Pentingnya Asupan Gizi untuk Pencegahan Stunting

Permasalahan stunting (gagal tumbuh atau kerdil) di Indonesia masih menjadi keprihatinan bersama. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka kejadian stunting di Indonesia mencapai 30,8%. Walaupun sudah menurun dibandingkan dengan tahun 2013 yaitu sekitar 37,2%, angka tersebut masih tergolong tinggi karena masih berada di atas ambang maksimal dari WHO yaitu sebesar 20%.

Dr. dr. Dian Novita Chandra, M. Gizi, staf pengajar dari Departemen Ilmu Gizi FKUI mengatakan bahwa stunting merupakan suatu kondisi pertumbuhan tinggi badan anak yang terhambat atau perawakan pendek yang merupakan manifestasi kronis dari kekurangan gizi atau mengalami kekurangan gizi dalam waktu yang cukup lama.

“Indikator stunting dinilai berdasarkan indeks tinggi badan atau panjang badan terhadap umur berdasarkan kurva pertumbuhan standar sesuai jenis kelamin. Anak dinyatakan stunting bila indeks tinggi badan terhadap umur adalah kurang dari minus dua standar deviasi dari median kurva standar pertumbuhan,” ucapnya.

Ciri-ciri seorang anak yang terindikasi stunting antara lain adalah pertambahan tinggi badannya tidak sesuai dengan kurva pertumbuhan standar berdasarkan umur dan jenis kelamin. Dengan kata lain, tinggi badannya lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya pada populasi yang sama atau laju pertambahan tinggi badannya lebih lambat dari anak lain seusianya pada populasi yang sama. Oleh karena itu, tumbuh kembang anak harus dipantau dan diukur tinggi badannya setiap bulan hingga berusia dua tahun. Pemantauan kemudian dilanjutkan secara berkala selama 6–12 bulan setelah berusia dua tahun.

Penyebab Stunting

Penyebab terjadinya risiko stunting adalah multifaktorial. Penyebab paling utama adalah kekurangan gizi kronis pada awal 1.000 hari pertama kehidupan yaitu sejak awal kehamilan (konsepsi) hingga anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi dapat berupa kurangnya jumlah asupan makanan, atau kualitas makanan yang kurang baik, seperti kurangnya variasi makanan. Faktor lain yang turut berperan dalam risiko stunting antara lain kesehatan ibu selama kehamilan, pola asuh dan kesehatan anak atau kekerapan mengalami penyakit infeksi, kondisi sosio-ekonomi serta lingkungan.

“Penyakit infeksi dapat menurunkan penyerapan zat gizi dari usus, kehilangan zat gizi secara langsung (misalnya pada diare), dan peningkatan kebutuhan zat gizi untuk pemulihan sehingga zat gizi tidak dimanfaatkan untuk pertumbuhan,” ujar dr. Dian.

Kondisi stunting tentunya akan memberi dampak buruk bagi seorang anak, baik dampak jangka pendek mau pun jangka panjang. Anak dengan kekurangan gizi kronis di awal kehidupan, perkembangan otaknya juga terhambat hingga kemampuan kecerdasan dan performa edukasinya kelak pun akan lebih rendah dibanding anak yang tidak stunting. Selain itu, pertumbuhan tinggi dan komposisi otot tubuhnya juga akan terhambat yang pada akhirnya akan menurunkan sistem kekebalan tubuh (lebih mudah sakit) dan performa kerja di masa dewasa.

Kekurangan energi dan zat gizi juga akan memaksa proses metabolisme tubuh untuk beradaptasi sehingga berisiko meningkatkan penyakit-penyakit metabolik di masa dewasa, antara lain diabetes, obesitas, dan darah tinggi. Sehingga dapat disimpulkan, stunting akan berdampak pada kualitas hidup seorang anak di masa dewasanya.

Cegah Stunting

Pemenuhan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, menjadi upaya pertama dalam menghindari stunting. Pemenuhan gizi tersebut meliputi gizi selama kehamilan dan masa kanak-kanak hingga usia dua tahun. Kesehatan ibu hamil dan anak juga harus dijaga dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat sehingga mengurangi kekerapan terjadinya infeksi pada ibu hamil dan masa kanak-kanak.

Pemantauan tumbuh-kembang anak secara berkala juga perlu dilakukan, baik sejak dalam kandungan, setiap bulan setelah kelahiran hingga berusia dua tahun, kemudian 6–12 bulan setelah berusia dua tahun, agar dapat segera dideteksi bila terjadi keterlambatan pertumbuhan untuk diintervensi.

“Perlu juga diingat bahwa semua zat gizi penting untuk pertumbuhan, terutama protein, dan mikronutrien antara lain zinc, yodium, zat besi, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, asam folat. Kebutuhan energi harus tercukupi agar protein tidak dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh tubuh dan bisa digunakan untuk pertumbuhan. Selain jumlah yang cukup, perlu diperhatikan kualitas dan keberagaman jenisnya agar zat gizi yang terdapat dalam makanan lengkap sesuai kebutuhan,” terang dr. Dian.

Penanganan stunting di Indonesia saat ini memang tidak mudah. Banyaknya faktor yang mempengaruhi menjadi tantangan dalam program pengentasan stunting. Sebuah penelitian terbaru mendapatkan bahwa tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kejadian stunting.

“Mengingat nutrisi 1.000 hari pertama kehidupan dibutuhkan sejak awal kehamilan, sementara kita tidak dapat mengetahui kapan tepatnya kehamilan terjadi, maka ada baiknya kebutuhan zat gizi di sepanjang masa kehidupan perlu diperhatikan. Oleh karena itu perlu dilakukan intervensi gizi pada remaja putri, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan cepat terakhir sebelum dewasa, agar mencapai tinggi badan optimal. Selain itu diperlukan juga intervensi gizi sejak seorang perempuan dengan tinggi badan kurang dari 150 cm menikah agar asupan zat gizi anaknya terpenuhi sejak awal kehamilan,” tutup dr. Dian.