Skizofrenia merupakan sebuah gangguan psikiatri yang banyak dijumpai, umumnya bersifat kronik dan episodik. Secara langsung, skizofrenia tidak menyebabkan kematian, namun hampir 5% penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri. Kesenjangan kesehatan fisik pada penderita gangguan jiwa merupakan skandal kematian awal yang bertentangan dengan hak kesehatan dalam konvensi internasional. Jika dibandingkan dengan Australia, penderita Skizofrenia di Indonesia memiliki perjalanan penyakit yang lebih lama disertai dengan disabilitas dan angka kekambuhan yang tinggi. Data WHO menempatkan Indonesia di peringkat pertama dari 192 negara dengan nilai beban DALY’s (Disability Ajusted Life Year) skizofrenia paling tinggi.
Gejala skizofrenia berupa kelainan perilaku, proses pikir dan perasaan sering menimbulkan kesan negatif di masyarakat (public stigma). Akibatnya penderita sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dianggap aneh, berbahaya, lemah mental, tidak mempunyai kemampuan yang sama seperti anggota masyarakat lain, serta menimbulkan reaksi emosional yang negatif yang ujungnya menciptakan diskriminasi seperti menjauh dari penderita, menolak atau bahkan memberhentikan dari pekerjaan. Pada episode akut, penderita sering dirawat paksa dengan alasan gejalanya dianggap berbahaya bagi diri sendiri atau orang lain, serta penderita tidak memiliki kesadaran akan penyakitnya. Pada rawat paksa, hak autonomi merupakan salah satu Kaidah Dasar Bioetik (KDB) yang diabaikan karena penderita dianggap tidak memiliki kapasitas sebagai prasyarat dalam pemenuhan autonomi.
Autonomi adalah hak dasar yang dimiliki manusia, serta merupakan kaidah dasar bioetik yang utama. Autonomi bermaksud menghendaki, menyetujui, membenarkan, membela, dan membiarkan pasien demi dirinya sendiri. Pemenuhan hak autonomi sangat terkait dengan kapasitas penderita dalam menentukan pengobatan. Bila penderita tidak memiliki kapasitas, hak autonomi dapat diabaikan dan dialihkan kepada keluarga terdekat. Di Indonesia, belum ada cara penentuan kapasitas yang baku. Penentuan kapasitas yang menjadi dasar kepulangan penderita dari perawatan hanya berdasarkan penilaian gejala klinis oleh dokter. Cara tersebut tidak dapat diandalkan mengingat adanya stigma, gejala-gejala psikosis yang tidak masuk akal serta keadaan gaduh gelisah membuat penilaian dokter menjadi bias. Sehubungan dengan kebutuhan tersebut, diperlukan upaya untuk mengembangkan sebuah instrument penilaian kapasitas sederhana yang dapat dijadikan standar baku.
Upaya tersebut dilakukan oleh dr. Irmansyah, Sp.KJ(K) sebagai penelitian disertasinya. Tak hanya menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, penelitian ini diperkuat dengan refleksi filosofis. Hasil penelitian mendapatkan instrumen self report questionnaire yang diberi nama ‘Penilaian Kapasitas Menentukan Pengobatan’ dengan 15 butir pertanyaan (PKMP-15) dan ‘Pedoman Pemeriksaan Kapasitas Menilai Kemampuan Pengobatan’. PKMP-15 terdiri dari 4 domain yaitu understanding, reasoning, appreciation, dan expression of choice.
Keseluruhan hasil penelitian tersebut dipaparkan dengan baik oleh dr. Irmansyah, Sp.KJ(K) pada sidang promosi doktoralnya, Selasa (11/8) di ruang Senat Akademik Fakultas, Salemba, Jakarta. Disertasi berjudul “Fenomena Pengabaian Hak Autonomi dalam Perawatan Penderita Skizofrenia: Landasan Penilaian Laik Kembali dalam Kapasitas Menentukan Pengobatan (Studi Kombinasi dan Refleksi Filosofis)” ini berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji Prof. Dr. dr. Sarwono Waspadji, Sp.PD-KEMD dengan anggota penguji Prof. Dr. dr. Irawati Ismail, Sp.KJ(K), M. Epid; dr. Muchtaruddin Mansyur, Sp.Ok, Ph.D, M.S; Dr. dr. Yuli Budiningsih, Sp.F(K); dan Prof. Dr. Alois Agus Nugroho (Universitas Katolik Atmajaya).
Di akhir sidang, Prof. Dr. dr. Pradana Soewondo, Sp.PD-KEMD selaku ketua sidang mengangkat dr. Irmansyah, SpKJ(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran FKUI. Disertasi yang disusun dengan bimbingan promotor Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, DFM, Sp.F(K) dan ko promotor Prof. dr. Sasanto Wibisono, Sp.KJ(K) ini diharapkan dapat dijadikan sebagai standar baku yang edukatif dan komprehensif dalam berbagai penelitian terkait masalah psikososial. (Mel/Dan/Die)