Pakar Kedokteran Dunia Tekankan Pentingnya Nilai Kepemimpinan dalam Membangun Kesehatan Nasional

Kepemimpinan merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki oleh setiap individu yang bersinggungan langsung dengan dunia pelayanan kesehatan, termasuk dokter. Hal tersebut sejalan dengan falsafah “5 stars doctor” yang diperkenalkan oleh Dr. Charles Boelen pada tahun 1994. Salah satu poin yang diangkat ialah dokter sebagai community leader, yaitu representasi atau perwakilan dari komunitasnya. Komunitas tersebut tidak hanya diisi oleh masyarakat umum, namun juga anggota tim kesehatan yang siap memberikan jasa pelayanan kesehatan paripurna.

Mengingat pentingnya peran kepemimpinan dalam membangun iklim pelayanan yang sehat dan optimal, diperlukan pelatihan khusus, yaitu leadership training bagi dokter sebagai calon pemimpin dunia kesehatan masa depan. Topik tersebut dibahas khusus dalam satu sesi gelar wicara pada kegiatan AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 11-12 Januari 2023 di Hotel Aryaduta, Badung, Bali.

Sesi gelar wicara tersebut difasilitasi oleh Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) dan mengambil tema Leadership Training for the Transforming Academic Health Center“. Para pembicara pada sesi ini adalah Sonu M. M. Bhaskar, MD, PhD, PD (Founding Director, NSW Brain Clot Bank, Liverpool Hospital and Ingham Institute for Applied Medical Research, Australia); Prof. dr. Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K), MPH (Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKUI); Ian Curran, BSc, AKC, MBBS, FRCA, Pg Dip Med Ed (distinction), FFPMRCA, FAcadMEd, FSSH, FRCP (Edin), FAOrthoA, FRCP (Lond), FAMS, (Vice Dean of Education dan Co-Director of Academic Medicine Education Institute (AM.EI) Duke NUS Medical School, Singapura); dan Charlotte M. Chiong, MD, PhD, (Dean of College of Medicine, University of the Philippines).

Sonu M. M. Bhaskar, membuka sesi gelar wicara dengan menekankan pentingnya peran kepemimpinan dalam menunjang sebuah institusi kesehatan dalam memberikan kontribusi berupa pelayanan bagi masyarakat. Menurutnya, aplikasi nilai kepemimpinan yang baik dalam sebuah lingkungan profesional amat krusial untuk menopang terwujudnya tiga poin utama, yaitu keberagaman, kesetaraan, dan inklusi. Ketiganya merupakan mesin utama penggerak terciptanya situasi pendidikan dan pelayanan kesehatan yang maksimal.

Bhaskar menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus mampu menciptakan sistem yang dapat mengerahkan potensi dan menumbuhkan pemahaman serta rasa memiliki satu sama lain. Dengan begitu, kesetaraan dapat dicapai sehingga setiap individu memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses dan mengembangkan potensi mereka. Jika kebiasaan dan budaya tersebut dapat dipertahankan, inklusivitas antar individu akan terpupuk sehingga mampu mendukung tercapainya kekompakan serta kesejahteraan tenaga medis dan terpenuhinya pelayanan paripurna bagi masyarakat.

Bhaskar juga berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi sulitnya penyelenggaraan inklusivitas dalam lingkungan profesional. Menurutnya, diskriminasi disertai kurangnya perhatian terhadap isu tersebut memicu situasi yang kurang baik dan mampu menurunkan kualitas pelayanan. Hadirnya sistem hierarki rumit serta dukungan terhadap keseimbangan antara beban kerja dan kehidupan pribadi yang kurang memadai, dapat memicu kelelahan emosional. Tak sedikit individu yang cenderung merasa tereksklusi meskipun telah mengupayakan perilaku inklusif dalam lingkungan kerjanya. Selain itu, kesenjangan dalam pendidikan dan pelayanan kesehatan yang begitu terasa masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai hingga kini.

