Warga Sulut Didorong Tidak Ragu Berobat demi Memberantas Kusta
#Liputanmedia
KOMPAS.id — Sulawesi Utara menjadi satu dari enam daerah dengan prevalensi kusta tertinggi di Indonesia. Sebagai upaya deteksi dini, puluhan dokter spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Sam Ratulangi mengadakan pemeriksaan gratis agar masyarakat tidak ragu berobat.
Pelayanan kesehatan gratis ini diadakan di Puskesmas Likupang di Kecamatan Likupang Timur, Minahasa Utara, Jumat (19/8/2022). Sebanyak 39 dokter spesialis kulit; mata; telinga, hidung, tenggorok, dan bedah kepala leher (THT KL); kesehatan fisik dan rehabilitasi; serta mikrobiologi dilibatkan dalam kegiatan itu.
Mereka juga dibantu 26 mahasiswa pendidikan dokter spesialis, 7 dokter umum, 10 mahasiswa kedokteran koasistensi, 3 analis kesehatan, dan 1 refraksionis. Dari semua tenaga kesehatan itu, 19 orang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), sedangkan lainnya dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).
Ratusan warga berbondong-bondong datang untuk memeriksakan diri sejak pukul 08.00 Wita. Tidak sedikit warga yang datang dari pulau-pulau kecil di lepas pantai Minahasa Utara. Salah satunya adalah Bonafacius Andaria (62) dari Desa Kahuku di Pulau Bangka.
”Saya belum tahu apa saya sakit kusta, tetapi ada bercak di kulit. Makanya saya mau periksa. Kalau tidak sembuh, bisa-bisa dijauhi oleh masyarakat karena penyakit ini,” kata Bonafacius yang juga memeriksakan matanya karena mulai rabun.
Secara administratif, empat desa di Pulau Bangka masih masuk wilayah Likupang Timur. Tidak ada puskesmas di pulau yang berjarak satu jam pelayaran dari Minahasa Utara daratan itu. Bonafacius pun harus menyeberang dengan taksi laut berbiaya Rp 25.000 per penumpang demi mendapatkan layanan kesehatan terkait kusta.
Adapun pemeriksaan kesehatan ini merupakan bagian dari program kerja tim Identifikasi Tanda-tanda Mata, Ekstremitas, dan Kulit pada Kusta (Katamataku) yang digagas dokter-dokter spesialis terkait di FKUI. Yunia Irawati, dokter spesialis mata yang mengetuai tim Katamataku, menyebut Sulut, khususnya Minahasa Utara, sebagai daerah yang penting untuk dijangkau layanan ini.
Sepanjang 2021, tingkat penemuan kasus baru kusta di Sulut mencapai 14,04 per 100.000 penduduk. Angka ini menempatkan Sulut dalam enam besar bersama Papua Barat, Papua, Maluku Utara, Maluku, dan Gorontalo. Adapun di Minahasa Utara, prevalensi kasus baru mencapai 32,72 per 100.000 penduduk.
”Setelah kami lihat data Kementerian Kesehatan, ternyata prevalensi di Likupang termasuk tinggi. Ada puluhan kasus baru yang terdeteksi tahun lalu. Ini memprihatinkan, apalagi daerah ini sudah dijadikan destinasi pariwisata superprioritas oleh pemerintah,” kata Irawati.
Sebaliknya, Kepala Puskesmas Likupang Stefanus Lembong menyatakan, jumlah pasien kusta di Kecamatan Likupang Timur yang saat ini aktif menjalani pengobatan hanya sembilan orang. ”Jumlahnya sudah menurun jauh. Banyak yang sudah selesai pengobatan dan sembuh serta ada yang sudah meninggal,” katanya.
Kendati begitu, bukan berarti masalah kusta bisa dibilang selesai. Tri Rahayu, dokter spesialis mata dari FKUI, ketua panitia pelaksana pelayanan kesehatan Katamataku, menyatakan, efek dari kusta dapat muncul bahkan setelah selesai masa pengobatan. Masalah ini tidak hanya meliputi kulit, tetapi juga seluruh organ tubuh, termasuk mata.
”Ada banyak kelainan akibat kusta yang dapat menyebabkan kebutaan. Kelopak mata tidak bisa menutup sehingga kornea kering dan menyebabkan kebutaan. Kemudian peradangan dan peningkatan tekanan bola mata serta katarak. Kalau kelainan ini bisa ditemukan sejak dini, kita bisa menyelamatkan pasien dari kebutaan,” kata Tri.
Deteksi dini juga diperlukan untuk memberantas stigma terhadap penderita kusta. Menurut Irawati, banyak penderita kusta yang dijauhi oleh orang-orang terdekat di keluarga ataupun lingkungan tempat tinggalnya. Padahal, penyakit yang disebabkan bakteri Mycobacterium leprae ini memerlukan kontak erat dalam jangka waktu yang panjang untuk bisa menular.
”Lewat kegiatan seperti ini, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat agar mereka mengenal gejala penyakit kusta sejak dini. Jangan sampai mereka tersingkir dan tidak terobati sejak awal,” kata Irawati.
Sementara itu, Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan, dan Penunjang RS Umum Pusat Prof dr RD Kandou Manado Jehezkiel Panjaitan menyatakan siap menerima rujukan pasien kusta. Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan telah menyediakan obat-obat yang dibutuhkan untuk memastikan kesembuhan pasien yang membutuhkan waktu 12-18 bulan.
Program ini diadakan demi mencapai target Indonesia bebas kusta pada 2024. Saat ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus baru kusta terbanyak ketiga di dunia setelah India dan Brasil. Per 24 Januari 2022, Kementerian Kesehatan mencatat adanya 13.487 kasus dan 7.146 kasus baru.
sumber berita: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/08/19/warga-sulut-didorong-tak-ragu-berobat-demi-berantas-kusta