Studi FKUI: Operasi Ortopedi Elektif di Masa Pandemi Covid-19 Aman Dilakukan
#Liputanmedia
TEMPO.CO, Jakarta – Hasil studi yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) – Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) mengungkapkan bahwa pelaksanaan operasi ortopedi elektif di masa pandemi Covid-29 aman dilakukan.
Penelitian tersebut juga menjelaskan operasi itu tidak berpotensi menjadi sumber penularan virus corona selama protokol kesehatan diterapkan dengan ketat.
Penelitian dilakukan oleh sebanyak 28 staf dari Departemen Orthopaedi dan Traumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, dan Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala Leher (THT-KL) FKUI-RSCM. Mereka melakukan penelitian terhadap 35 pasien ortopedi yang menjalani operasi elektif dari April-Mei 2020.
Pimpinan peneliti dokter spesialis bedah ortopedi Achmad Fauzi Kamal menerangkan, rata-rata pasien yang menjalani operasi ortopedi elektif berusia 32 tahun. “Sebanyak 57,1 persen pasien berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar pasien, 51,4 persen, menerima anestesi umum atau bius total,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Senin, 2 November 2020.
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Annais of Medicine and Surgery itu menyebutkan, seluruh pasien subjek penelitian wajib menjalani pemeriksaan laboratorium (tes darah rutin dan hitung jenis leukosit), foto rontgen paru, dan skrining Covid-19 dengan rapid test antibodi IgM-IgG SARS-CoV-2.
Mereka yang memiliki hasil pemeriksaan rapid test positif tidak diikutsertakan dalam penelitian. Begitu pula dengan pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 melalui pemeriksaan RT-PCR sampel usap hidung dan tenggorok sebelumnya.
Menurut Achmad, prosedur operasi yang dijalani rata-rata berdurasi 240 menit dengan operasi terlama berdurasi 690 menit dan tersingkat berdurasi 40 menit. Sekitar 28,52 persen pasien memiliki komorbiditas, terbanyak adalah keganasan (17,1 persen). Rata-rata lama rawat inap pasien-pasien tersebut adalah 6 hari.
Lulusan dokter dari FKUI itu mengatakan, pasien kembali menjalani pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen paru seminggu setelah keluar dari rumah sakit. Dari total 35 pasien yang menjalani prosedur operasi ortopedi elektif, hanya 1 pasien menunjukkan gambaran rontgen paru sugestif ke arah infeksi Covid-19.
Gambaran bercak putih atau dikenal sebagai ground glass opacity ditemukan dari pemeriksaan CT scan paru pasien tersebut. “Selanjutnya untuk memastikan diagnosis Covid-19, pada pasien dilakukan pemeriksaan RT-PCR dari sampel hasil usap hidung dan tenggorok, tetapi hasilnya negatif,” kata dia.
Sehingga, Achmad melanjutkan, bisa disimpulkan bahwa operasi ortopedi elektif tidak berhubungan dengan peningkatan jumlah kasus Covid-19. Durasi operasi, lama waktu rawat inap, tipe anestesi, dan komorbiditas bukan merupakan faktor risiko infeksi Covid-19 dalam penelitian ini.
“Meskipun demikian, pasien dan tenaga kesehatan patut waspada karena ada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin lama waktu rawat inap, semakin besar kemungkinan pasien terinfeksi Covid-19 secara nosokomial,” tutur Achmad.
Selain itu, keterbatasan pada penelitian ini adalah pemeriksaan yang digunakan untuk mengkonfirmasi apakah pasien terinfeksi virus corona atau tidak hanya rapid test. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hasil pemeriksaan RT-PCR dari hasil usap hidung dan tenggorok dapat dipertimbangkan untuk dilakukan berikutnya.
Sementara Dekan FKUI Ari Fahrial Syam menyambut baik penelitian ini dan mengapresiasi para peneliti. Menurutnya, keadaan pandemi Covid-19 membuat jumlah operasi elektif di berbagai rumah sakit, termasuk RSCM menurun. Melalui penelitian ini, Ari berujar, FKUI ingin menyampaikan bahwa jika berdasarkan penilaian dokter ternyata pasien memang perlu menjalani operasi elektif di masa pandemi ini.
“Pasien tidak perlu khawatir tertular virus corona selama pasien dan tenaga kesehatan tetap menerapkan protokol kesehatan di sepanjang prosesnya,” kata Ari yang juga dokter spesialis penyakit dalam itu.
Namun, pelaksanaan operasi di masa Covid-19 tentu membutuhkan beberapa penyesuaian agar tetap aman bagi pasien dan tenaga kesehatan. Misalnya, Ari memberikan contoh di RSCM, menurut panduan intraoperatif yang dibuat, operasi harus dilakukan seefisien mungkin dengan jumlah personel dalam ruang operasi dibatasi.
“Protokol mengenai alur pasien dan staf masuk keluar ruang operasi juga dibuat khusus untuk mengurangi risiko transmisi. Pasien-pasien tersebut juga diharuskan menjalani skrining Covid-19 terlebih dahulu di poliklinik,” tutur Ari.
Sumber berita: https://tekno.tempo.co/…/studi-fkui…/full&view=ok