Sensory Play untuk Anak Usia Dini: Apakah Bermanfaat?

Belakangan ini, dunia parenting di Indonesia sedang diramaikan oleh istilah sensory play yang dipopulerkan oleh para parenting influencers di berbagai kanal media sosial. Menurut dr. Budiati Laksmitasari, Sp.KFR dalam telewicara bersama Radio Republik Indonesia (RRI) pada 29 September 2022, sensory play adalah memberikan stimulasi atau rangsangan kepada satu atau lebih indra anak melalui aktivitas bermain yang menyenangkan. Dalam hal ini, anak akan memainkan permaianan yang berkaitan dengan panca indra yang dimilikinya, termasuk indra peraba, indra penciuman, indra penglihatan, indra pendengaran, dan indra pengecap. Selain indra-indra tersebut, ada juga yang berupa gerakan dan sendi.

Pemanfaatan sensory play juga dianggap baik khususnya pada anak usia dini karena pada usia tersebut anak-anak akan berinteraksi, beraktivitas, dan juga berkomunikasi berdasarkan apa yang dia tangkap melalui lingkungan oleh panca indra. Anak tersebut akan memberikan respon yang sesuai jika proses sensor tersebut berjalan dengan lancar, namun akan menjadi masalah jika anak tidak dapat memproses sensor tersebut. Akibatnya anak menjadi hyperactive, kurang fokus, terlambat berkomunikasi, hingga sulit makan.

Selain sensory ada juga motoric. Kedua hal tersebut saling berkaitan karena motoric merupakan respon lanjutan setelah anak menangkap informasi dari lingkungan. Dengan kata lain, sensory adalah input informasi yang didapat dari lingkungan kemudian input tersebut masuk ke dalam susunan saraf yang akan diproses dan menghasilkan output motoric yang sesuai.

“Namun, jika tidak sesuai pemprosesannya, maka output motoric-nya jadi kurang baik juga. Motoric itu kan adalah gerakan otot-otot yang dikoordinasi oleh anak tersebut, jadi ada motoric halus ada motoric kasar. Kalau motoric kasar (adalah) gerakan otot-otot yang besar,  seperti berjalan, naik tangga, dan melompat. Kalau motoric halus (adalah) gerakan otot-otot kecil seperti di tangan saat anak menulis mengambil sesuatu dan lain-lain. Jika proses sensornya tidak baik, maka anak dapat mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan motoric tersebut,” kata dr. Budiati Laksmitasari.

Dosen pada Departemen Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tersebut menjelaskan bahwa sensory play memiliki tahapan yang disesuaikan dengan periode perkembangan anak. Pada usia 0-1 tahun, bayi biasanya mengeksplorasi semua rasa sensory yang diterimanya. Pada usia 1-3 tahun, kemampuan motoric-nya sudah lebih berkembang sehingga bermain sensory-nya dapat sambil melakukan aktivitas motoric, seperti berjalan di matras bertekstur atau pasir, bermain perosotan atau ayunan, atau makan dengan cara finger food. Terakhir, pada usia 3 tahun ke atas  anak sudah mampus mempresepsikan apa yang ditangkap oleh kemampuan sensory-nya, sehingga aktivitasnya lebih menantang seperti bermain puzzle, menari dengan iringan lagu, kemudian dapat juga bermain tebak-tebakan benda apa yang sedang diraba, berenang, flying fox, dan lain-lain.

“Namun tidak semua orang tua mengetahui apa itu sensory play atau perkembangan sensory play sehingga terdapat kondisi di mana anak mengalami gangguan dalam pemrosesan sensory-nya. Hal ini lah yang perlu diwaspadai atau perlu diobservasi terlebih dahulu terutama pada aktivitas sehari-hari. Anak yang mengalami gangguan sensory cenderung lebih sensitif, sehingga perlu diperiksa lebih lanjut oleh dokter,” terang dr. Budiati Laksmitasari.

Sensory play juga dapat menstimulus kecerdasan otak anak terutama pada usia 3 tahun pertama. Pada proses perkembangan otak terjadi penyambungan sinop-sinop atau sel-sel otak yang membentuk jaring-jaring.  Proses pembentukan jaring-jaring tersebut membuat anak memiliki kesempatan belajar yang optimal. Kesempatan belajar yang optimal akan terjadi jika anak mampu mendapatkan stimulasi yang cukup. Dengan kata lain, stimulasi sensory sangat penting untuk proses kesempatan belajar anak, sebab dapat melatih perkembangan otak dan juga  meningkatkat kecerdasan.

(Humas FKUI)