Penyakit paru sama tuanya dengan umur umat manusia. Menurut de Langen dan van Joost, dugaan tertua tentang penyakit ini di Indonesia berupa gambaran relief yang terdapat pada Candi Borobudur. Relief itu menggambarkan penderita tuberkulosis, yangmenunjukkan bahwa Tuberkulosis telah ada di antara mereka pada saat Candi Borobudur dibangun.
Penemuan mikroskopis basil tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882 merupakan langkah yang sangat maju untuk memastikan diagnosis tuberkulosis. Sebagian besar kasus tuberkulosis tidak ditemukan kuman dalam dahak sehingga peran foto toraks sangat membantu. Dengan alat Röntgen yang menggunakan sinar-x dapat dilihat berbagai gambaran kelainan di paru. Semenjak tahun 1926 alat Röntgen digunakan secara luas untuk menegakkan diagnosis kelainan paru.
Sekitar tahun 1930, Stichting Centrale voor Tuberculose Bestrijding (SCVT) didirikan di Indonesia dan diresmikan oleh Ny. de Jonge (istri Gubernur Jenderal Belanda pada waktu itu). Dokter pertama yang memimpin SCVT adalah dokter Van der Plaats, seorang ahli radiologi (röntgenoloog). Di bawah pimpinan dokter Van der Plaats dimulailah pemberantasan tuberkulosis paru di Indonesia secara besar-besaran. Para ahli penyakit paru menerima kenyataan bahwa berdirinya SCVT pada tahun 1930 merupakan permulaan berkembangnya Pulmonologi di Indonesia.
Era 1930 – 1953
Pada masa ini, Centrale Burgerlijk Ziekeninrichting (CBZ) atau sekarang disebut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM atau RSCM) Jakarta, pemeriksaan dan pengobatan tuberkulosis paru bertempat di ruangan D-2. Ruangan ini dikenal dengan nama Consultatie Bureaux voor Longlijders (CB). Consultatie Bureaux voor Longlijders ini merupakan embrio Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI sekarang, berada langsung di bawah Direktur CBZ, kemudian di bawah Direktur RSCM sampai tahun 1953.
Nama SCVT hilang dari peredaran. Istilah dalam bahasa Belanda dialih bahasakan dalam Bahasa Indonesia, seperti Longarts menjadi Ahli Penyakit Paru.
Consultatie Bureaux voor Longrijders di Jakarta disebut Balai Pengobatan Penyakit Dada (BPPD), tetapi nama CB tetap bertahan dalam ucapan sehari-hari.
Long tuberculose mula-mula disebut penyakit dada tetapi selanjutnya lebih dikenal sebagai penyakit paru.
Tahun 1949 Pemerintah Indonesia mendirikan suatu lembaga otonom untuk melaksanakan pemberantasan tuberkulosis paru, disebut Balai Pemberantasan Penyakit Paru-Paru atau BP4.
Pada tahun 1950 Balai Pengobatan Penyakit Dada RSCM menerima seorang ahli bedah toraks Dr. Huang Min Zai. Sejak itu dimulailah pengembangan tindakan pembedahan pada tuberkulosis paru, sampai Bagian Penyakit Paru ini digabungkan ke Bagian Penyakit Dalam pada tahun 1953. Pembedahan yang dilakukan pada waktu itu adalah torakoplasti. Terdapat 40 torakoplasti yang dikerjakan.
Era 1953 – 1968
Tahun 1953 dilakukan penggabungan Bagian Penyakit Paru RSCM ke Bagian Penyakit Dalam, yang dipimpin oleh Prof. Aulia, dan disebut Subbagian Penyakit Paru-Paru.
Sebetulnya lebih tepat bila penggabungan ini disebut sebagai kerjasama antara “Bagian Paru” dan “Bagian Penyakit Dalam” daripada disebut sebagai “Subbagian Penyakit Paru dari Bagian Penyakit Dalam”.
