Pakar Ingatkan Perlunya Respirator untuk Tangkal Polusi Udara
#LiputanMedia
TEMPO.CO, Jakarta – Studi di Korea Selatan memperlihatkan respirator bila digunakan secara benar memiliki kualifikasi lebih baik daripada masker bedah atau sapu tangan. Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), menyarankan penggunaan respirator yang menutupi mulut dan hidung untuk mengurangi risiko terkena pajanan polusi udara.
“Yang terbaik respirator, dapat dipakai di wajah menutupi mulut dan hidung untuk mengurangi risiko pajanan. Prosedurnya dipakai secara benar,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Tingkatkan Perlindungan Diri Anda dengan Penggunaan Alat Pelindung Pernapasan”, Jumat, 15 Oktober 2021.
Di antara dua jenis respirator, yang bersifat sebagai pemurni udara merupakan tipe sederhana. Respirator ini salah satunya N95 yang memiliki kemampuan filtrasi dari komponen utama dari polusi udara, khususnya particulate matter (PM) 2,5, sama dengan atau lebih dari 95 persen. Kemampuan ini lebih baik dibanding masker kain atau bedah yang tidak bisa menyaring udara secara optimal.
Agus tidak menyarankan penggunaan respirator pada anak karena cenderung belum memiliki kemampuan fisiologi paru seperti orang dewasa. Di sisi lain, respirator cenderung tidak nyaman dan saat ini belum tersedia khusus untuk anak. Anak-anak, termasuk berusia di bawah 10 tahun, hingga saat ini, seperti saran dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diutamakan mengenakan masker yang sederhana dan pas pada wajah.
“Terutama anak di bawah 10 tahun, tidak disarankan memakai masker N95 atau respirator. Belum ada respirator untuk anak karena faktor tidak nyaman, kemampuan fisiologi paru belum seperti orang dewasa. Lebih baik pake masker biasa,” tutur dokter yang berpraktik di RS Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI itu.
Para pakar kesehatan pada peringatan Hari Paru Sedunia 2021 telah mengingatkan bahaya polusi udara yang bisa berdampak akut dan panjang pada kesehatan paru dan pernapasan. Efek akut meliputi iritasi mukosa yang ditandai mata merah, hidung berair dan bersin, serta iritasi saluran napas atas dan bawah dengan tanda peradangan, sakit tenggorokan, batuk, dan munculnya dahak.
Polusi udara juga berhubungan dengan peningkatan infeksi saluran napas akut (ISPA), serangan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan kunjungan ke rumah sakit karena masalah respirasi. Pada jangka panjang, kondisi yang bisa terjadi mencakup penurunan fungsi paru, reaksi, alergi, kanker paru, hingga kematian.
Data WHO menunjukkan sekitar 7 juta orang meninggal dini setiap tahun karena polusi udara. Dari angka ini, sebanyak 21 persen terkena pnumonia, 20 persen stroke, 34 persen penyakit jantung koroner (PJK), dan 7 persen kanker paru.
“Sekitar 47 persen polusi udara berkaitan dengan mortalitas pada paru,” tutur Agus.