Rektor UI Kukuhkan Dua Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia kembali mengukuhkan dua Guru Besar Tetap dari Fakultas Kedokteran pada Sabtu (7/12/2019), pukul 10.00 WIB di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba. Sidang terbuka pengukuhan guru besar dipimpin oleh Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, PhD, yang mengukuhkan Prof. Dr. dr. Rino Alvani Gani, SpPD-KGEH sebagai Guru Besar Tetap FKUI dengan kepakaran hepatologi dan Prof. Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD-KAI, FINASIM yang merupakan Guru Besar Tetap FKUI dengan kepakaran bidang alergi dan imunologi.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rino menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul Eliminasi Virus Hepatitis B dan C tahun 2030: Sumbangsih Indonesia kepada Dunia”. Sementara Prof. Iris menyampaikan pidato berjudulTantangan Penatalaksanaan Penyakit Alergi dan Imunologi di Era Kedokteran Modern.

Dalam pidatonya, Prof. Rino menyampaikan bahwa saat ini Indonesia merupakan negara dengan kategori endemis hepatitis B sedang hingga tinggi. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sekitar 7,1 % penduduk Indonesia menderita hepatitis B dan diperkirakan sekitar 1% penduduk Indonesia menderita hepatitis C. Jika tidak diobati, maka dapat mengalami komplikasi sirosis hati dan kanker hati.

Sejak tahun 1970, Indonesia telah berkontribusi kepada dunia dalam mempelajari virus hepatitis B dan C melalui berbagai penelitian. Sumbangsih terbesar negara Indonesia terhadap upaya eliminasi virus hepatitis adalah saat Indonesia berkolaborasi dengan Brazil dan Kolombia mensponsori terbentuknya Resolusi Hepatitis yang kemudian diadopsi oleh World Health Assembly ke-63 pada tahun 2010 yang sekaligus ditetapkan menjadi Hari Hepatitis Sedunia. Sejak saat itu, upaya-upaya pencegahan dan pengendalian virus hepatitis terus bergulir, hingga di tahun 2016 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadopsi strategi kesehatan global pertama tentang virus hepatitis dengan target utama mengeliminasi virus hepatitis B dan C sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030.

Dampak positif atas gagasan tersebut adalah turunnya harga tes laboratorium untuk hepatitis dan juga biaya pengobatan hepatitis di seluruh dunia, sehingga yang tadinya eliminasi hepatitis dianggap mustahil dapat berubah menjadi optimisme besar dengan target tereliminir pada tahun 2030. Selain itu, lembaga-lembaga sosial masyarakat turut antusias menyelengarakan program penanganan hepatitis dan pendanaan untuk penanggulangan hepatitis B dan C. Gerakan eliminasi hepatitis juga digalakkan oleh lembaga profesi kedokteran dunia yang menangani hepatitis yaitu Asia Pacific Association for Study of the Liver (APASL), American Association for Study of the Liver Disease (AASLD), European Association for Study of the Liver (EASL), dan The Latin American Association for the Study of the Liver (ALEH).

“Saat ini lebih dari 1,5 juta ibu hamil sudah diperiksa untuk hepatitis B dan ribuan orang sudah diperiksa untuk hepatitis C. Sudah lebih dari 5000 orang tercatat diobati untuk hepatitis C yang merupakan peningkatan lebih dari 10 kali lipat dibandingkan laju pengobatan pada tahun-tahun sebelumnya. Keberhasilan eliminisasi hepatitis bisa terlaksana jika semua komponen masyarakat di Indonesia bergerak aktif. Mengingat sejak awal Indonesia telah berperan besar dalam upaya eliminasi virus hepatitis di dunia, maka sudah sewajarnya bangsa Indonesia juga tetap terus berusaha semaksimal mungkin mewujudkan target eliminasi virus hepatitis B dan C yang telah dicanangkan oleh WHO,” tutur Prof. Rino dalam pidatonya.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Iris memaparkan terkait kepakaran beliau yaitu imunologi. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem imun atau kekebalan tubuh, serta hubungannya dengan berbagai kondisi penyakit. Tantangan terbesar dalam imunologi adalah mengatasi berbagai penyakit terkait sistem imun, misalnya penyakit alergi.

Di Indonesia, alergi terhadap tungau debu rumah atau serbuk sari tumbuhan merupakan kasus yang sering dijumpai. Pemeriksaan uji tusuk kulit dapat mendeteksi alergen serbuk sari, tetapi bahan yang digunakan masih diimpor dari luar negeri. Untuk itu, tantangan ke depan adalah pengembangan bahan alergen yang dibuat dari tumbuhan lokal di Indonesia, yang tentu saja membutuhkan kerja sama dengan banyak ahli lain misalnya di bidang Farmakologi, Farmasi, dan Biologi.

Penyakit sistem imun lainnya yang banyak ditemukan adalah penyakit autoimun. Kondisi ini merupakan salah satu penyakit manusia yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai spesialisasi atau subspesialisasi ilmu kedokteran. Keterkaitan antara faktor genetik, lingkungan, dan pejamu memainkan interaksi kompleks yang tidak bisa dikuasai oleh satu bidang keilmuan saja. Penatalaksanaan penyakit-penyakit terkait sistem imun memerlukan kerja sama antar berbagai spesialis dan ditujukan pada kondisi spesifik pasien, termasuk imunogenetik yang mendasarinya.

Dalam pidatonya, Prof. Iris merekomendasikan perlunya terobosan baru dengan teknologi informasi yang makin maju untuk membantu edukasi masyarakat terkait terapi dan pencegahan penyakit sistem imun.

“Selain itu, kerja sama yang baik antara institusi pendidikan, pemerintah, organisasi seminat, dan komunitas penyintas autoimun serta pihak industri diperlukan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, program skrining, dan penelitian sehingga pada akhirnya dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit alergi dan imunologi di Indonesia,” sambungnya.

Menjadi sebuah kebanggaan bagi Universitas Indonesia ketika para sivitas akademikanya begitu mencintai almamaternya dan mencetak banyak prestasi. Dengan bertambahnya peraih gelar Guru Besar, diharapkan dapat memacu semangat sivitas akademika UI lainnya untuk terus berprestasi dan dapat menaikkan nama besar UI di kancah nasional dan internasional.

(Humas FKUI)