Kanker prostat menempati peringkat kedua sebagai kanker yang paling sering menyerang pria. Pada tahap lanjut, kanker ini dapat menyebar dan sulit diobati. Salah satu pengobatan yang sering digunakan adalah terapi deprivasi androgen (ADT). Terapi ini bekerja dengan menghentikan interaksi antara hormon testosteron dan reseptor di sel tumor, yang disebut reseptor androgen (AR). Ketika hormon tersebut berikatan dengan AR, sel tumor akan berkembang biak. ADT menghalangi interaksinya, menghentikan pertumbuhan sel tumor, dan menyebabkan kematiannya. Obat ini diberikan melalui suntikan beberapa bulan sekali dan memiliki efek samping yang lebih ringan dibandingkan kemoterapi, sehingga menjadi pilihan utama pengobatan.
Namun, setelah beberapa waktu, sel tumor sering kali menjadi kebal terhadap ADT. Kekebalan ini bisa terjadi melalui perubahan di reseptor androgen atau melalui mekanisme lain yang tidak bergantung pada reseptor androgen. Salah satu mekanisme tersebut adalah adanya sel punca kanker. Sel-sel ini harus memasuki pembuluh darah dan mengikuti aliran darah untuk menyebar ke organ lain. Sel-sel ini dikenal sebagai sel tumor sirkulasi (CTC). Untuk dapat bertahan dan tumbuh di lingkungan baru, CTC harus dapat beradaptasi, berubah, dan menghindari serangan sistem kekebalan tubuh. Sifat-sifat ini dimiliki oleh sel punca kanker, yang dianggap sebagai sumber sel-sel kanker baru yang lebih agresif dan tahan terhadap pengobatan. Beberapa gen yang menjadi penanda sel punca kanker adalah CD133, CD44, dan SOX2.
Penelitian yang dilakukan oleh dr. Meilania Saraswati, M.Pd.Ked., Sp.P.A., Subsp. U.R.L.(K), Subsp. Kv.R.M.(K), peserta Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), memeriksa ekspresi gen-gen ini pada CTC pasien kanker prostat metastasis yang menjalani ADT. Sebanyak 35 pasien berpartisipasi dalam penelitian, sampel darah mereka diambil sebelum dan setelah tiga bulan menjalani ADT untuk mengukur kadar PSA, jumlah CTC, dan ekspresi gen CD133, CD44, SOX2, serta AR pada CTC. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang mengalami penurunan kadar PSA lebih dari 90% dianggap merespons pengobatan dengan baik, sementara yang penurunannya kurang dari 90% dianggap tidak responsif.
“Dalam penelitian kami, ekspresi penanda sel punca kanker, khususnya gen SOX2, meningkat setelah terapi ADT. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel ini berperan penting dalam resistensi terhadap pengobatan,” ujar dr. Meilania yang merupakan staf pengajar di Departemen Patologi Anatomik FKUI.
Pada penelitian ini, ditemukan bahwa ekspresi gen AR pada CTC sebelum terapi lebih rendah pada pasien yang tidak responsif, namun meningkat setelah terapi. Ini menunjukkan bahwa CTC dapat menyesuaikan diri dan bertahan dari pengobatan ADT. Penelitian ini juga menemukan bahwa gen-gen penanda sel punca kanker bekerja sama untuk meningkatkan ekspresi AR, yang mengurangi respons terhadap terapi dan menyebabkan kekebalan terhadap ADT.
Penelitian ini mengungkap bahwa CTC dapat menjadi kunci kegagalan terapi dan peningkatan agresivitas sel tumor serta kekebalan terhadap pengobatan. Oleh karena itu, ADT harus dikombinasikan dengan obat lain yang menarget jalur berbeda yang menyebabkan pertumbuhan kanker. Hingga saat ini, belum ada pengobatan yang secara spesifik menarget CTC atau sel punca kanker. “Pengembangan obat yang menarget CTC dan sel punca kanker dapat menjadi harapan baru untuk pengobatan kanker prostat yang lebih efektif,” tutup dr. Meilania.
Dokter Meilania berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Analisis Ekspresi mRNA Sel Punca Kanker (CD133, CD44, SOX2) dan AR pada Circulating Tumor Cells Pasien Metastasis Adenokarsinoma Asinar Prostat Terkait Respons Terapi Deprivasi Androgen” dalam sidang terbuka promosi doktor di Ruang Auditorium Lantai 3 Gedung IMERI-FKUI, Jakarta, pada 11 Juli 2024. Dokter Meilania berhasil menjawab sanggahan dan pertanyaan dari tim penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI, dengan anggota yang terdiri dari dr. Nur Rahadiani, Sp.PA(K), Ph.D; Prof. Dr. rer. nat. Dra. Asmarinah, M.S.; Dr. dr. Aria Kekalih, MTI dan penguji luar dari Universitas Padjadjaran, Prof. dr. Bethy S. Hermowo, Ph.D, Sp.PA(K).
Sidang ini dipimpin oleh Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH, MMB, dengan promotor Prof. dr. Chaidir Arif Mochtar, Sp.U(K), Ph.D, serta kopromotor Prof. dr. Agus Rizal Hamid, Sp.U(K), Ph.D, dan Dr. dr. Lisnawati, Sp.PA(K).
Prof. Chaidir selaku promotor menyampaikan ucapan apresiasi dalam sambutannya. “Selamat kepada Doktor Meilania akhirnya senyum sumringah sedikit karena telah menyelesaikan perjuangan studinya meraih gelar doktornya hari ini. Penjelasan mengenai mekanisme daripada bagaimana respon suatu pengobatan terhadap apa yang terjadi di dalam sel-sel kanker prostat, adanya circulating tumor cell, yang mana di kalangan klinisi masih belum terlalu aware. Penelitian ini juga membuka kemungkinan menghentikan dan mengobati kanker prostat, yang sulit diobati apabila telah mencapai tahap metastasis, dimana sebenarnya banyak jalur lain yang perlu diperhatikan dalam pengobatan. Dengan temuan ini, ada harapan baru untuk meningkatkan pengobatan dan kualitas hidup pasien kanker prostat melalui pengembangan terapi yang lebih tepat sasaran dan efektif,” ujar Prof. Chaidir.
(Humas FKUI)