Studi FKUI: Stigma Terhadap Orang dengan Tuberkulosis Dapat Tingkatkan Risiko Depresi dan Turunkan Kualitas Hidup

Masih tingginya angka Tuberkulosis (TB) di Indonesia mendesak upaya keras dari seluruh komponen masyarakat dan strategi yang komprehensif untuk mengatasinya. Upaya itu bukan hanya mencakup strategi diagnosis dan pengobatan dengan teknologi terbaru, tetapi juga memberikan perhatian khusus terhadap masalah psikososial yang menyertainya.

Studi terbaru yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) bekerja sama dengan Liverpool School of Tropical Medicine, UK, menunjukkan bahwa stigma terhadap orang-orang dengan TB meningkatkan risiko depresi dan menurunkan kualitas hidup mereka. Stigma terhadap orang dengan TB merupakan masalah sosial terbesar dan telah diakui sebagai tantangan kesehatan global dan menjadi hambatan utama dalam mencapai target eliminasi TB di tahun 2050 yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO).

Orang yang mengalami TB dianggap lebih rendah, menjijikkan, atau berasal dari keluarga miskin, sehingga mereka kerap malu untuk pergi berobat. Stigma TB berdampak negatif sehingga orang dengan TB khawatir menunjukkan dan melaporkan gejala yang mereka alami, takut mencari pengobatan, atau tidak menyelesaikan pengobatan yang sudah mereka lakukan karena takut didiskriminasi, baik di keluarga, lingkungan tetangga, maupun lingkungan kerja. Stigma TB yang berat, bahkan, dapat memperburuk kondisi mental.

“Kami menemukan bahwa orang dengan TB mengalami stigma, terutama berkaitan dengan perasaan bersalah akibat penyakit yang mereka alami. Mereka sering merasa sebagai beban bagi keluarga mereka dan merasa terisolasi, terutama karena takut memberi tahu orang lain tentang penyakit mereka. Ini tampaknya juga memicu masalah kesehatan mental mereka, termasuk depresi,” tutur dr. Ahmad Fuady, M.Sc, Ph.D, dosen dan peneliti FKUI yang merupakan penulis utama dan co-Principal Investigator dalam penelitian ini.

Studi yang telah dipublikasikan dalam PLoS Global Public Health ini menyurvei 612 orang dengan TB di Indonesia, negara yang menyumbang hampir satu dari 10 kasus TB di seluruh dunia, tetapi sebelumnya memiliki sedikit bukti tentang stigma TB dan dampaknya. Lebih dari setengah (61%) dari responden mengalami stigma TB sedang, yang paling umum terkait dengan perasaan bersalah tentang memiliki penyakit atau enggan untuk mengungkapkannya kepada orang lain, terutama di luar rumah tangga. Selain itu, gejala depresi teridentifikasi pada 42% partisipan studi. Adanya depresi ini secara signifikan berkaitan dengan stigma yang dialami oleh mereka.

Survei ini juga mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi akan dukungan psikososial, terutama yang diberikan oleh teman sebayanya (peer). Dukungan teman sebaya ini penting diberikan, termasuk oleh mereka yang telah menjalani pengobatan TB, atau sering disebut “survivor TB”, yang memiliki pengalaman langsung dengan efek psikososial penyakit ini.

“Hal penting lain dari studi ini adalah bahwa mereka menunjukkan kurangnya dukungan yang mereka harapkan dapat bermanfaat buat mereka, yaitu dukungan dari sesama mereka, para penyintas TB, baik yang bersifat personal maupun yang diberikan secara kelompok. Kami sangat berterima kasih kepada orang-orang dengan TB yang berbagi pengalaman mereka dan kepada tim penelitian kami yang teliti dalam menggambarkannya,” kata Ahmad Fuady.

Dr. Tom Wingfield dari Liverpool School of Tropical Medicine yang merupakan penulis senior dan co-Principal Investigator dalam penelitian ini menyebutkan, “Pada awal September 2023, kami menyelenggarakan lokakarya nasional di Indonesia, melibatkan orang-orang dengan TB, pembuat kebijakan, petugas kesehatan, dan peneliti. Kami menampilkan hasil studi kami dan, bersama-sama, merancang intervensi berbasis masyarakat untuk mengatasi stigma TB di Indonesia, yang dipimpin oleh sesama dan petugas kesehatan lokal. Kami sekarang sedang melakukan uji coba implementasi untuk mengevaluasi intervensi ini dalam studi yang disebut “TB-CAPS”, yang didanai oleh Public Health Intervention Development Award dari Medical Research Council, Inggris (MR/Y503216/1). Kami berharap intervensi kami akan mendukung pengurangan stigma TB dan peningkatan kesehatan mental serta hasil lainnya bagi orang-orang dengan TB di Indonesia.”

Studi yang dilakukan merupakan kolaborasi nasional dan internasional FKUI yang didanai oleh Medical Research Council dan Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. Kerja sama nasional secara spesifik dilakukan bersama peneliti dari tujuh institusi dalam negeri yaitu, Universitas Andalas, Universitas Jambi, Universitas Gunadarma, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Tanjungpura, dan Poltekkes Kemenkes Maluku yang semua berkolaborasi dalam pengambilan data dan analisis.

Sementara itu, Ketua Klaster Primary Health Care Research and Innovation Center IMERI FKUI, Prof. dr. Indah Suci Widyahening, M.S., M.Sc-CMFM, Ph.D, mengatakan, “Masalah Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang cukup membebani masyarakat dan pemerintah Indonesia. Layanan Kesehatan Primer berada di garis depan penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Penelitian Pusat Studi Pelayanan Kesehatan Primer IMERI FKUI yang merupakan penelitian kolaborasi dari beberapa universitas di Indonesia, memberikan gambaran mengenai stigma dan beberapa masalah psikososial yang dialami penyandang TB di Indonesia yang dapat menjadi masukan bagi pengelolaan TB yang lebih holistik sehingga dapat meningkatkan keberhasilan penanggulangan permasalahan tuberkulosis di Indonesia.”

Hasil studi ini tentu sangat dibutuhkan untuk mendukung perancangan dan penyampaian intervensi psikososial yang berdampak, berkelanjutan, dan sesuai dengan keadaan lokal untuk mengurangi stigma TB, mengurangi penyakit mental, dan meningkatkan kualitas hidup orang dengan TB.

(Humas FKUI)