Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal tahun 2020 hingga Juli 2023 telah membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga kesehatan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan penyebaran virus SARS-CoV-2, seperti penggunaan masker, pembatasan sosial, dan lockdown. Namun, sebagian orang yang terinfeksi mengalami gejala parah hingga berujung pada kematian, terutama mereka yang memiliki penyakit penyerta seperti jantung, hipertensi, asma, diabetes, stroke, penyakit ginjal serta pasien usia lansia.
Untuk mencegah keparahan penyakit, berbagai upaya pengobatan telah diperbolehkan, baik bagi pasien yang dirawat di rumah maupun di rumah sakit. Salah satu pengobatan yang penting dan diizinkan adalah pemberian terapi antibodi. Antibodi merupakan suatu protein yang berperan melindungi tubuh dari serangan virus atau kuman lain. Terapi ini lebih efektif jika diberikan pada tahap awal infeksi, karena antibodi mampu mengenali dan mengikat virus SARS-CoV-2.
Namun, untuk dapat digunakan sebagai obat, antibodi harus diproduksi secara massal. Teknologi hibridoma, yang diperkenalkan oleh Köhler dan Milstein pada tahun 1975, memungkinkan produksi massal antibodi untuk keperluan terapi dan diagnostik. Antibodi yang dihasilkan melalui teknologi ini dikenal sebagai antibodi monoklonal.
Sebagai salah satu negara yang terdampak parah oleh pandemi COVID-19, Indonesia perlu menguasai teknologi produksi antibodi ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan farmasi dalam negeri. Salah satu peserta Program Studi Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Wahyu Hidayati, S.Si., M.Biomed, mengungkapkan bahwa pengembangan teknologi hibridoma di Indonesia sangat penting.
Wahyu melakukan penelitian mengenai pengembangan antibodi monoklonal dari sel B manusia terhadap protein virus SARS-CoV-2. “Teknologi hibridoma ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan di Indonesia karena teknologi ini sangat sederhana. Penelitian kami menunjukkan jika teknologi hibridoma juga dapat digunakan untuk menghasilkan antibodi monoklonal manusia sebagai kandidat terapi bagi pasien COVID-19. Keberhasilan ini menjadi titik awal bagi para peneliti dan perusahaan farmasi untuk menghasilkan antibodi bukan hanya untuk diagnostik, namun juga untuk terapi penyakit,” ungkap Wahyu Hidayati.
Pengembangan teknologi ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan terapi antibodi secara mandiri, mengurangi ketergantungan pada impor, dan meningkatkan kesiapan dalam menghadapi pandemi atau wabah penyakit lainnya di masa depan.
Hasil penelitian disertasi yang berjudul “Pengembangan Panel Antibodi Monoklonal dari Sel B Manusia Terhadap Protein Spike SARS-CoV-2 sebagai Prototipe Imunoterapi Pasien COVID-19” tersebut berhasil dipertahankan oleh Wahyu dalam sidang terbuka promosi doktor tanggal 9 Agustus 2024 di Auditorium Lantai 3 Gedung IMERI-FKUI, Jakarta. Dokter Yopi dengan baik menjawab berbagai pertanyaan dan sanggahan dari tim penguji yang diketuai oleh dr. Tjahjani Mirawati Sudiro, Ph.D, dengan anggota tim penguji yaitu dr. Robert Sinto, SpPD-KPTI; dan penguji tamu yaitu Sabar Pambudi, Ph.D dan Dr. Ir. apt. I Gede Made W, S.Si, M.Kes, M.M., M.H.
Sidang promosi doktor ini diketuai oleh perwakilan dekanat FKUI, Prof. Dr. dr. Andon Hestiantoro, SpOG, K-FER, MPH, dengan Prof. dr. Pratiwi P. Sudarmono, Ph.D., SpMK(K) sebagai promotor dan Dra. Beti Ernawati Dewi, Ph.D serta Dr. Drs. Heri Wibowo, MS sebagai ko-promotor.
Prof. Pratiwi sebagai promotor mengucapkan ucapan selamat pada sambutannya. “Betapa bangganya saya sebagai promotor atas capaian riset Doktor Wahyu yang hari ini sudah pantas menyandang gelar doktor. Tingginya permintaan pemeriksaan COVID-19 di (laboratorium) Mikrobiologi FKUI kala itu menjadi masalah, terutama saat pengobatannya masih banyak perdebatan. Penelitian mengenai antibodi monoklonal ini tidak mudah untuk dilakukan. Namun berkat keinginan dan keyakinan Saudara serta bantuan pihak-pihak lainnya juga, akhirnya Doktor Wahyu bisa menyelesaikan penelitian ini. Saya ucapkan selamat,” ucap Prof. Pratiwi.
(Humas FKUI)