Bahaya Logam Timbal Intai Tumbuh Kembang dan Kesehatan Anak

Peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengadakan diseminasi hasil penelitian terkait paparan atau pajanan timbal yang dialami warga di lima desa di Indonesia, yakni Desa Kadu Jaya (Tangerang), Desa Cinangka (Bogor), Desa Cinangneng (Bogor), Desa Pesarean (Tegal), dan Desa Dupak (Surabaya). Diseminasi yang diadakan pada Rabu 10 Januari 2024, di Gedung IMERI-FKUI, tersebut bertujuan untuk menyebarkan informasi seputar penyebab paparan timbal serta dampak buruknya bagi kesehatan masyarakat, terutama anak-anak.

Direktur IMERI FKUI, Prof. dr. Badriul Hegar, Ph.D., Sp.A(K), mengatakan bahwa riset yang dilakukan pada Mei–Agustus 2023 tersebut merupakan kolaborasi antara Occupational and Environmental Health Research Center (OEHRC) IMERI FKUI dan Yayasan Pure Earth Indonesia. Riset ini melibatkan sivitas akademika UI, yakni dr. Marinda Asiah Nuril Haya, M. Med.Sci, Ph.D; dr. M. Ilyas, Sp.Ok, Subsp.ToksiKO(K); dr. Ade Mutiara, MKK, Sp.Ok; dr. Ari Prayogo, Sp.A; dr. Dewi Yunia F, Sp.Ok; dan peneliti dari Yayasan Pure Earth Indonesia, Nickolaus Hariojati.

Menurut Prof. Badriul, penelitian mengenai pajanan timbal penting dilakukan karena timbal merupakan neurotoksin berbahaya yang paparannya dapat mengakibatkan masalah kesehatan, seperti cacat lahir, kerusakan otak, kardiovaskular, dan penyakit ginjal. “Jika terpapar dalam jangka waktu lama, masyarakat dapat mengalami stres oksidatif. Oleh sebab itu, tantangan ke depannya adalah bagaimana ilmu kedokteran komunitas dapat merancang strategi preventif dan promotif untuk menanggulangi dan mengurangi paparan timbal,” ujarnya.

Pajanan timbal pada tubuh manusia dapat masuk melalui sistem pernapasan, pencernaan, dan kulit. Penumpukan pajanan timbal yang terus-menerus dapat meningkatkan Kadar Timbal Darah (KTD) yang menyebabkan keracunan dan gangguan kesehatan. WHO merekomendasikan KTD 5 µg/dL sebagai penanda sumber pajanan lingkungan yang perlu diwaspadai, sehingga disarankan agar KTD tidak melebihi angka tersebut. Sementara itu, 45 µg/dL merupakan batas KTD untuk pertimbangan pemberian terapi.

Kajian KTD pada anak-anak di lima desa di Pulau Jawa menunjukkan hampir 90% anak memiliki KTD melebihi batas rekomendasi WHO, dan 19 anak (3,4%) di antaranya membutuhkan terapi. Kajian terhadap lebih dari 500 responden anak berusia 12–59 bulan menampilkan hasil bahwa dari anak yang memiliki KTD ≥ 20 µg/dL, sebanyak 34% mengalami anemia. Sementara, anak dengan KTD ≥ 20 µg/dL yang disertai anemia, 14%-nya mengalami keterlambatan tumbuh kembang. Anak dengan KTD ≥ 20 µg/dL dan anemia berisiko 4 kali lipat mengalami keterlambatan tumbuh kembang.

Dalam kajian tersebut, peneliti mencari potensi sumber pajanan dengan melakukan analisis tempat tinggal (home-based analysis). Pengambilan sampel dilakukan untuk mengukur kandungan timbal pada tanah, cat tembok, debu, air, udara, bumbu masakan, alat masak, tempat tidur, pakaian, hingga mainan anak. Hasilnya ditemukan bahwa tingginya KTD anak dipengaruhi oleh bapak atau orang tua yang memiliki KTD tinggi serta cemaran timbal pada tanah di lokasi bermain anak. Cemaran ini dipengaruhi oleh aktivitas industri, salah satunya adalah daur ulang aki bekas yang tidak sesuai standar.

Guru Besar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI, Prof. dr. Muchtaruddin Mansyur, M.S., Sp.Ok(K), Ph.D, yang turut terlibat dalam penelitian ini, menyampaikan bahwa kadar timbal darah pada anak yang ditemukan dalam penelitian merupakan keadaan yang mendesak untuk ditangani. “Keterlambatan penanganan akan memengaruhi kualitas generasi mendatang karena tumbuh kembang anak terhambat serta angka penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya melonjak. Penguatan kapasitas sektor kesehatan untuk mengenal dan mencegah pajanan timbal lingkungan serta dampak kesehatannya harus menjadi prioritas,” katanya.

Untuk itu, masyarakat diimbau agar mengetahui apa saja yang berpotensi menimbulkan pajanan timbal serta upaya pencegahannya. Di tingkat rumah tangga, mereka harus menjaga pola hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan sebelum makan, menggunakan alas kaki saat bermain atau ke luar rumah, berganti pakaian setelah berkegiatan di luar rumah, serta memberikan anak ASI eksklusif dan makanan bergizi seimbang. Apabila anak memiliki keluhan kesehatan akibat terpajan timbal, keluarga harus membawanya ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan medis sesuai dengan  rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Sementara itu, di tingkat sektoral, para pemangku kepentingan diharapkan memformulasikan strategi dan intervensi yang tepat. Direktur Yayasan Pure Earth Indonesia, Budi Susilorini, mengatakan, “Timbal sangat berbahaya, khususnya bagi anak-anak, dan kita dapat terpajan dari lingkungan rumah kita. Kontaminasi timbal di lingkungan dan dampaknya pada kesehatan perlu menjadi dorongan bagi kita untuk segera melakukan tindakan penanganan dan pencegahan. Ketersediaan data yang menggambarkan kondisi lapangan diperlukan sebagai bahan diskusi lintas sektoral. Oleh karena itu, studi serupa diharapkan dapat berkembang menjadi program surveilans nasional.”

(Humas FKUI)