Universitas Indonesia kembali menorehkan prestasi kembali pada ajang International Genetically Engineered Machine Competition (iGEM) 2019 di Hynes Convention Center, Boston, Amerika Serikat pada 31 Oktober-4 November 2019 lalu. Lima belas mahasiswa UI lintas fakultas yang tergabung dalam tim iGEM UI berhasil mempersembahkan Gold Medal Prizes bagi Universitas Indonesia.
Pada kompetisi tersebut, tim UI diperkuat oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai program studi. Turut bangga, karena FKUI dapat bergabung untuk memperkuat tim. Tim gabungan UI terdiri dari Refael Alfa Budiman (Mahasiswa FK UI Angkatan 2017 yang sekaligus merupakan Ketua Tim iGEM UI), Gilbert Lazarus (FK UI 2017, Manajer Tim iGEM UI), Muhammad Farel Ferian (FK UI 2016), Khairunnisa Farina Ilato (FK UI 2016), Tannia Sembiring (FK UI 2016), Raysha Farah (FK UI 2017), Elvan Wiyarta (FK UI 2017), Eko Ngadiono (FK UI 2017), Vina Margaretha Miguna (FK UI 2017), Aditya Parawangsa (FK UI 2018), Syailendra Karuna Sugito (FK UI 2018), Andrew Prasetya (Fakultas Kesehatan Masyarakat UI), Valentino Prasetya (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI), Stanley Sebastian (Fakultas Ilmu Komputer UI), dan Eldwin Maidiono (Fakultas Teknik UI).
iGEM merupakan sebuah kompetisi sintetik biologi tahunan yang diadakan oleh iGEM Foundation, sebuah organisasi non-profit internasional yang berpusat di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Sejarah iGEM berawal dari student project yang dilakukan di kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang kemudian dikembangkan hingga akhirnya menjadi kompetisi sintetik biologi terbesar di dunia. Tahun ini, kompetisi iGEM melibatkan lebih dari 350 tim yang berasal dari seluruh dunia.
Pada iGEM 2019, tim iGEM UI membawakan proyek ilmiah mereka yang diberi judul ‘How I Met Diphtho’. Ide proyek ilmiah ini berangkat dari Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di pulau Jawa pada akhir 2017 lalu yang ternyata terulang lagi di tahun 2019, terutama untuk kawasan pulau Sumatera.
Pada saat kasus KLB kedua merebak, tim iGEM UI melakukan wawancara dengan beberapa dokter dan tenaga kesehatan yang turun langsung untuk menangani KLB. Hasilnya, para dokter dan tenaga kesehatan lainnya mengeluhkan diagnosis difteri yang cukup memakan waktu hingga sekitar 5 hari diagnosis bila menggunakan mekanisme biasa yaitu kultur bakteri.
Akibatnya, banyak pasien yang mengalami perawatan yang berlebihan (overtreatment), atau justru kurang perawatan (undertreatment). Dari permasalahan ini, tercetuslah ide untuk membuat alat diagnostik cepat difteri sebagai upaya menangkal masalah tersebut.
Penyakit difteri merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogenik Corynebacterium diphtheriae. Salah satu tanda khas dari infeksi ini adalah pembentukan pseudomembran di daerah faring, sehingga mengakibatkan penyumbatan napas dan kematian. Selain itu, bakteri difteri menghasilkan toksin yang dapat memasuki sel dengan berinteraksi melalui reseptor Heparin Binding like Epidermal Growth Factor (HB-EGF), serta memicu program kematian sel.
Ke lima belas mahasiswa tersebut kemudian berkolaborasi mengembangkan alat deteksi difteri dengan memanfaatkan bakteri Escherichia coli (E. coli) yang gennya sudah dimodifikasi. Seluruh proses penelitian mereka lakukan di bawah bimbingan Dr. dr. Budiman Bela, SpMK(K) (Departemen Mikrobiologi FK UI) serta dibantu oleh segenap tim peneliti dari Pusat Riset Virologi dan Kanker Patobiologi (PRVKP) FKUI.
“Secara singkat, proses pembuatannya yaitu kami memodifikasi reseptor yang ada pada E. coli sehingga dapat mengenali toksin difteri. Kami juga memodifikasi gen E. coli agar dapat menghasilkan warna. Jadi, idenya adalah ketika toksin difteri menempel di E. coli, E. Coli kemudian dapat menghasilkan warna sehingga proses diagnosisnya lebih mudah,” papar Khairunnisa Farina Ilato mewakili teman-teman.
Hasil dari proyek ilmiah inilah yang kemudian mereka bawa pada kompetisi iGEM 2019 dan dipresentasikan dalam bentuk poster dan oral presentation hingga akhirnya kembali meraih Gold Medal Prize seperti tahun sebelumnya.
“Saya berharap melalui proyek yang kami rancang ini, dapat ditemukan alat diagnostik terbaru yang dapat bermanfaat bagi masyarakat. Namun lebih dari itu, saya lebih mengharapkan adanya kemajuan bidang penelitian, terutama penelitian biologi sintetik di Indonesia,” ujar Refael Alfa Budiman, Ketua tim iGEM UI.
Prestasi bukanlah sebuah pencapaian yang mudah untuk diraih. Dibutuhkan tekad keras, ketekunan tanpa batas dan usaha yang tak mengenal lelah. Selamat bagi tim iGEM UI yang sudah berhasil mempersembahkan kemenangan di kompetisi ilmiah internasional. Maju terus FKUI! Maju terus UI!
(Humas FKUI)