Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia kembali menambah daftar lulusan program Doktornya. Mahasiswa program Doktor Ilmu Biomedik FKUI, dr. Herlyani Khosama, SpS(K), meraih gelar Doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Alel HLA-B*1502 dan Ekspresi Protein Sitotoksik pada Sindrom Stevens-Johnson/Nekrolisis Epidermal Toksik Akibat Karbamazepin yang Dialami Oleh Penderita Epilepsi di Tiga Rumah Sakit di Indonesia” pada Jumat (16/6) lalu di Auditorium Lt. 3 IMERI-FKUI, Salemba.
Disertasi tersebut dipertanggungjawabkan dengan baik di hadapan tim penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, MS, SpFK(K) dengan anggota tim penguji dr. Alida R. Harahap, SpPK(K), PhD; Dr. rer. Nat. Dra. Asmarinah, MS; dan Dr. dr. Kurnia Kusumastuti, SpS(K) (Universitas Airlangga).
Dalam penelitiannya, dr. Nastiti menemukan fakta bahwa epilepsi merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak yang ada di poliklinik neurologi. Bangkitan epilepsi secara garis besar dibagi atas bangkitan fokal dan umum. Epilepsi fokal lebih sering ditemukan dibandingkan epilepsi umum. Sejak kemajuan di bidang pencitraan otak dan elektroenselografi setelah tahun 1960-an, diagnosis epilepsi fokal makin sering ditemukan.
Kasus epilepsi fokal dapat berupa epilepsi lobus temporal, frontal, oksipital dan parietal. Epilepsi lobus temporal merupakan jenis epilepsi fokal yang terbanyak ditemukan. Karbamazepin (KBZ) atau fenitoin merupakan obat yang biasa diberikan untuk epilepsi fokal. KBZ diketahui lebih efektif dibanding fenitoin. Oleh karena itu, KBZ direkomendasikan sebagai pilihan pengobatan pada epilepsi lobus temporal.
Namun, KBZ juga diketahui dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom Steven Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET). Kedua reaksi hipersensitivitas ini angka mortalitasnya cukup tinggi, walaupun angka kejadiannya jarang. Adanya efek samping tersebut menyebabkan penggunaan KBZ semakin kurang dilakukan walau secara klinis masih terbukti lebih efektif dan masih menjadi lini pertama dalam tatalaksana epilepsi fokal. Selain itu harga KBZ relatif lebih murah terutama bagi pasien yang memerlukan terapi jangka panjang.
Permasalahan ini yang kemudian melatarbelakangi dr. Herlyani melakukan penelitian untuk mencari petanda genetik yang berhubungan dengan SSJ/NET setelah penggunaan KBZ. Di Amerika Serikat, sebelum diberikan KBZ, Food & Drug Association (FDA) merekomendasikan untuk dilakukan terlebih dahulu uji penapisan dengan alel HLA-B terutama pada populasi Asia. Di Indonesia (terutama pada suku Jawa dan Sunda), tingginya prevalensi alel HLA-B*1502 diduga dapat menjadi penanda genetik terkait efek hipersensitivitas tersebut. Penelitian kemudian dilakukan dan didapat hasil bahwa alel HLA-B*1502 dapat dijadikan petanda genetik dalam memprediksi kejadian SSJ/NET yang disebabkan oleh KBZ di Indonesia.
Pada akhir sidang, ketua sidang Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, SpMK(K), PhD, mengangkat dr. Herlyani Khosama, SpS(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Biomedik di FKUI. Promotor Prof. dr. Teguh AS Ranakusuma, SpS(K) dan ko promotor Prof Dr. dr. H. Soenardi Moeslichan, SpA(K) dan Dr. dr. Indra G. Mansur, DHES, SpAnd berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai dasar analisis perlunya pemeriksaan penyaring sebelum pemberian KBZ di Indonesia. (Humas FKUI)