Kisah Inspiratif Mahasiswi Indonesia yang Pidato di Harvard
#Liputanmedia
Jakarta – Raihlah impianmu setinggi langit, istilah itu yang tepat untuk menggambarkan wanita bernama Nadhira Nuraini Afifa. Ia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Universitas Harvard pada 28 Mei 2020 lalu. Seperti apa ceritanya?
Universitas Harvard yang terletak di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat merupakan salah satu universitas terbaik dan bergengsi di dunia yang menjadi idaman bagi para pelajar. Termasuk Nadhira. Saat dihubungi oleh Wolipop, Nadhira Nuraini Afifa mengungkapkan ceritanya yang baru saja lulus dari Universitas Harvard dengan gelar Master of Public Health,
Sosok Nadhira baru-baru ini viral karena saat kelulusannya dia berkesempatan menjadi perwakilan mahasiswa yang berpidato. Nadhira menjadi satu-satunya mahasiswi Indonesia yang berpidato di acara wisuda online 2020 Universitas Harvard.
Kisah Nadhira lulus S-2 dari Universitas Harvard dengan beasiswa dimulai dari pencapaiannya di SMA. Saat itu, dia sebenarnya ingin menjadi arsitek, namun keinginan keluarga dan arahan dari pihak sekolah kemudian mengarahkannya menjadi dokter.
“Waktu aku kelas tiga SMA baru pertama kali banget ada jalur undangan yang diberikan untuk 10 besar siswa. Dan passing gradenya jurusan kedokteran yang paling tinggi, karena aku peringkat lumayan tinggi di sekolah, dan pihak sekolah mengarahkan, sayang banget kalau bukan aku yang mencoba ke kedokteran. Kebetulan juga keluargaku kepenginnya aku jadi dokter. Sudah diarahkan juga sama orangtua.
“Sebenernya aku nggak terlalu ada keinginan untuk kedokteran, cuma karena ada undangan yang tanpa tes, ya sudah aku coba. Dan alhamdulillah dapat. Setelah dijalani, ternyata aku suka banget. Karena aku kan orangnya kepengin interaksi dengan orang lain, ngobrol dengan pasien saat koas, itu malah jauh lebih menyenangkan,”ungkap Nadhira saat dihubungi oleh Wolipop belum lama ini.
Nadhira pun berhasil menyelesaikan studi sarjana kedokterannya di Universitas Indonesia. Setelahnya dia ingin meneruskan kuliah S-2. Saat ingin melanjutkan studinya, Nadhira memutuskan mengikuti seleksi beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
“Waktu itu aku berpikir ngapain ya kalau sudah lulus nanti? Soalnya biasanya kalau jalurnya anak-anak kedokteran itu sudah pakem gitu, biasanya habis lulus kedokteran umum, lalu internship, kerja dan ambil spesialis. Jalurnya seperti itu, tapi aku kepengin coba eksplor yang lain dulu. Nah, waktu itu aku ikut LPDP itu lumayan famous juga, tadinya kan memang nggak common juga buat S-22, tapi semenjak ada LPDP jadi lebih famous. Kebetulan kakak-kakakku sudah LPDP duluan,” tuturnya.
Nadhira memutuskan melanjutkan studi masternya di Amerika Serikat. Pada saat mengikuti seleksi LPDP, dia belum mengetahui universitas mana di Amerika Serikat yang akan dipilihnya. Namun dia sudah mengetahui jurusan apa yang akan diambilnya. Dia tertarik dengan policy making atau kebijakan publik.
“Jadi aku kepengen ambilnya public health, nah terus aku cari-cari master public health yang bagus di mana ya? Terus mulai ada opsi mulai dari Harvard, Columbia dan John Hopkins. Setelah itu, aku mencari kurikulum yang sesuai dengan yang aku mau. Terus ikatan alumninya yang nanti bakalan berguna. Akhirnya aku coba di Columbia dan Harvard,” kisahnya.
