Pelayanan intensif merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk menangani kondisi kritis pasien. Di Indonesia, pelayanan ini sebagian besar dilakukan oleh dokter spesialis anestesi dan diberikan di instalasi Intensive Care Unit (ICU). Pelayanan intensif ditujukan untuk memberikan terapi dan perawatan intensif. Biaya pelayanan yang sangat tinggi membutuhkan rasionalisasi pelayanan agar dapat memenuhi hak setiap orang yang membutuhkan.
Hak atas kesehatan adalah hak intrinsik dari setiap manusia untuk memperoleh akses serta layanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Bukan semata-mata hak setiap manusia untuk menjadi sehat. Kondisi sumber daya kesehatan adalah terbatas, sedangkan kebutuhan akan kesehatan adalah tidak terbatas. Dalam menghadapi kondisi yang demikian, dibutuhkan rasionalisasi kesehatan agar dapat memenuhi hak atas kesehatan bagi seluruh masyarakat.
Pedoman pengelolaan pelayanan intensif di ICU yang dikeluarkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1778 tahun 2010 telah memberikan panduan prioritasisasi bagi pasien yang akan masuk ke dalam ICU, namun belum memberikan petunjuk yang rinci bagi pasien yang akan keluar. Hal itu menimbulkan dilema etik bagi dokter yang akan mendistribusikan pelayanan intensif di ICU pada pasien yang sudah tidak lagi akan mendapatkan manfaat dari tindakan medis (futile). Futilitas atau kesia-siaan tindakan kedokteran merupakan permasalahan etik yang dapat menimbulkan masalah hukum. Dilema tersebut dapat diatasi melalui penyusunan sebuah pedoman rasionalisasi pelayanan intensif yang memenuhi trias tanggung jawab etikolegal, yang terdiri dari responsibility, accountability, dan liability.
Metode untuk mendistribusikan tempat di ICU yang terbatas secara adil adalah dengan melakukan rasionalisasi manfaat dari pelayanan intensif sehingga pasien-pasien yang mendapatkan pelayanan intensif di ICU adalah pasien-pasien yang akan memaksimalisasi nilai dari tujuan pelayanan intensif tersebut.
dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpF melakukan sebuah penelitian untuk mendapatkan pedoman etik pelayanan intensif di ICU yang merasionalisasi manfaat secara proporsional dalam maksimalisasi manfaat pelayanan intensif di ICU. Dari hasil penelitian didapat dua kriteria distribusi pelayanan intensif yang adil dan enam kategori yang perlu dipertimbangkan oleh dokter, yaitu: kebebasan, indikasi masuk dan keluar ICU, kesempatan, kesesuaian, ketersediaan, dan wewenang memutuskan perawatan ICU. Fakta kesia-siaan medis dan keenam kategori tersebut disusun menjadi sebuah konsep etikolegal pedoman ICU untuk mendistribusikan pelayanan intensif di ICU secara adil yaitu menjamin ketersediaan tempat di ICU secara proporsional dan melakukan diskursus translasional dengan setiap pihak.
Hasil penelitian tersebut kemudian dipaparkan dengan baik oleh dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpF pada sidang promosi doktoralnya, Kamis (6/7) lalu di Ruang Auditorium IMERI-FKUI, Lantai 3. Disertasi berjudul “Keadilan Distributif pada Pelayanan Intensif: Telaah Etikolegal dalam Reposisi Hubungan Pengobatan Dokter-Pasien” berhasil dipertanggungjawabkan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI dengan anggota tim penguji Prof. Dr. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB-KBD; dr. Muchtaruddin Mansyur, SpOk, PhD; Dr. Akhyar Yusuf Lubis, M.Hum (Fakultas Ilmu Budaya UI); dan Prof. Aloysius Agus Nugroho, PhD (Fakultas Ilmu Administrasi dan Budaya, Universitas Katolik Atmajaya).
Di akhir sidang, Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, SpMK(K), PhD, selaku ketua sidang mengangkat dr. Ade Firmansyah Sugiharto, SpF sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Dalam sambutannya, promotor Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SpF dan ko-promotor Prof. Dr. dr. Amir S. Madjid, SpAn-KIC dan Dr. dr. Yuli Budiningsih, SpF berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap pembuatan peraturan dan kebijakan dalam rangka rasionalisasi serta pendistribusian atau alokasi pelayanan intensif secara adil. (Humas FKUI)