Hipoksia, atau kekurangan oksigen, sering terjadi pada penderita obstructive sleep apnea (OSA) dan di lingkungan dengan tekanan udara rendah. Hipoksia kronis juga diketahui dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal. Prevalensi OSA mencapai 57% di antara kasus kerusakan ginjal, menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kondisi hipoksia dan menurunnya fungsi ginjal.
Pada sindrom OSA, hipoksia terjadi secara intermiten, yaitu berselang dengan kondisi pasokan oksigen normal (normoksia). Ini berbeda dengan hipoksia kontinu yang terjadi tanpa jeda. Hipoksia intermiten sering dialami oleh orang yang tinggal atau bekerja di daerah pegunungan atau oleh pilot yang harus terbang pada ketinggian tertentu. Untuk mengatasi risiko hipoksia, pilot menjalani latihan preconditioning, yaitu pemaparan pada hipoksia ringan secara berkala untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap hipoksia berikutnya.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Abdul Halim Sadikin, S.Si, M.Biomed, peserta Program Studi Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), mengungkapkan bahwa paparan hipoksia hipobarik intermiten dapat memicu adaptasi pada ginjal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh hipoksia terhadap stres oksidatif, metabolisme glukosa, dan vaskularisasi pada ginjal.
Penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hewan coba pada kondisi hipoksia secara intermiten. Kelompok kontrol terdiri dari hewan coba yang tidak mengalami hipoksia. Hasilnya menunjukkan bahwa ginjal dapat beradaptasi terhadap hipoksia setelah preconditioning. Terdapat peningkatan kadar protein yang berhubungan dengan adaptasi hipoksia pada kelompok yang mengalami dua kali hipoksia intermiten. Penelitian ini juga menemukan bahwa stres oksidatif yang biasa terjadi pada kondisi hipoksia dapat diredam di ginjal dengan preconditioning.
“Hipoksia intermiten ternyata mampu menurunkan stres oksidatif pada ginjal yang sudah mengalami preconditioning,” kata Abdul Halim. Selain itu, perubahan metabolisme glukosa yang biasa terjadi pada kondisi hipoksia tidak terjadi pada ginjal hewan coba yang mengalami preconditioning. Parameter metabolisme glukosa menunjukkan stabilitas tanpa perubahan yang merugikan. Pemeriksaan jaringan ginjal di bawah mikroskop juga tidak menunjukkan adanya kerusakan jaringan.
Kesimpulannya, ginjal yang mengalami preconditioning hipoksia melalui paparan hipoksia intermiten mampu beradaptasi dan bertahan pada kondisi hipoksia. Temuan ini membuka kemungkinan penggunaan preconditioning hipoksia sebagai terapi alternatif untuk penderita sindrom OSA guna mencegah kerusakan ginjal yang mungkin terjadi. Dengan demikian, preconditioning hipoksia dapat menjadi strategi pencegahan penting bagi mereka yang berisiko tinggi mengalami hipoksia, baik karena kondisi medis maupun lingkungan.
Abdul Halim berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pengaruh Paparan Hipoksia Hipobarik Intermiten: Kajian Adaptasi Terhadap Stres Oksidatif, Metabolisme Glukosa, dan Vaskularisasi Pada Ginjal” dalam sidang terbuka promosi doktor di Ruang Auditorium Lantai 3 Gedung IMERI-FKUI, Jakarta, pada 18 Juli 2024. Ia berhasil menjawab sanggahan dan pertanyaan dari tim penguji yang diketuai oleh Prof. dr. Wawaimuli Arozal, M.Biomed., Pharm.D., dengan anggota tim penguji yang terdiri dari dr. Dewi Sukmawati, M.Kes., Ph.D.; Prof. Dr. dr. Ninik Mudjihartini, M.Biomed.; dan penguji tamu dari Universitas Tarumanegara yaitu Prof. Dr. dr. Frans Ferdinal, MS.
Sidang ini dipimpin oleh Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD(K), dengan promotor Prof. Dr. dr. Ani Retno Prijanti, MS., serta kopromotor Prof. Dr. dr. Sri Widia A. Jusman, MS., dan Marsekal Pertama TNI Dr. dr. Wawan Mulyawan SpBS, SpKP, AAK.
Prof. Ani Retno selaku promotor turut menyampaikan sambutannya. “Selamat kepada Abdul Halim Sadikin yang sekarang telah menjadi Doktor. Ketertarikan Doktor Halim terhadap kedirgantaraan menjadi pemicu dilakukannya penelitian ini, yang mana pilot dan pasien OSA sama-sama mengalami fase hipoksia secara berkala. Ternyata, apabila treatment paparan hipoksia ini diulang secara interval, dan hanya dilakukan kurang dari 5 menit, menyebabkan adaptasi ginjal menjadi lebih baik. Akan tetapi, belum diketahui apakah (jika treatment dilakukan) lebih dari 4 kali, apakah akan bagus atau tidak, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,” ujar Prof. Ani Retno.
(Humas FKUI)