Pada penggabungan ini seluruh staf diganti. Subbagian ini dipimpin oleh Dr. T.S. Oey, dengan Dr. J. Soegondho Roewidodarmo sebagai wakilnya. Orang ke-3 dan ke-4 adalah Dr. Rasmin Rasjid dan Dr. Afloes. Di samping kedua dokter tersebut, Subbagian ini menghasilkan 5 dokter lagi sebagai ahli penyakit paru. Yang terakhir adalah Dr. H.O. Setiono Husodo pada tahun 1961. Sesudah itu tidak ada lagi penerimaan calon ahli penyakit paru, karena tidak diizinkan oleh Bagian Penyakit Dalam. Direncanakan oleh Bagian Penyakit Dalam untuk menjadikan Ahli Penyakit Dalam terlebih dahulu sebelum menjadi Ahli Penyakit Paru.
Pada tahun 1957 diadakan Konferensi Panitia Tuberkulosis (suatu badan dari Departemen Kesehatan R.I.) di Lawang, Jawa Timur. Antara lain diputuskan untuk memintakan kedudukan sebagai Bagian Penyakit Paru dalam lingkungan Fakultas Kedokteran. Usul ini diterima di Surabaya dan berdirilah Bagian Penyakit Paru dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, dipimpin oleh Prof. Kapitan. Di Jakarta, usul mendirikan Bagian Penyakit Paru di lingkungan FKUI ditolak.
Tahun 1961 Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun, Jakarta Timur mulai dibangun yang merupakan sumbangan dari pemerintah dan rakyat Rusia kepada pemerintah dan rakyat Indonesia. Penyerahan secara resmi dilakukan pada tanggal 7 November 1963 yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi Rumah Sakit Persahabatan.
Subbagian Penyakit Paru kemudian dipindahkan ke RS Persahabatan tahun 1964.
Subbagian Penyakit Paru menerima Dr. Erwin Peetosutan, Dr. Y. Hertanu, Dr. Buchari Lapo, Dr. Hadiarto Mangunnegoro. Dr. Husaeri Fachrurodji, Dr. Wibowo Suryatenggara dan Dr. Rasjid Piarah sebagai asisten ahli, dalam pendidikan spesialis paru pada tahun 1967, kemudian Dr. Anwar Jusuf, Dr. Nirwan Arief, Dr. Budi Sajarwo, Dr. A. Tajuddin Tirtawinata pada tahun 1969.
Direktur RSCM mengirim surat bernomor 2806/V/TU 68 tertanggal 16 Oktober 1968 yang menyatakan bahwa mulai saat itu Pulmonologi merupakan bagian sendiri dalam lingkungan RSCM, dan berada langsung di bawah Direktur RSCM. Saat itu RS Persahabatan merupakan rumah sakit filial RSCM. Direktur RS Persahabatan, Dr. Soepandi Moekajin, seorang ahli paru, adalah juga Direktur Medik RSCM dan berada di bawah Direktur Umum RSCM.
Pada tahun 1963-1975, secara administratif RS Persahabatan merupakan rumah sakit vertikal di bawah Departemen Kesehatan RI c.q. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, namun operasionalnya merupakan satelit RSCM, dan tenaga medisnya terdiri dari dokter ahli dan asisten ahli dari FKUI/RSCM dan dokter Rusia.
Dalam era ini RS Persahabatan dipimpin oleh Dr. Moelyo Hastrodipoero (1964-1965), Dr.Soepandi Moekajin (1966-1973) dan Dr. Kosasih sebagai pejabat Direktur (1973-1975).
Era 1969 – 1978
Dibentuknya Tim Bedah Paru Nasional pada tahun 1965, beranggotakan antara lain Prof. Djamaluddin, Dr. Irawan Santoso, Dr. H.O.S. Husodo serta dokter-dokter ahli bedah paru Rusia yang pada waktu itu masih berada di RS Persahabatan.
