Respons Alami yang Muncul pada Tubuh Saat Seseorang Alami Stres
#Liputanmedia
Liputan6.com, Jakarta – Dokter spesialis kedokteran jiwa A. M. Y. Eva Suryani mengungkapkan bahwa saat mengalami stres, seseorang akan memiliki dua respons alami pada tubuh. Dua respons tersebut dinamakan dengan fight dan flight.
“Respons seseorang terhadap stres itu adalah fight atau flight. Jadi mau menghadapi stres tersebut (fight) atau justru menghindari (flight),” ujar Eva dalam seminar daring oleh Fakultas Kedokteran S3 Universitas Indonesia (UI) dengan tema Manajemen Stres dan Manfaatnya untuk Kesehatan Jantung pada Jumat, 1 Oktober 2021.
Saat seseorang mengalami stres, semua sistem dalam tubuh akan memberikan respons. Sinyal tersebut kemudian ditangkap oleh hipotalamus yang menghasilkan hormon adrenokortikotropik, yang akan mengeluarkan hormon adrenalin dan kortisol.
“Hormon adrenalin dan kortisol itu yang akan meningkatkan detak jantung, melebarkan bronkodilatasi. Apabila seseorang bisa beradaptasi, maka orang akan baik-baik saja. Tapi kalau hal ini terjadi terus-menerus, maka akan mengalami gejala gangguan secara fisik,” kata Eva.
Eva menjelaskan, terdapat tiga istilah berbeda terkait cara sistem respons stres dapat mempengaruhi tubuh. Tiga respons tersebut adalah positive, tolerable, dan toxic. Berikut ketiga perbedaannya.
1. Positive
“Kalau misalkan seseorang mengalami stres, ada peningkatan denyut jantung dan sedikit peningkatan kadar hormon stres, itu masih suatu hal yang sifatnya positif dan merupakan stres yang sehat. Biasanya dialami dalam jangka waktu yang pendek,” ujar Eva.
2. Tolerable
Sedangkan pada tahap tolerable, seseorang berada pada kondisi stres yang serius dan memiliki respons sementara. Hal tersebut dibantu oleh peran lingkungan dan hubungan yang mendukung.
“Sehingga seseorang masih bisa menghadapi stres tersebut. Itu masih tolerable,” kata Eva.
3. Toxic
Namun jika stres yang dialami terjadi dalam jangka waktu panjang, ditambah dengan tidak adanya hubungan dan lingkungan yang mendukung, maka respons stres tersebut masuk dalam kategori toxic.
“Hal ini bisa mengakibatkan stres yang mempengaruhi kesehatan baik secara fisik maupun mental. Kalau terus-menerus dan dipicu oleh berbagai sumber, hal ini bisa berdampak selama seumur hidup,” ujar Eva.
Eva menambahkan, Depresi dan faktor psikososial dikaitkan dengan risiko penyakit jantung 2.5 hingga 3.5 kali lipat lebih tinggi. Bahkan jika seseorang sudah mengontrol faktor lainnya seperti gaya hidup dan gangguan medis lainnya.
“Orang dewasa di bawah 40 tahun yang menderita depresi dan ada riwayat percobaan bunuh diri adalah suatu prediktor yang signifikan dari kematian dini terkait penyakit kardiovaskular dan penyakit jantung iskemik pada pria maupun wanita,” kata Eva.
Sumber berita: https://www.liputan6.com/…/respons-alami-yang-muncul…