Penyakit autoimun Myasthenia Gravis (MG) adalah kondisi yang menyebabkan kelemahan otot karena adanya gangguan pada tautan saraf dan otot. Penyakit ini disebabkan oleh antibodi yang menghalangi fungsi reseptor asetilkolin, yang penting untuk komunikasi antara saraf dan otot. Akibatnya, pasien MG sering mengalami kelemahan otot yang signifikan. Insiden penyakit ini secara umum adalah 1:20.000 sampai 1:30.000 penduduk setiap tahunnya dan lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan 3:2 dibandingkan pria.
Menurut dr. Elta Diah Pasmanasari, Sp.N, MSi.Med, peneliti dari Program Doktor Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), penelitian mengenai terapi MG yang menggunakan hewan model tikus MG selama ini belum dapat menjelaskan patofisiologi penyakit pada model hewan tersebut. Dokter Elta tergugah melakukan penelitian untuk mengembangkan model hewan coba dengan menggunakan jenis mencit yang ada banyak di Indonesia, dengan biaya yang tidak terlalu tinggi disertai cara perlakuan yang mudah. Sehingga diharapkan bisa menjadi alat bantu dalam memahami dan meneliti penyakit ini lebih lanjut.
Dalam penelitiannya, dr. Elta menggunakan plasma dari pasien MG yang disuntikkan pada mencit jenis Swiss-Webster. “Dengan cara ini, kami dapat menciptakan model hewan yang meniru gejala klinis MG, seperti kelemahan otot, dan menciptakan kondisi yang mirip dengan mekanisme penyakit aslinya,” ujar dr. Elta.
Plasma yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari pasien MG yang sebelumnya telah diperiksa kadar antibodi asetilkolin reseptornya serta tingkat sel T-regulator (T-reg) yang berfungsi mengatur sistem kekebalan tubuh. Mencit yang disuntikkan plasma dengan kadar T-reg rendah menunjukkan gejala kelemahan otot mulai minggu kedua setelah penyuntikan, sementara mencit yang disuntikkan plasma dengan kadar T-reg tinggi tidak menunjukkan gejala serupa. Selain itu, kelompok mencit yang menerima plasma dengan kadar T-reg rendah juga mengalami penurunan massa otot yang signifikan dan perubahan pada kadar sitokin dalam tubuh mereka.
Penelitian ini juga menemukan bahwa penyuntikan plasma pasien MG dengan kadar T-reg rendah berpengaruh pada pembesaran timus, yang menunjukkan adanya perubahan pada fungsi kekebalan tubuh mencit. Model hewan coba yang dikembangkan ini memberikan harapan untuk penelitian lebih lanjut mengenai MG, terutama dalam pengembangan terapi baru yang lebih terjangkau dan mudah diterapkan.
Dr. Elta berharap model hewan coba ini dapat membantu penelitian-penelitian di masa depan. “Ke depan, model ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk pengembangan terapi baru yang lebih efektif dan terjangkau bagi pasien MG,” tambahnya.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana faktor imunologi dari pasien MG dapat mempengaruhi kondisi klinis hewan coba, yang pada akhirnya dapat membuka jalan bagi pengobatan yang lebih baik untuk penyakit autoimun ini.
Hasil penelitian disertasi yang berjudul “Efek Pemberian Plasma Pasien Myasthenia Gravis Sebagai Faktor Imunologi Pada Mencit Untuk Pemodelan Myasthenia Gravis” tersebut berhasil dipertahankan oleh dr. Elta dalam sidang terbuka promosi doktor tanggal 15 Agustus 2024 di Auditorium Lantai 3 Gedung IMERI-FKUI, Jakarta. Dokter Gita dengan lugas menjawab berbagai pertanyaan dan sanggahan dari tim penguji yang diketuai oleh Prof.dr.Teguh Ranakusuma, SpN(K), dengan anggota tim penguji yaitu Dr.dr.Ina S.Timan SpPK(K), MARS; Dr. Drs. Heri Wibowo, MS dan penguji tamu yaitu Prof. Dr. dr. Irianiwati, Sp.PA(K), Subsp.O.G.P.
Sidang promosi doktor ini diketuai oleh perwakilan Dekanat FKUI, Prof. Dr. dr. Em Yunir, Sp.PD, K-EMD, dengan Prof. Dr. dr. Erni Hernawati Purwaningsih, MS sebagai promotor dan Dr. dr. Fitri Octaviana, Sp.N(K), M.Pd.Ked serta Dr. dr. Retnaningsih, Sp.N(K)-KIC, M.K.M. sebagai ko-promotor.
Prof. Erni sebagai promotor menyampaikan sambutannya di akhir sidang promosi. “Selamat untuk dr. Elta hari ini sudah resmi dapat menyandang gelar doktor. Penelitian ini membuktikan bahwa pemberian plasma pasien MG pada mencit ternyata menghasilkan model MG yang mirip dengan patofisiologi dan patoimunologi pada manusia. Diharapkan model yang dikembangkan ini bisa digunakan untuk penelitian-penelitian terapi MG ke depannya sehingga lebih akurat,” tutur Prof. Erni.
(Humas FKUI)