Pada tahun 1969 Dr. Soegondo dipindahkan ke RS Fatmawati dan Dr. Rasmin Rasjid diangkat menjadi Kepala Subbagian Paru dan sebagai Ketua Tim Bedah Paru. Kesempatan mengembangkan Pulmonologi lebih luas didapat ketika datang tawaran kerjasama antara RS Persahabatan dengan pemerintah Jepang melalui OTCA (Overseas Technical Cooperation Agency), suatu badan luar negeri Jepang, sekarang disebut JICA (Japan International Cooperation Agency), dalam bidang Bedah Paru.
Kerjasama ini terwujud berkat jasa Dr. Soerarso Hardjowasito, Kepala Subbagian Badan Toraks, Bagian Bedah FKUI, yang telah berhasil menjajaki dan meyakinkan pihak OTCA. Dr. Masatoshi Shiozawa juga sangat berjasa dalam realisasi kerjasama ini. Berdasarkan kerjasama dengan OTCA ini, dilakukan pertukaran ahli bedah paru Jepang dan Indonesia, pengiriman ahli-ahli paru Indonesia belajar ke Jepang serta bantuan kepada RS Persahabatan berupa alat-alat diagnostik dan terapi yang diperlukan untuk pemeriksaan prabedah, untuk pembedahan itu sendiri serta untuk perawatan pascabedah. Di samping dokter-dokter ahli bedah Indonesia seperti Dr. Soerarso, Dr. Ismid D.I. Busroh, Dr. Kukuh Basuki dan Dr. Saksono yang sebelumnya sudah dikirim ke Jepang untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka, ahli bedah Jepang secara bergiliran melakukan pembedahan di RS Persahabatan, pada kasus-kasus yang sudah diseleksi dan disiapkan oleh para ahli paru Indonesia. Di samping itu dikembangkan dan ditingkatkan kemampuan diagnostik para dokter ahli paru Indonesia dengan mengirim mereka ke Jepang untuk belajar. Dr. Hadiarto Mangunnegoro belajar bronkoskopi, Dr. Husaeri Fachrurodji belajar faal paru, Dr. Wibowo Suryatenggara belajar teknik perawatan pra dan pascabedah paru. Pada angkatan berikutnya Dr.Nirwan Arief belajar bronkoskopi fiberoptik langsung pada Dr. Shigeto Ikeda sebagai penemu bronkoskop fiberoptik, Dr. Anwar Jusuf mempelajari sitologi dan patologi paru, Dr. Erwin Peetosutan mempelajari dan mengembangkan bakteriologi tuberkulosis, sedangkan Dr. Tadjuddin belajar radiologi toraks. Seorang ahli radiologi, Dr. Martin Rusli juga dikirim ke Jepang untuk mempelajari radiologi toraks.
Tahun 1971 Subbagian Penyakit Paru ditingkatkan menjadi Divisi Pulmonologi, Bagian Penyakit Dalam pada masa Dekan FKUI Prof. Dr. Mahar Mardjono, Sp.S.
Didirikan Ikatan Dokter Paru Indonesia (IDPI) pada tanggal 8 September 1973 dengan jumlah anggota sebanyak 126 dokter paru.
Pada akhir Januari 1974, IDPI diakui dan diterima oleh IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai Perkumpulan Dokter Ahli (PDA) dalam lingkungan IDI.
Pada bulan Maret 1974 Prof. Djamaluddin, dekan FKUI pada waktu itu, menyelenggarakan rapat antara pimpinan FKUI, pimpinan RSCM, Bagian Penyakit Dalam dan Divisi Pulmonologi. Rapat membahas peningkatan Divisi Pulmonologi menjadi Bagian dalam lingkungan FKUI. Rapat juga dihadiri oleh rektor UI yang pada waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Mahar Mardjono, Sp.S. Keputusan yang diambil merupakan langkah yang lebih maju, yaitu Divisi Pulmonologi berada langsung di bawah dekan FKUI.
