Kanker Hati, Gejala dan Pengobatannya
#Liputanmedia
TEMPO.CO, Jakarta – Kanker hati disebut juga pembunuh senyap karena tidak memiliki gejala khas sehingga kebanyakan pasien terlambat untuk mengobati lantaran penyakit sudah memburuk. Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, dr. Irsan Hasan menjelaskan, kanker hati merupakan penyebab kematian akibat kanker keempat tertinggi di dunia.
Di Indonesia, kanker hati berada di posisi nomor lima yang banyak diderita pasien kanker secara keseluruhan dan ada di urutan ketiga kanker yang banyak diidap laki-laki. Dia mengatakan tidak ada peningkatan signifikan harapan hidup pasien kanker hati pada periode 1998-1999 dibandingkan dengan periode 2013-2014.
“Alasannya banyak pasien terlambat untuk mencari pengobatan,” kata Irsan.
Salah satu faktor yang menyebabkan penanganan terlambat adalah pasien tidak menyadari mengidap hepatitis. Padahal, dia mengatakan minimal satu dari 10 penduduk Indonesia mengidap hepatitis.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah penderita hepatitis B mencapai 17,5 juta penduduk, 20-30 persen diperkirakan memburuk jadi sirosis atau keganasan hati. Hepatitis B yang disebabkan virus HBV dapat dicegah lewat vaksinasi. Baik hepatitis B maupun hepatitis C kronis bisa mengakibatkan sirosis dan kanker hati.
Faktor lain adalah tidak melaksanakan skrining secara berkala (surveilans), juga tidak adanya gejala atau gejala yang tidak khas. Pada umumnya gejala tidak dirasakan sampai stadium lanjut. Tapi sebagian orang bisa mengalami nyeri pada perut, perut membesar, mudah memar dan perdarahan, kulit dan mata menguning, serta penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan.
“Banyak yang menduga dia hanya sakit maag, jadi menjalani pengobatan maag, lalu setelah penyakitnya sudah berat baru disadari itu bukan maag,” kata staf Divisi Hepatobilier Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Ada lima kelompok stadium kanker hati, yakni stadium sangat awal, stadium awal (A), stadium intermediet (B), stadium lanjut (C) dan stadium terminal (D).
“Kalau di stadium sangat awal dan stadium awal sudah ditemukan, kami senang karena bisa disembuhkan. Tetapi kalau sudah stadium B, C, D, sudah terlambat karena janji kesembuhan sulit diberikan kepada pasien,” jelas Sekretaris Program Pendidikan Subspesialis Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Pasien dengan stadium lanjut diberikan terapi sistemik. Dia menuturkan, dulu pasien diobati dengan kemoterapi namun ternyata tidak memperpanjang harapan hidup dan efek sampingnya banyak. Sejak 2008, terapi target diberikan untuk pasien kanker hati stadium lanjut. Pada terapi target, obat diberikan untuk menargetkan gen dan protein spesifik yang terlibat dalam pertumbuhan dan survival sel kanker.
Terapi target berbeda dengan kemoterapi yang bertujuan menghambat pembelahan sel. Dia menganalogikan kemoterapi seperti pengeboman satu area yang bisa berdampak pada daerah sekitar target, sementara terapi target seperti penembak runduk yang mengarah kepada sasaran tertentu.
Salah satu pilihan terapi sistemik untuk pasien kanker hati adalah obat imunoterapi atezolizumab dan obat antikanker bevacizumab. Sementara itu, pada pasien stadium terminal, perawatan yang diberikan adalah best supportive care. Pasien tidak diberikan obat untuk kanker, melainkan terapi untuk mendukung kesehatan.
“Kalau nyeri dikasih obat antinyeri, diberi infus bila kurang dapat asupan makanan,” jelasnya.
Kepala Staf Medis Patologi Klinik di Instalasi Laboratorium Terpadu RS Dharmais, dr. Agus Kosasih, menekankan pentingnya pemeriksaan rutin pada pasien hepatitis untuk mendeteksi risiko kanker hati. Agus menjelaskan kanker hati bisa disebabkan oleh hepatitis B, hepatitis C, penyakit hati alkoholik, atau penyebab lain seperti alflatoksin, yakni jamur karsinogenik yang umumnya ditemukan pada makanan terkontaminasi.
Program surveilans berhubungan dengan pernaikan angka kesintasan. Pasien yang berisiko tinggi mengalami kanker hati, seperti penderita hepatitis B dan C dan fungsi hati abnormal, disarankan menjalani pemantauan rutin minimal enam bulan sekali.
“Saat ini surveilans paling sering dilakukan melalui USG hati dan pengukuran AFP (Alfa Feto Protein) setiap 6 bulan,” kata Kepala Departemen Laboratorium Terintegrasi RS Siloam MRCCC itu.
Rekomendasi minimal pemeriksaan adalah enam bulan sekali dengan menggunakan USG lewat tes PIVKA II (Protein Induced by Vitamin K Absence or Antagonist) dan AFP. Pemeriksaan laboratorium mengukur kadar PIVKA II pada darah pasien bisa membantu diagnosis kanker hati. Kadar PIVKA II di atas nilai normal bisa jadi penanda dalam surveilans untuk menyarankan pasien diperiksa lebih lanjut.
“Kadar PIVKA-II berkorelasi dengan keganasan tumor,” kata Agus, menambahkan kombinasi PIVKA-II dan AFP memberikan akurasi diagnostik lebih baik.
Salah satu pasien kanker hati, Evy Rachmad, yang juga anggota Cancer Information & Support Center menuturkan pengalamannya menghadapi penyakit senyap ini. Perempuan 68 tahun itu baru mengetahui terkena kanker hati tiga tahun lalu ketika berniat mendapatkan vaksin hepatitis. Hasil laboratorium menunjukkan ia positif hepatitis C dan kanker hati.
“Tidak ada gejala yang dirasakan, saya obati dulu hepatitis C, setelah bersih lanjut pengobatan kanker hati,” kata Evy, yang masih melanjutkan pengobatan.
Sumber berita: https://gaya.tempo.co/…/kanker-hati-gejala…/full&view=ok