Parameter Baru Prediktor Defisit Neurologis Operasi Koreksi Penyakit Jantung Bawaan

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah kelainan jantung yang sudah diderita sejak bayi lahir. Kelainan tersebut terjadi sebelum bayi lahir, walaupun tidak jarang baru diketahui setelah pasien berumur beberapa bulan bahkan beberapa tahun.  Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun ada sekitar 45.000 bayi lahir dengan PJB. Di antara jumlah kelahiran dengan PJB, kasus yang membutuhkan  operasi atau intervensi bedah dalam satu tahun pertama setelah lahir diperkirakan mencapai 25%.

Sebagian besar kasus PJB membutuhkan intervensi bedah dalam tata laksana definitif berupa operasi koreksi. Kemajuan teknik bedah jantung pada anak dalam 30 tahun terakhir memberikan hasil yang baik pada hasil operasi. Namun angka kematian yang didapat pascabedah jantung pada bayi usia lebih dari tiga bulan tetap tinggi.

Komplikasi operasi koreksian kelainan PJB dengan menggunakan teknik Pintas Jantung Paru (PJP) terutama disebabkan oleh proses Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SRIS). Proses SRIS akibat operasi menggunakan teknik PJP terjadi sebagai akibat kontak darah dengan benda asing mesin PJP, hipoksia, disfungi mikrosirkulasi dan disfungsi mitokondria yang dapat berdampak pada kejadian hipoksia sistemik maupun serebral.

Komplikasi SRIS dapat terjadi di semua organ dengan manifestasi berupa kegagalan fungsi multiorgan. Demikian pula susunan saraf pusat, rentan terhadap gangguan sistemik yang ditimbulkan oleh SRIS walaupun belum dapat diterangkan lebih jauh proses mekanismenya. Berbeda pada pasien dewasa, pada pasien anak kerentanan hemodinamik lebih mudah terjadi sehingga kerusakan jaringan di susunan saraf pusat yang bersifat hipoksi-iskemik lebih mudah pula terjadi. Dengan kemajuan teknologi, angka kematian akibat dampak operasi koreksi PJB dapat diturunkan, namun dampak cedera neurologis akibat bedah jantung pada anak masih belum dapat dihindari. Komplikasi neurologis yang mungkin terjadi adalah kejang, lesi iskemik, dan enselofati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kerusakan sel otak ditandai dengan peningkatan kadar S100B dalam serum. Inilah yang mendasari S100B dapat digunakan untuk menilai adanya hipoksia pada susunan saraf pusat.

Hingga saat ini beberapa peneliti berusaha mempelajari mekanisme yang terjadi pada organ terutama otak akibat SRIS sehingga dapat mencegah komplikasi berat dan kematian. Salah satu cara untuk mengetahui mekanisme tersebut adalah dengan melakukan pemeriksaan biomarker inflamasi bersamaan dengan biomarker cedera neurologis S100B sebagai petanda hipoksia otak, yang penting dilakukan untuk menilai derajat kerusakan otak akibat reaksi inflamasi pada SRIS.

Adalah dr. M. Tatang Puspandjono, SpA, seorang peneliti dari Fakultas Kedokteran UI yang melakukan penelitian untuk memprediksi kejadian cedera neurologis akibat tindakan PJP pada operasi PJB. Prediktor ini diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pasien PJB yang memerlukan operasi koreksi dengan PJP. Penelitian dilakukan sepanjang Januari 2015-Januari 2016 dengan melibatkan 51 pasien PJB sebagai subjek penelitian. Hasil penelitian ini mendapatkan 2 parameter yang dapat digunakan sebagai model prediktor kejadian defisit neurologi pascabedah pada operasi PJB dengan mesin PJP.

Hasil  penelitian tersebut kemudian dipresentasikan dengan baik oleh dr. Tatang pada sidang promosi doktoralnya, Kamis (16/6) lalu di Ruang SAF FKUI Salemba, Jakarta. Disertasi berjudul Brain Derived Protein, Soluble TNFR-1, Laktat, Saturasi, Vena Sentral, dan Oksigen Serebral sebagai Prediktor Defisit Neurologis pada Operasi Koreksi Penyakit Jantung Bawaan” berhasil dipertanggungjawabkan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji adalah dr. Alida Roswita Harahap, SpPK(K), PhD dengan anggota tim penguji Prof. Dr. dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K); Prof. Dr. dr. Amir S. Madjid, SpAn-KIC; Prof. dr. Siti Boedina Kresno, SpPK(K); dan Dr. dr. Tjipta Bahtera, SpA(K) (Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro).

Pada akhir sidang, Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK, selaku ketua sidang mengangkat dr. M. Tatang Puspandjono, SpA sebagai doktor dalam bidang ilmu kedokteran di FKUI. Dalam sambutannya promotor Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S Hadinegoro, SpA(K) beserta ko-promotor Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, MHSc dan Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi tata laksana penderita yang mengalami tindakan PJP pada operasi koreksi PJB, dapat dilakukan secara menyeluruh dengan kerjasama multidisiplin ilmu kedokteran. Dengan dilakukan penatalaksanaan yang holistik, diharapkan penderita tidak mengalami gangguan tumbuh kembang. (Humas FKUI)