Pada Rapat Senat Guru Besar FKUI Agustus 1978, dipimpin oleh dekan FKUI Prof. Dr. R. Gandasubrata. Secara aklamasi Pulmonologi diterima sebagai Bagian dalam lingkungan FKUI. Keputusan ini dituangkan dalam SK Dekan No. 1599/II.A/FK/1978 tanggal 1 September 1978. Tanggal inilah yang kelak di kemudian hari ditetapkan sebagai hari jadi Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
Dalam rapat CMS (Consorsium Medical Sciences) pada tanggal 9-11 Oktober 1978, pulmonologi diterima sebagai pelaksana pendidikan pasca sarjana. Dengan resmi CMS/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengakui pendidikan formal dari ahli penyakit paru langsung dari dokter umum.
Era 1979 – 1990
Tahun 1983, Dr. Rasmin Rasjid dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap FKUI. Pidato pengukuhannya berjudul “Paru Sehat, Pembangunan Meningkat” menggambarkan wawasan yang luas mencakup masa lampau, masa kini dan masa datang ilmu penyakit paru di Indonesia.
Salah satu hal yang unik di Bagian Pulmonologi FKUI/Unit Paru RS Persahabatan adalah keberadaan Laboratorium Kuman Tuberkulosis yang dipimpin Dr. Erwin Peetosutan. Di laboratorium ini dikembangkan berbagai metode pemeriksaaan dan penelitian kuman tuberkulosis. Pada waktu itu, Laboratorium TB ikut serta dalam penelitian nasional tentang pengobatan TB paru jangka pendek yang melibatkan 36 puskesmas. Bersamaan dengan itu dilakukan uji resistensi dan hasilnya diuji silang dengan laboratorium di London, ternyata kualitasnya setara. Kemudian para ahli dari luar negeri seperti Dr. Kudoh (Jepang), Dr. Tripati (India) dan Dr. Pio (WHO) datang meninjau. Berdasarkan hasil yang dicapai diputuskan pada tahun 1988 bahwa laboratorium tersebut mendapat pengakuan sebagai WHO Collaborating Centre.
Pada tahun 1986 Ikatan Dokter Paru Indonesia mengusulkan agar RS Persahabatan (Bagian Pulmonologi FKUI ) dikukuhkan sebagai pusat rujukan nasional untuk penyakit paru di Indonesia.
Tercatat Dr. H.O. Setiono Husodo yang pertama meraih gelar Doktor dalam bidang pulmonologi, yakni pada tahun 1962. Disertasinya berjudul “Penilaian Biopsi Jarum Pleura Parietalis sebagai Ikhtiar Untuk Menegakkan Etiologi Cairan Pleura”. Salah seorang anggota staf pengajar, Dr. Faisal Yunus, Ph.D, yang diterima di Bagian Pulmonologi FKUI tahun 1983, mendapat gelar Ph.D di Hiroshima University, Jepang. Disertasinya berjudul “Basic and Clinical Studies on Mouth Occlussion Pressure in Healthy Subjects and Patients with Pulmonary and Muscular Disease” merupakan hasil penelitian di bidang faal paru klinik. Salah seorang anggota staf pengajar, Dr. E.J. Manuhutu, pada tahun 1985 berhasil meraih gelar Magister Sains (MS) di FKUI dengan tesis berjudul “Immunitas Seluler pada Penderita Tuberkulosis Paru Pascaprimer yang Belum Pernah Diobati”.
Era 1990 – SEKARANG
Tanggal 25 Februari 1989 Prof. Dr. Rasmin Rasjid, Sp.P meninggal dunia. Meninggalnya Prof. Dr. Rasmin Rasjid, Sp.P merupakan kehilangan yang sangat besar bagi keluarga besar Bagian Pulmonologi FKUI, namun perjuangan para penerusnya pantang surut.
Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P yang telah dilantik sebagai Kepala Bagian Pulmonologi FKUI pada tahun 1987 meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Prof. Dr. Rasmin Rasjid, Sp.P dan mengembangkannya. Hal-hal yang menjadi pemikiran Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P sebagai Kepala Bagian Pulmonologi FKUI antara lain :
Memodifikasi bentuk pelayanan rujukan tersier dengan memanfaatkan sumber daya melalui kebijakan teknologi tepat guna dengan memaksimalkan pengetahuan keterampilan klinik dasar dengan memanfaatkan peralatan secara tepat guna
Meningkatkan kemampuan rujukan pada kasus gawat darurat dan perawatan intensif
Menguasai kemampuan rujukan dalam bidang penyakit infeksi saluran napas bawah dan mampu bertindak sebagai narasumber
Meraih peluang-peluang yang ada di sektor swasta dalam program pemberantasan TB Nasional mengingat merosotnya kemapuan pemerintah (WHO, Bank Dunia, JATA, PPTI,dan lain-lain)
Meningkatkan peran bagian dalam kegiatan lembaga swasadaya masyarakat baik di dalam dan terutama dari luar negeri yang biasanya hanya mau bekerja sama dengan sektor swasta (YAI, PPTI, YKI, LM3, dan lain-lain) mengingat sumber dari pemerintah tampaknya sulit didapatkan.
Meningkatkan peran bagian dalam pendidikan S1 melalui kegiatan pendidikian terintegrasi dan kerjasama dengan Bagian lain
Melakukan efisiensi dalam pendidikan S2 dengan memperpendek masa pendidikan namun meningkatkan kualitas lulusan dengan mengoptimalkan peran Subbagian serta membuat prioritas pada masalah yang sangat relevan untuk ditingkatkan seperti pulmonologi intervensi, gawat darurat napas, penyakit paru akibat kerja dan lingkungan serta infeksi paru disamping bidang-bidang yang sudah mapan
Menambah jumlah peserta S3 baik di dalam maupun di luar negeri
Menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bersifat peningkatan pengetahuan dan keterampilan baik dilakukan sendiri maupun dalam bentuk kerjasama
Merevisi cara-cara dan sasaran penelitian dengan berorientasi pada pemecahan masalah klinik yang relevan dengan situasi saat ini dan yang akan datang, disamping penelitian yang selama ini sedang berjalan.
Pada saat kepemimpinan Dr. Hadiarto Mengunnegoro Sp.P, banyak diantara para anggota staf Bagian berperan aktif dalam lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan paru dan respirasi seperti Yayasan Asma Indonesia, PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia), LM3 (Lembaga Penanggulangan Masalah Merokok), Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT), dan sebagainya.
Pada tanggal 26 Februari 1986, didirikan Yayasan Asma Indonesia “Napas Segar” dihadapan Notaris DR. H. E. Gewang, S.H. dengan Akte No.18. Pendirinya antara lain Ny. Suryati Roesmin Nurjadin, Ny. Murni Munawir Sjadzali, Ny. Anna Soenjoto, Ny. Ingrid Rarasati Djoemardi Djoekardi, Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P, Dr. Anwar Jusuf, Sp.P, Dr. Nirwan Arief, Sp.P dan Bapak Soeparto.
Atas bantuan Ibu Negara waktu itu, Ny. Tien Suharto, didirikan Gedung Asma di RS Persahabatan yang menjadi kantor Yayasan Asma Indonesia serta berbagai fasilitas untuk melayani penderita asma.
Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Pulmonologi pada tanggal 22 Januari 2003. Dengan pengukuhan tersebut maka bertambah pula dokter spesialis paru yang mendapat gelar Profesor. Pidato pengukuhannya yang berjudul “Dari Pulmonologi Menuju Kedokteran Respirasi, Tantangan dan Harapan Memasuki Milenium Ketiga” mengandung makna yang mendalam serta memberi banyak inspirasi guna memajukan keilmuan tentang kesehatan paru dan respirasi di Indonesia pada masa mendatang.