Demi menanggulangi faktor penghambat tersebut, menurut Bhaskar diperlukan rencana strategis yang mampu menumbuhkan nilai-nilai kepemimpinan dalam pribadi setiap individu. Pembinaan hubungan yang dilandasi oleh kejujuran dan kepercayaan serta komitmen kuat institusi dalam memberdayakan sumber daya diharapkan mampu mengurangi kesenjangan dalam komunitas kesehatan. “Diperlukan pula keinginan kuat institusi kesehatan untuk mendiskusi isu-isu fundamental yang berhubungan dengan pendidikan dan pelayanan. Selain itu, institusi lintas sektor, khususnya pemerintah setempat perlu dilibatkan dalam membangun sistem kesehatan akademik yang kuat,” terang Bhaskar.

Peran AHS UI dalam Upaya Membangun Unsur Kepemimpinan

Prof. dr. Dwiana Ocviyanti pada kesempatan tersebut mengangkat topik terkait peran Academic Health System (AHS) Universitas Indonesia dalam menopang perbaikan situasi kesehatan dalam negeri. AHS merupakan bentuk implementasi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Mendikbudristek RI dan Menkes RI tentang transformasi sistem kesehatan nasional. Dwiana menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga isu prioritas dalam misi mulia ini, yaitu tranformasi sistem kesehatan tingkat primer, transformasi sistem rujukan, dan transformasi jumlah serta persebaran tenaga kesehatan. Demi mencapai cita-cita tersebut, AHS hadir dalam 6 regional dengan 6 koordinator yang bertujuan untuk mengampu masing-masing wilayah dari segi perbaikan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Dalam presentasinya, Prof. Dwiana membagikan peran AHS UI dalam upaya membangun unsur kepemimpinan melalui pelatihan dan program terstruktur bagi mahasiswa. Pelaksanaan modul pre-internship memfasilitasi mahasiswa klinik untuk lebih dekat melihat serta merasakan langsung peran mereka dalam pelayanan kesehatan tingkat primer. Tentu saja, program ini akan menumbuhkan sisi humanis dan kepemimpinan seorang calon dokter sebagai community leader nantinya. Selain itu, sisi kepemimpinan calon dokter dalam tim kesehatan juga dipupuk melalui pelaksanaan modul pendidikan interprofesional atau kolaborasi kesehatan. Seorang calon dokter akan berinteraksi langsung dengan para calon perawat, apoteker, dokter gigi, dan ahli kesehatan masyarakat. Program ini diharapkan mampu melatih kerja sama tim dan pemahaman terkait tugas serta tanggung jawab masing-masing.

Lebih lanjut, Prof. Dwiana juga memaparkan perihal peran AHS UI dalam transformasi tenaga kesehatan dari segi jumlah dan persebaran. AHS UI kini aktif menggelar diskusi dan pertemuan dengan sejumlah institusi pendidikan kedokteran beserta rumah sakit pendidikan regional II untuk membahas aksi strategis yang diperlukan dalam menunjang sistem pendidikan dan pelayanan optimal di masing-masing daerah. Pertemuan tersebut kemudian seringkali melahirkan perjanjian kerja sama antar institusi, misalnya saja kesepakatan penguatan sistem pendidikan kedokteran serta pembukaan program pendidikan dokter spesialis di wilayah Jakarta, Banten, dan Indonesia Timur.

“Kami secara aktif melakukan upaya dalam mendorong peningkatan jumlah dan persebaran dokter serta dokter spesialis sebagai garda terdepan bagi komunitas mereka nantinya. Saat ini, program pendidikan dokter spesialis hybrid militer sedang berjalan dan menjadi salah satu program yang diharapkan mampu menjawab isu kekurangan dokter spesialis di pelosok Indonesia. Selain itu, kami juga aktif untuk mengikuti perkembangan global terkait sistem pendidikan dan pelayanan kedokteran melalui seminar dan pertemuan internasional, salah satunya melalui forum AAHCI ini,” tutup Prof. Dwiana.

(Humas FKUI)