Waspada Anemia, Salah Satu Risiko Penyebab Stunting
# LiputanMedia
IDNTimes – Stunting adalah salah satu bentuk kelainan gizi anak yang terlihat dari panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur anak sebayanya. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Sementara itu, anemia merupakan penurunan kadar hemoglobin darah di bawah normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Kekurangan zat besi merupakan penyebab anemia terbanyak pada anak-anak.
Salah satu penyebab terjadinya stunting adalah defisiensi zat besi. Zat besi merupakan salah satu elemen kunci dalam optimalisasi masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), termasuk untuk pencegahan stunting.
Masalah anemia di Indonesia
Spesialis gizi klinik dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, M.Gizi, Sp.GK dalam acara “Aksi Gizi Generasi Maju” bertajuk “Wujudkan Generasi Maju Bebas Stunting dengan Isi Piringku kaya Protein Hewani” pada 9-10 Februari 2023 di Lombok, NTB. (Dok. Danone Indonesia)
Menurut dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, M.Gizi, SpGK dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, masalah anemia di Indonesia belum berakhir.
“Sekarang mungkin pemerintah lebih fokus ke stunting, padahal stunting juga berhubungan dengan anemia, di mana anemia dapat terjadi pada semua siklus kehidupan, mulai dari remaja. Makanya program pemerintah itu memberikan tablet tambah darah pada remaja putri, karena sebenarnya untuk memotong rantai anemia harus dimulai dari remaja putri. Diharapkan kalau remaja putri ini kadar Hb-nya baik, nanti pada saat dia hamil di kemudian hari, meskipun itu terjadi 10 tahun kemudian, karena depositnya cukup maka risiko anemianya kecil,” kata dr. Nurul dalam rangkaian kegiatan “Aksi Gizi Generasi Maju” bertajuk “Wujudkan Generasi Maju Bebas Stunting dengan Isi Piringku kaya Protein Hewani” yang digelar oleh Danone Indonesia pada 9–10 Februari 2023 di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dokter Nurul juga mengatakan bahwa anemia berkaitan dengan BBLR dan stunting. Jadi, untuk mengoreksinya yang paling betul itu pada masa remaja.
Prevalensi ibu hamil yang mengalami anemia banyak, dan prevalensi anemia yang paling besar adalah pada ibu hamil yang usianya muda, yaitu (15–24 tahun).
“Temuan penelitian juga sejalan di banyak negara lain, seperti Bangladesh, India, dan negara-negara Afrika, bahwa ibu-ibu yang mengalami anemia adalah yang hamil pada usia muda karena pernikahan dini. Banyak yang mengalami anemia, banyak yang melahirkan dengan BBLR, dan otomatis dengan BBLR sebagian besar mengalami anemia dan menjadi stunting. Kemudian karena anak ini sudah mengalami anemia di awal, kemudian pada masa balita juga anemia, dan ini berlanjut terus sampai terjadi stunting,” dr. Nurul menjelaskan.
Lewat presentasinya, dr. Nurul memaparkan masalah anemia di Indonesia, yakni:
- Anemia pada balita: Sebanyak 28,1–38,5 persen balita mengalami anemia. Sebanyak 50–60 persen anemia pada balita disebabkan oleh asupan zat besi yang rendah.
- Anemia pada anak usia 5–14 tahun: Sekitar 26 persen anak usia 5–14 tahun mengalami anemia.
- Anemia pada ibu hamil: Anemia ibu hamil 37,1–48,9 persen, khususnya 84,6 persen ibu hamil usia 15-24 tahun mengalami anemia.
- Anemia pada remaja: 18,4–32 persen remaja mengalami anemia, khususnya remaja putri.
Anemia adalah salah satu faktor risiko terjadinya stunting
Sebanyak 50–60 persen, anemia disebabkan oleh defisiensi zat besi. Kata dr. Nurul, ini akan menyebabkan pembentukan sel darah merahnya turun, umur sel darah merah itu menjadi lebih muda, jadi sel darah merahnya itu tidak cukup untuk membuat metabolisme tubuh menjadi optimal.
“Hb atau sel darah merah adalah transporter utama untuk oksigen, di mana oksigen ini digunakan oleh semua metabolisme tubuh yang ada di dalam sel. Metabolisme sel itu butuh energi, protein (karena protein itu adalah zat pembangun), dan oksigen. Kalau salah satunya tidak tercukupi dengan baik, maka metabolismenya tidak berjalan dengan optimal. Akhirnya terjadinya faltering growth atau gangguan pertumbuhan yang nanti di kemudian hari bisa menjadi stunting,” papar dr. Nurul.
Hasil penelitian pada anak usia 6–12 bulan menunjukkan bahwa anak yang anemia cenderung mengalami growth faltering.
Faktor risiko stunting lainnya
Selain anemia, faktor risiko stunting lainnya meliputi:
- Infeksi berulang: Tinggal di daerah yang berisiko infeksi, misalnya kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), kecacingan, polusi udara, dan padat penduduk.
- Sanitasi kurang: Penggunaan jamban dan kekurangan air bersih bisa menyebabkan rentan terhadap infeksi penyakit menular.
- Penggunaan air bersih: Sarana air bersih terbatas, pemanfaatan lahan yang
kurang, dan penggunaan air bersih kurang tepat. - Nutrisi tidak optimal, termasuk anemia: Nutrisi pada 1000 HPK, ASI eksklusif, pengenalan MPASI tepat waktu, anemia.
- Pola asuh kurang tepat: Dipengaruhi kultur setempat. Hamil usia muda serta
praktik ASI dan MPASI yang kurang tepat. - Faktor ekonomi: Daya beli dan akses mendapatkan aneka ragam lauk, terutama protein hewani.
Aspek pencegahan stunting
Dokter Nurul menekankan tiga aspek penting untuk mencegah stunting, yaitu:
- Gizi seimbang: Konsumsi makanan bervariasi sesuai panduan “Isi Piringku”.
- Pola asuh: Pola asuh yang benar dalam memberikan ASI, MPASI, pemantauan tumbuh kembang, dan imunisasi.
- Sanitasi: Penggunaan sarana air bersih, jamban, cuci tangan untuk cegah
infeksi.
Sumber Berita : https://www.idntimes.com/health/medical/nurulia-r-fitri/waspada-anemia-salah-satu-risiko-penyebab-stunting?page=all