Ada kisah menarik semasa Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P menjadi Kepala Bagian. Sejak awal telah terbangun cita-cita untuk mendirikan Pusat Kesehatan Respirasi Nasional. Pada waktu itu Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P masih menjadi Ketua PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia). Sebagai pelindung PPTI adalah Ibu Negara waktu itu, Ibu Tien Suharto. Dr. Hadiarto Mangunnegoro, Sp.P sebagai konseptor ingin dibuatkan RS Paru, dan diserahkan kepada Yayasan Harapan Kita. Yayasan Harapan Kita menyiapkan tanah seluas 4 hektar dan mulai membuat disain proyek. Kemudian Ibu Tien Suharto wafat, maka diambil alih oleh Presiden Suharto dan digabung dengan Pusat Ginjal dan Bedah Saraf di tempat yang sama sehingga nantinya rumah sakit tersebut merupakan pusat paru, ginjal dan bedah saraf terbesar di Asia. Namun takdir menentukan lain, pada waktu akan dilakukan pemancangan tiang pertama, Presiden Suharto jatuh dari kekuasaan.
Dari sisi lain pada era 1975-1992, RS Persahabatan juga mengalami perkembangan yang pesat, baik baik berupa pengembangan sarana fisik maupun manajemen operasionalnya berupa penyempurnaan organisasi yang dilengkapi dengan Komite- Komite, Tim PKMRS, Tim Mutu, dan lain-lain. Dari segi fisik adalah berdirinya Pusat Pemeriksaan Medik, Gedung Poliklinik Utama, Poliklinik Paru, Gedung Bedah Sentral, ICU, ICCU, dan lain-lain. Dengan dibangunnya gedung-gedung baru maka kemampuan layanan rawat jalan menjadi berkembang, termasuk diantaranya berupa poliklinik khusus seperti Asma, PPOK, Onkologi, Pasca Bedah Paru, Paru Kerja dan Klinik Berhenti Merokok. Pada era tersebut RS Persahabatan dipimpin oleh para Direktur : Dr. Zakaria Efendi (1975-1982), Dr. Soemarja Aniroen, MHA (1982-1985) dan Dr. Padmo Hoedoyo, MHA (1985-1992).
Pada tahun 1992 sampai 1999 salah satu alumnus Bagian Pulmonologi FKUI, Dr. Yudanarso Dawud, Sp.P, MHA diangkat menjadi Direktur RS Persahabatan. Dengan pengangkatan tersebut, maka gerak kemajuan Bagian Pulmonologi menjadi semakin cepat. Dengan kapasitasnya sebagai Direktur maka fasilitas-fasilitas untuk mendukung kegiatan Bagian Pulmonologi FKUI – RS Persahabatan sebagai pusat rujukan nasional penyakit paru makin berkembang, antara lain :
Dibangunnya Gedung Gawat Darurat yang didalamnya termasuk Pelayanan Gawat Darurat Paru.
