Infark Miokard Akut (IMA) atau serangan jantung cenderung memiliki komplikasi seperti infark ulang, kematian jantung mendadak, gagal jantung, stroke dan angina pekrotis. Data dari Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, penyakit jantung dan pembuluh darah menduduki peringkat pertama penyebab kematian. Buruknya pengenalan dini, akses fasilitas kesehatan yang sulit, dan penanganan awal yang kurang baik, diduga menjadi penyebab masih tingginya angka kematian dan gagal jantung pasca IMA.
IMA terjadi akibat robeknya plak di arteri koroner, diikuti oleh proses terbentuknya sumbatan platelet (hemostasis primer) dan pembentukan fibrin (hemostasis sekunder) dengan hasil akhir berupa trombus yang menyumbat arteri koroner sehingga menghambat aliran darah ke miokardium. Penanganan IMA sangat tergantung dari kecepatan penegakan diagnosis dan tatalaksana. Obat-obat antiplatelet seperti aspirin dan penghambat adenosine diphosphate (ADP) harus secepat mungkin diberikan. Pemeriksaan elektrokardiograf (EKG) harus segera dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan diperlukannya tindakan reperfusi koroner.
Pada IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST), tindakan reperfusi dapat dilakukan dengan pemberian fibrinolitik atau intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Di negara berkembang, pasien IMA-EST umumnya datang terlambat ke fasilitas kesehatan sehingga angka kejadian dan kematiannya lebih tinggi jika dibanding dengan negara maju. Pengetahuan masyarakat yang rendah, lambatnya tatalaksana, serta kurangnya fasilitas kesehatan dan transportasi menjadi faktor utama keterlambatan penanganan.
IKPP merupakan tindakan pilihan pada IMA-EST. Meskipun tindakan IKPP berhasil memulihkan aliran epikardial koroner, terdapat sepertiga populasi mengalami masalah di tingkat mikrovaskular yang dinamakan Obstruksi Mikrovaskular (OMV) yang dikaitkan dengan luaran klinis yang buruk. Patofisiologi OMV sampai sekarang belum dapat dipahami sepenuhnya. Penilaian OMV yang paling valid dan reliabel adalah dengan memakai pressure wire untuk mendapatkan Indeks Resistensi Mikrovaskular (IRM).
Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian diperlukan untuk mengetahui hubungan antara IRM pasca IKPP dengan perubahan fungsi ventrikel kiri dalam enam bulan pengamatan. Penelitian kemudian dilakukan oleh staf pengajar FKUI, dr. Doni Firman, SpJP(K) sebagai penelitian disertasinya. Penelitian membuktikan bahwa kelompok dengan IRM > 27,5 U mengalami perubahan fungsi ventrikel kiri yang lebih baik pada pengamatan enam bulan dibandingkan dengan kelompok IRM ≤ 27,5 U.
Hasil penelitian tersebut kemudian dipresentasikan oleh dr. Doni Firman, SpJP(K) pada sidang promosi doktoralnya Senin (16/1) lalu di Ruang Kuliah Parasitologi, FKUI Salemba. Disertasi berjudul “Perubahan Fungsi Ventrikel Kiri Pasca Intervensi Koroner Perkutan Primer: Fokus pada Indeks Resistensi Mikrovaskular” ini berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji Prof. Dr. dr. Bambang Budi Siswanto, SpJP(K) dengan anggota penguji dr. Renan Sukmawan, SpJP, PhD; dr. Nurhadi Ibrahim, PhD; dan Prof. dr. Abdul Madjid, SpPD-BTKV (Universitas Sumatera Utara).
Di akhir sidang, Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, SpMK(K), PhD, selaku ketua sidang, mengangkat dr. Doni Firman, SpJP(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Melalui sambutannya, promotor Dr. dr. Muhammad Munawar, SpJP(K) serta ko promotor Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K) dan Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk pelayanan pasien IMA yang menjalani IKPP. (Humas FKUI)