Mewaspadai Dampak Long Covid pada Otak
#LiputanMedia
“Yang saya rasakan, ingatan saya tiba-tiba pendek. Tiba tiba ngeblank, tiba-tiba lupa, tiba-tiba enggak bisa fokus. Padahal saya sebelumnya bukan orang pelupa. Kalaupun lupa, itu wajar. Tapi setelah saya negatif (covid-19), saya merasa sering ngeblank,” ujar seorang penyintas covid-19 dalam jejaring pertemanan di dunia maya.
Brain fog berdampak pada kondisi mental individu dengan bermacammacam ciri khasnya seperti bengong. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH, menjelaskan gangguan saraf atau brain fog merupakan masalah kesehatan yang disebabkan dua hal.
Pertama, faktor fisiologi di otak penderita yang sudah terjadi lama atau sejak lahir. Kedua, brain fog muncul karena tekanan tertentu atau dampak dari suatu penyakit yang pernah diderita. Meski begitu, sergah Ari, penyakit seperti covid-19 juga bisa menjadi penyebab brain fog pada penyintasnya yang berdampak pada psike mereka.
“Dan itu bisa menjadi salah satu dampak long covid yang hingga kini masih terus diteliti. Prinsipnya, yang namanya long covid itu kita tidak tahu orang itu akan jadi long covid atau tidak gitu, kita tidak bisa memprediksi. Tapi itu memang bisa terjadi pada penyintas covid,” terangnya kepada Media Indonesia, pekan lalu.
Menurutnya, keadaan seperti bengong, terlambat berpikir dan bertindak tidak biasa merupakan ciri-ciri yang bisa ditemukan pada orang yang mengalami brain fog. Pengobatannya pun layaknya pasien yang terganggu psikenya.
Signifikan
Sejumlah peneliti di Amerika Serikat melakukan riset dan menemukan satu dari tiga penyintas covid-19 terdiagnosis gangguan saraf dalam kurun waktu 6 bulan. Riset yang melibatkan 230.000 lebih mayoritas pasien itu menunjukkan pandemi jelas menyebabkan gelombang gangguan mental dan saraf.
Pasca-covid, kasus struk, demensia, dan gangguan saraf lainnya jarang terjadi, kata peneliti, tapi masih signifi kan, terutama bagi mereka yang mengalami covid-19 parah.
“Hasil kami mengindikasikan bahwa penyakit otak dan gangguan kejiwaan lebih umum setelah covid-19 dibandingkan dengan setelah fl u atau infeksi pernapasan lainnya,” kata Max Taquet, psikiater di Universitas Oxford Inggris, yang juga memimpin riset tersebut.
Peneliti belum menemukan jawaban bagaimana virus terkait dengan kondisi kejiwaan seperti kecemasan dan depresi. Karena itu, perlu penelitian lanjutan untuk mengidentifi kasinya demi menemukan cara mengobati bahkan mencegahnya.
Temuan baru ini, yang dipublikasi di jurnal Lancet Psychiatry, menganalisis catatan kesehatan 236.379 pasien covid-19, yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat, dan menemukan 34% di antaranya terdiagnosis penyakit kejiwaan atau saraf dalam waktu enam bulan.
Kecemasan dan gangguan suasana hati (mood) adalah keluhan yang paling umum. Sepertinya tidak terkait dengan seberapa ringan atau parah covid-19 yang dialami si pasien.
“Meski risiko individu untuk sebagian besar gangguan kecil, efek terhadap seluruh populasi bisa jadi besar,” kata Paul Harrison, profesor kejiwaan Universitas Oxford yang juga memimpin riset tersebut. Dok Media Indonesia
(WWD)