Dibangunnya Gedung Seruni, yang didalamnya terdapat pelayanan Laboratorium Mikobakteriologi, Rehabilitasi Medik, Radiologi dan Patologi Anatomi. Bidang-bidang tersebut tidak sedikit andilnya dalam ikut memajukan Bagian Pulmonologi FKUI – RS Persahabatan
Diadakannya alat untuk diagnostik maupun terapi dalam bidang respirasi antara lain cardiopulmonary scan (CPX), CT Scan, Radioterapi, PCR untuk kuman TB, dan lain-lain
Ide untuk mendirikan IRCU (Intensive Respiratory Care Unit)
Dibangunnya Gedung Griya Puspa berlantai 6. Gedung tersebut diharapkan dapat menjadi Gedung Pusat Kesehatan Respirasi Nasional, sehingga pelayanan kesehatan respirasi menjadi terintegrasi
Mengusulkan pelayanan kesehatan bersifat reciprocal communication through empathy
Partisipasi Bagian Pulmonologi pada berbagai Kegiatan Bagian Pulmonologi FKUI – RS Persahabatan sebagai suatu institusi maupun anggota Staf Bagian sebagai individu secara aktif banyak berpartisipasi dalam berbagai kegiatan dalam bidang kesehatan paru dan respirasi. Antara lain :
Di tingkat Nasional, bekerjasama dengan Departemen Kesehatan dan instansi resmi lainnya serta lembaga Swadaya Masyarakat, Bagian Pulmonologi FKUI berpartispasi aktif dalam berbagai kegiatan penanggulangan berbagai penyakit pernapasan, seperti tuberkulosis, pneumonia, asma, PPOK dan SARS (Severe Acute Respiratory Distress Syndrome). Pada awal 2003, waktu terjangkitnya penyakit SARS di Indonesia misalnya, Staf Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, antara lain Prof. Dr.Hadiarto Mangunnegoro menjadi Ketua Tim Pakar, Dr.Tjandra Yoga Aditama dan Dr.Priyanti ZS masing-masing sebagai Ketua dan Anggota Tim Verifikasi SARS Tingkat Nasional, sedangkan Dr.Sardikin Giriputro sebagai Ketua Tim Investigasi merangkap anggota Tim Verifikasi.
Di tingkat Regional menjadi pendiri dan anggota berbagai organisai seperti APSR (Asia Pacific Society of Respirology), APCDC (Asia Pacific Congress of Disease of the Chest), ACCP (American Congress of Chest Physician) Indonesian Chapter.
Di tingkat Internasional, Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI menjadi salah satu pilar penyelenggaraan Respina (Respirologi Indonesia), suatu kegiatan ilmiah tahunan bertaraf internasional yang dicetuskan oleh beberapa staf dan alumnus antara lain Dr.Hadiarto Mangunnegoro, Dr.Menaldi Rasmin, Dr.Sutji Astuti Mariono, Dr Pradjnaparamita dan Dr. Ida Bernida. Selain itu Prof.Dr.Hadiarto juga sebagai Founding Member Asia Pacific Society of Respirology (1987), President of the 14th Asia Pacific Congress on Disease of the Chest (1996), dan Regent of Indonesian Chapter American College of Chest Physician (ACCP) (1997).
Pada tahun 1998, terpilihlah Dr. Anwar Jusuf, Sp.P sebagai Kepala Bagian yang baru. Pada era kepemimpinan Dr. Anwar Jusuf, Sp.P secara resmi diumumkannya perubahan nama bagian yang semula bernama Bagian Pulmonologi FKUI menjadi Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Guna menyesuaikan dengan keadaan tersebut maka struktur organisasi juga mengalami penyesuaian.
Saat ini Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi diketuai oleh Dr. Dianiati Kusumo Sutoyo, SpP(K) setelah pada periode sebelumnya dijabat oleh Dr. Priyanti ZS, SpP(K) yang kini menjabat sebagai Direktur Utama RSUP Persahabatan.
Mengembangkan ilmu dan teknologi kedokteran respirasi paripurna yang bermutu internasional melalui kemitraan
Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bidang kedokteran respirasi bagi tenaga medis, paramedis dan nonmedis
Melaksanakan riset yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat, masa kini dan masa depan
Melaksanakan pelayanan kesehatan sebagai pusat rujukan nasional penyakit paru dan pernapasan melalui pengembangan sumber daya manusia, sarana dan prasarana
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Persahabatan Gedung Poliklinik Paru Lantai 2 Jl. Persahabatan Raya No. 1, Rawamangun, Jakarta Timur 13230 Telp : (021) 489-3536 Fax : (021) 489-0744 Email : sekretariat@pulmo-ui.com