Teliti Faktor NS-HIV dengan ARV tanpa Stavudin, Peneliti FKUI Raih Doktor

Tatalaksana pasien HIV saat ini sudah sangat berkembang. Penemuan obat anti retroviral (ARV) sangat membantu pasien untuk memiliki angka harapan hidup yang lebih panjang. Namun, seiring dengan semakin panjangnya angka harapan hidup, HIV/AIDS pun kian menjadi penyakit kronik.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah pasien terinfeksi HIV yang tinggi. Kualitas hidup menjadi penting bagi pasien HIV. Penurunan kualitas hidup menjadi salah satu faktor yang memengaruhi produktivitas secara individu dan pendapatan negara secara global.

Salah satu komplikasi neurologi yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien HIV adalah neuropati sensorik. Neuropati sensorik dapat timbul akibat infeksi HIV itu sendiri atau akibat efek samping penggunaan ARV.

Gambaran klinis neuropati sensorik akibat infeksi HIV dan akibat ARV sangat mirip yaitu dapat berupa keluhan nyeri neuropatik, kesemutan dan baal, terutama mengenai serabut sensorik sehingga disebut sebagai Neuropati Sensorik pada HIV (NS-HIV). Nyeri neuropatik pada NS-HIV berkorelasi dengan depresi dan penurunan produktivitas.

Sebelum era penggunaan ARV, insidens NS-HIV mencapai 89%. Namun setelah era penggunaan ARV, insidensnya menurun menjadi 30%. NS-HIV juga berhubungan dengan penggunaan obat golongan nucleoside analog reverse transcriptase inhibitor (NRTIs) seperti didanosine, zalcitrabine, dan stavudin.

Saat ini penggunaan stavudin sudah jauh berkurang, namun NS-HIV masih sering dijumpai. Untuk itu diperlukan penelitian untuk mengetahui prevalensi NS-HIV pada pasien HIV yang menggunakan ARV tanpa stavudin.

Penelitian kemudian dilakukan oleh staf pengajar dari Departemen Neurologi FKUI-RSCM, dr. Fitri Octaviana, SpS(K), M.Pd.Ked sebagai karya disertasinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi NS-HIV pada pasien yang tidak menggunakan stavudin jauh menurun, yaitu sekitar 14,2%. Faktor demografi yang memengaruhi nyeri neuropatik pada HIV adalah penggunaan obat ARV jenis Protease Inhibitor (PI) dan lama penggunaan ARV <2 tahun. Oleh sebab itu, pasien HIV dengan nyeri neuropatik sebaiknya tidak menggunakan obat ARV jenis tersebut.

Pemaparan penelitian tersebut dipresentasikan pada sidang disertasi doktoral, Selasa (25/9) di Ruang Auditorium Lt. 3 Gedung IMERI FKUI, Salemba, Jakarta. Disertasi berjudul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Neuropati Sensorik pada Pasien HIV yang Mendapatkan Terapi Antiretroviral tanpa Stavudin: Peran Inflamasi Lokal dan Sistemikberhasil dipertahankan di hadapan tim penguji yang diketuai oleh Dr. Drs. Heri Wibowo, M. Biomed dengan anggota tim penguji Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI; Prof. Dr. Mohamad Sadikin, D.Sc; dan Dr. dr. Suryani Gunadharma, M.Kes, SpS(K) (Universitas Padjajaran).

Di akhir sidang, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM selaku ketua sidang mengangkat dr. Fitri Octaviana, SpS(K), M.Pd.Ked sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Biomedik di FKUI.

Promotor Prof. dr. Teguh A.S. Ranakusuma, SpS(K) dan ko promotor Dr. Nuryati C. Siregar, MS, PhD, SpPA(K) dan Adj. Prof. Patricia Price, PhD (Curtin University, Australia) berharap hasil penelitian ini dapat memberikan data dasar untuk penatalaksanaan neuropati sensorik pada pasien HIV dan membantu tatalaksana pasien HIV.

(Humas FKUI)