu Farmakologi yang berhubungan dengan penerapan hasil penelitian molekuler dan praklinik ke aplikasi klinik. Farmakologi Translasional bertujuan untuk mengurangi tingkat kegagalan proses pengembangan obat, sehingga dapat mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk membawa obat baru ke pasar,” ujar Prof. Melva, dalam upacara pengukuhan yang dipimpin oleh Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D.

Lebih lanjut ia menyampaikan, dalam hal optimalisasi kandidat obat baru, farmakologi translasional dapat membantu mengidentifikasi senyawa aktif dari berbagai sumber. Penelitian di Departemen Farmakologi FKUI bersama dengan mahasiswa dan kolaborator, telah mempelajari beberapa kandidat obat dari bahan alam, di antaranya alfa mangostin, kurkumin, 6-gingerol, ekstrak Moringa oleifera (kelor) dan ekstrak Carthamus tinctorius (kasumba turate). Penelitian tersebut ditujukan untuk meningkatkan efek terapi atau menurunkan efek samping dari obat standar.

Selain kandidat obat, Prof. Melva mengatakan bahwa penentuan biomarker yang tepat, sangat penting dalam mendukung keberhasilan suatu uji klinik, karena hasilnya yang bersifat objektif. “Sebagai contoh, penelitian kami telah mengkaji manfaat KIM-1 dan NGAL sebagai penanda keamanan yang lebih baik dibanding ureum dan kreatinin sebagai penanda kerusakan ginjal tahap awal,” kata Prof. Melva.

Peran Farmakologi Translasional selanjutnya adalah optimalisasi personalized medicine, yaitu suatu pendekatan inovatif yang menggunakan informasi genomik, pengaruh lingkungan, dan gaya hidup untuk memandu manajemen pengobatan pasien. Contoh penggunaan obat yang membutuhkan informasi profil genetik tertentu adalah primakuin, 6-merkaptopurin dan klopidogrel, serta masih banyak lagi.

Namun, masih banyak tantangan penerapan personalized medicine, terutama dalam hubungannya dengan persetujuan dari regulator, tenaga kesehatan, perusahaan asuransi, dan pasien. Walaupun kenyataannya personalized medicine lebih baik dari pengobatan konvensional, namun pelaksanaannya akan membutuhkan investasi alat tertentu, yang menyebabkan biaya menjadi mahal. Oleh karena itu, riset pada Farmakologi Translasional, diharapkan dapat menjawab apakah informasi genetik tersebut bermakna secara klinis, efektif secara biaya, dan mudah diaplikasikan. Selain itu, diperlukan juga suatu kantor inkubator pengembangan obat di Universitas, yang menjembatani akademisi dengan industri, sebelum akhirnya dilakukan transfer teknologi ke industri farmasi.

Tantangan berikutnya dalam personalized medicine adalah minimnya data variasi genetik spesifik masyarakat Indonesia yang dapat dijadikan dasar untuk pengambilan keputusan. Riset mengenai variasi genetik dilakukan oleh banyak peneliti dengan jumlah sampel yang relatif kecil, sehingga tidak dapat mewakili populasi Indonesia yang beragam. Diperlukan pembentukan konsorsium nasional variasi genetik yang bertugas membuat rekomendasi sehubungan dengan interaksi gen-obat, berdasarkan data spesifik Indonesia.

Dalam hal pendidikan, dibutuhkan program komprehensif untuk mahasiswa sejak dari program sarjana dan pascasarjana, yang memperkenalkan kebutuhan keahlian untuk pengembangan obat baru, dengan memperhatikan masukan dari seluruh ekosistem pengembang obat. Dengan strategi dan investasi yang tepat, kemitraan yang strategis antara akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat, Indonesia tentu akan dapat mencapai kemandirian kesehatan, secara khusus kemandirian obat,” ujar Prof. Melva. Dalam pengukuhannya tersebut, tampak hadir Plt. Direktur Registrasi Obat Badan Pengawas Obat dan Makanan RI hadir Dra. Herawati, Apt, M.Biomed.; Dekan Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Prof. Dr. apt. Syamsudin, M.Biomed.; dan dua Guru Besar FK Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Dr. Mustofa, Apt, M.Kes., dan Prof. Dr. Dra. Erna Kristin, Apt, M.Si.

Prof. Melva menyelesaikan pendidikan Sarjana Sains di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI pada 1999. Masih di kampus yang sama, pada tahun 2000 ia berhasil meraih gelar Apoteker. Kemudian, ia melanjutkan dan menamatkan pendidikan magister dan doktor di FKUI dalam bidang Ilmu Biomedik pada 2006 dan 2012. Selama tahun 2023, Prof. Melva telah menerbitkan publikasi ilmiahnya, di antaranya berjudul Nanocurcumin preserves kidney function and haematology parameters in DMBA-induced ovarian cancer treated with cisplatin via its antioxidative and anti-inflammatory effect in rats; Moringa oleifera Leaves Extract Ameliorates Doxorubicin-Induced Cardiotoxicity via Its Mitochondrial Biogenesis Modulatory Activity in Rats; dan Attenuation of cisplatin-induced hepatotoxicity by nanocurcumin through modulation of antioxidative and anti-inflammatory pathways.

(Humas FKUI)