Info FKUIUncategorized

Gegara Polusi Udara, Masyarakat Indonesia Bisa Kehilangan 1,2 Tahun Usia Harapan Hidup

#LiputanMedia

Liputan6.com – Direktur Utama Rumah Sakit Persahabatan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyampaikan bahwa kemajuan teknologi, industri, dan transportasi jadi faktor peningkat pencemaran serta polusi udara.

Polusi udara merupakan salah satu masalah kesehatan dan lingkungan yang paling besar di dunia. Polusi udara berkontribusi terhadap sekitar 11,65 persen kematian secara global dan merupakan salah satu faktor risiko beban penyakit.

“Maka dari itu, polusi udara tidak hanya mengambil tahun kehidupan seseorang, tetapi juga turut berdampak pada kualitas kehidupan seseorang saat masih hidup,” kata Agus dalam pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Sabtu, 11 Februari 2023.

Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara di antaranya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis (TB), asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru dan fibrosis paru.

“Akibat pajanan polusi udara, rata-rata individu di Indonesia mengalami kehilangan 1,2 tahun usia harapan hidup dikarenakan kualitas udara di Indonesia gagal memenuhi kriteria konsentrasi PM2,5 yang ditetapkan oleh WHO.”

“Penduduk di kota besar seperti Jakarta dapat kehilangan sekitar 2,3 tahun usia harapan hidup apabila terpajan dengan level polusi udara yang sama secara terus menerus,” tambahnya.

Sebagai sistem yang berinteraksi langsung dengan udara dari luar ruangan, sistem respirasi sangat rentan terhadap polusi yang terkandung dalam udara. Polutan dapat mengiritasi saluran napas, memicu inflamasi dan stres oksidatif di saluran pernapasan.  Dampak polusi udara terhadap kesehatan respirasi dapat berupa dampak akut maupun dampak kronik.

Rekomendasi untuk Perbaiki Keadaan

Guru Besar Tetap FKUI dalam bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi itu juga merekomendasikan berbagai pihak agar secara sinergis dapat turut ikut serta berkontribusi pada pengendalian kualitas udara. Pihak-pihak ini termasuk masyarakat, pelaku industri, pemerintah, dan dokter.

“Masyarakat dapat memulai dengan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum atau kendaraan yang lebih ramah lingkungan.”

“Masyarakat saat ini juga bisa menghindari kegiatan di luar ruangan saat polusi udara sedang tinggi dengan memantau kualitas udara real-time dengan aplikasi (misal aplikasi AirVisual dari IQAir) yang bisa diunduh di smartphone,” ujar Agus.

Rekomendasi Berikutnya

Ia menambahkan, masyarakat disarankan menggunakan masker sesuai standar bila beraktivitas di luar ruangan saat kualitas udara tidak sehat.

Pelaku industri dapat menurunkan kadar polusi dengan melakukan kajian dampak lingkungan dari aktivitas industri yang dilakukan.

Sedangkan, Institusi pendidikan dan pemerintah juga perlu melakukan riset dan inovasi yang mendorong energi terbarukan termasuk mendorong pendirian pembangkit listrik tenaga alternatif.

Jadi Guru Besar

Dengan temuan ini, Agus Dwi Susanto berhasil dikukuhkan menjadi Guru Besar di FKUI. Prosesi pengukuhan guru besar dipimpin oleh Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro.

Sebelumnya, Prof. Agus telah menjalani Program Pendidikan Dokter di FKUI. Setelah lulus menjadi dokter umum pada 1998, ia melanjutkan studi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi di fakultas yang sama dan lulus pada 2005.

Ia mendapatkan gelar konsultan penyakit paru kerja dan lingkungan dari Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada 2012. Selanjutnya, Agus mendapatkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 2014.

Sejauh ini, ia telah mempublikasikan 27 jurnal internasional dan beberapa judul karya ilmiah salah satunya Accuracy of VOC Detection in Exhaled Breath Compared to Reverse transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) for Diagnosis of COVID-19: An Evidence based case report (2022).

Sumber berita: https://www.liputan6.com/health/read/5213315/gegara-polusi-udara-masyarakat-indonesia-bisa-kehilangan-12-tahun-usia-harapan-hidup