Bahaya Buruknya Kualitas Udara Bagi Kesehatan Masyarakat
#LiputanMedia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dokter spesialis paru dan peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Erlina Burhan, mengatakan, kualitas udara yang buruk di Jakarta tentu berimplikasi signifikan terhadap kesehatan masyarakat. Menurut dia, tingginya tingkat pencemaran udara, terutama partikel halus atau PM2.5 dan polutan lainnya, dapat menimbulkan beberapa dampak yang merugikan bagi kesehatan penduduk.
Erlina menyatakan, jika polutan berbahaya terhirup dan masuk melalui saluran pernapasan, akan menimbulkan gangguang pernafasan akut/kronik dan penurunan fungsi paru. Jika masuk ke dalam peredaran darah akan tertimbun di berbagai organ tubuh. Seperti jantung, yang akan mengakibatkan risiko serangan jantung.
“Apabila menyerang otak akan menyebakan depresi, atau dapat memperburuk penyakit yang ada sebelumnya. Pada ibu hamil akan menyebabkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan masalah perkembangan pada janin. Sedangkan pada anak akan menyebabkan gangguan pertumbuhan,” kata Erlina dalam webinar yang digelar oleh BRIN, dikutip Senin (24/9/2023).
Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Puji Lestari, mengungkapkan, sumber polutan PM2.5 di Jakarta berasal dari transportasi 46 persen, industri 43 persen, pembangit sembilan persen, dan residensial dua persen. Menurut dia, ada beberapa dampak materi partikulat.
“Pertama, deposisi kering, yaitu partike berukuran besar. Hal itu dapat menyebabkan deposisi kering pada permukaan bumi, dan berdampak pada permukaan air, serta lingkungan,” kata Puji.
Lalu, lanjut Puji, ada dampak terhadap kesehatan. Partikulat, khususnya partikulat kurang dari 2,5 milimikron atau halus dapat menembus sistem pernapasan dan menembus jauh ke dalam paru-paru. Itu, kata dia, dapat menyebabkan kerusakan paru-paru dan masuk ke aliran darah.
Ketiga, mengurangi visibilitas. Partikel halus lebih efisien dalam menyerap dan menghamburkan cahaya dibandingkan partikel kasar. Keempat, melakukan perjalanan jauh. Artikel halus tetap berada di atmosfer selama berhari-hari dan dapat terbawa jauh melintasi negara.
Rahadian Pratama, Peneliti Program PR Biomedis ORK BRIN, dengan materi Respon Tubuh terhadap Krisis Polusi Udara dari Sudut Molekuler menjelaskan, partikel polutan yang sangat halus dapat menginvasi sel-sel dalam tubuh dan menimbulkan kerusakan. Sedangkan ukuran partikel yang besar dapat dikeluarkan dari tubuh dengan mekanisme batuk, bersin, dan sebagainya.
“Respons tubuh terhadap polutan ada tiga fase. Tier 1, artinya oksidan akan men-trigger pada fase pertama yaitu defense antioksidan. Jika fase tier 1 gagal maka terjadi inflamasi pada tier 2, dan jika gagal lagi akan berlanjut ke tier 3. Pada fase ini kerusakan makin luas, akan terjadi kerusakan pada mitokondria yang menyebabkan kematian sel,” ujar Rahadian.
Dia menambahkan, kerusakan mitokondria dapat berimplikasi pada berbagai kondisi medis lainnya, seperti penyakit kardiovaskular. Kemudian kerusakan pada sistem saraf, hingga mempercepat terjadinya penyakit alzheimer dan parkinson.
Salah kaprah teknologi modifikasi cuaca
Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) BRIN, Budi Harsoyo, menuturkan, saat ini masyarakat masih menganggap bahwa modifikasi cuaca sebagai hujan buatan. Menurut dia, istilah tersebut kurang tepat karena sejatinya modifikasi cuaca adalah men-trigger potensi hujan dalam awan di atmosfer.
“Hal ini dilakukan supaya hujannya bisa dioptimalkan dan jatuhnya di lokasi yang menjadi daerah target, agar tepat sasaran, dan efeknya bisa memperluas area covered hujan. Memperpanjang durasi life time awan, memperpanjang durasi hujan, dan meningkatkan intensitasnya,” jelas dia.
Budi mengutarakan, awan-awan yang berpotensi di atmosfer ditrigger dengan menginjeksikan bahan semai. Bahan semai itu berupa garam NaCl atau CaCl2 yang berfungsi sebagai inti kondensasi di dalam awan, untuk memperbanyak aerosol.
“Aerosol ini akan bertumbukan dengan uap air yang ada di awan dan satu sama lain akan bergabung. Saat berat jenisnya sudah sama atau lebih berat dari grafitasi akan jatuh menjadi tetes hujan,” kata Budi.
Dalam kondisi tidak ada potensi hujan, terang dia, TMC bisa dilakukan untuk mengurangi kepadatan polutan di permukaan dengan cara mengganggu kestabilan atmosfer. Hal itu sudah dilakukan oleh negara lain di Asia seperti Thailand yang melakukannya dengancara menebarkan dry ice. Sayangnya, dia menyebut Indonesia belum siap untuk melakukannya.
“Indonesia belum siap melakukannya, kecuali jika nantinya TMC akan menjadi solusi permanen. Intinya ada layer inversi yang terbentuk karena ada persamaan suhu di ketinggian tertentu, sehingga massa udaranya menumpuk dan terbentuk layer,” terang dia.
Lebih jauh dia menerangkan, polutan-polutan yang ada dipermukaan tidak bisa terdispersi ke atas, karena tertahan oleh layer. Dengan menebarkan dry ice, profil suhu akan dinormalkan kembali, dan layer akan terbuka. Selanjutnya, polutan bisa bergerak ke atas dan tidak menumpuk di permukaan.
“Secara umum modifikasi cuaca bukan dijadikan sebagai upaya yang permanen. Tentunya polusi di Jakarta harus dicarikan akar masalahnya. Teknologi ini dapat dimanfaatkan sebagai upaya menurunkan indeks kualitas udara dengan cepat,” jelas Budi.
Saat musim kemarau, ucap dia, kendala terbesar adalah kelembaban udara di lapisan atas relatif kering, dan energi konvektif potensialnya relatif rendah. Karena itu hujan paling efektif untuk meluruhkan indeks kualitas udara.
Sumber berita: https://news.republika.co.id/berita/s1j6jf423/bahaya-buruknya-kualitas-udara-bagi-kesehatan-masyarakat