Setelah mendaftar di dua universitas bergengsi dunia itu pada 2016, Nadhira mendapatkan pengumuman pada 2017 dari Universitas Columbia. Namun karena saat itu dia belum menjalani internship sebagai dokter, dia memutuskan menunda mengambil beasiswa kuliah di Universitas Columbia. Nadhira pun menjalani internship sebagai dokter di Lombok, NTB. Karena internship itu, kuliah Nadhira di Universitas Columbia juga terpaksa ditundanya lagi selama setahun.
“Dan dibolehin juga sama pihak Columbia-nya. Jadi aku menunda dua tahun gitu, sambil menunggu, aku apply juga ke Harvard. Karena memang dari awal mimpi aku itu memang ke Harvard sebenernya. Kalau nggak masuk ke Harvard, aku bisa ke Columbia,” ujar wanita 25 tahun itu.
Selama menjalani tugas magang dan koas di Lombok, Nadhira pun mempersiapkan diri agar bisa lolos beasiswa ke Universitas Harvard. “Aku ikut mentorship program, aku mulai cari senior lulusan Harvard yang bisa aku tanyain, kebetulan ada senior FK UI yang kuliah di jurusan yang sama waktu itu, aku banyak konsultasi, baru pada 2018 aku daftar lagi, Februari 2019 pengumuman aku dapat di Harvard,” kisah Nadhira.
Nadhira mengaku membutuhkan waktu 9 bulan untuk mempersiapkan diri lolos beasiswa Universitas Harvard. Sejumlah kesulitan pun dihadapinya ketika mencoba lolos beasiswa universitas bergengsi itu. Misalnya saja, saat masih berada di Lombok, ia harus mengambil tes verbal matematika.
“Dan tesnya harus di Jakarta, jadi aku harus menyediakan waktu buat flight ke Jakarta untuk tes dan juga mempersiapkan ke Amerika, itu biayanya cukup mahal juga karena tesnya menghabiskan dana sekitar Rp 2 juta, TOEFL Rp 3 juta, dan untuk mengirim ijazah dan transkrip akademik kita juga ke New York langsung yang menghabiskan dana sebesar Rp 2,5 juta dan biaya pengirimannya ke New York Rp 1 juta, untuk daftar lumayan menghabiskan uang banyak untuk sesuatu yang belum tentu aku dapetin juga, aku sudah habis sebesar Rp 8-10 juta,” paparnya.
Tak hanya membutuhkan dukungan biaya tambahan, Nadhira menyebutkan bahwa untuk membuat esai mengenai alasannya ingin kuliah di Universitas Harvard dia sampai harus berkali-kali revisi. “Waktu esai itu yang kedua kalinya aku revisi sampai 14 kali, benar-benar perjuangan dibagian financial dan waktu. Saat di Lombok aku juga lagi praktek dan harus malam-malam belajar lagi. Paginya praktek dan malam harinya belajar,” ujarnya.
Nadhira bersyukur buah perjuangannya itu memberikan hasil menggembirakan. Dia mendapatkan beasiswa S-2 di kampus impiannya, Universitas Harvard. Namun setelah memperoleh beasiswa, dia sempat mengalami kegalauan karena beberapa hal. Pada saat itu dia juga baru saja menikah dan harus menjalani LDR. Nadhira menikah dengan Pasha Laksamana Putra pada 27 Juli 2018.
“Aku kan juga baru menikah, aku juga harus beradaptasi karena jauh dari keluarga. Aku sendirian kan soalnya. Waktu persiapan juga aku ada ketakutan bahwa Islam di sana bagaimana dan pandangan orang di sana bagaimana terhadap wanita muslim. Di awal itu minder karena masuk kuliah aku merasa pantes nggak ya? Dan di situ juga ada rasa takut apakah orang melihat saya beda? Mungkin nggak ada yang mau menemani juga.
Pas orientasi seminggu pertama di Harvard itu sendirian aja, ke kampus males ngumpul sama temen-temen kalau jam makan siang, aku menyendiri, dan langsung pulang. Aku jadi sering nangis juga telepon keluarga di rumah. Nah pas minggu kedua dan ketiga sudah masuk perkuliahan dan teman-temannya nggak ganti-ganti, mulai cerita dan juga merasakan hal yang sama saat pertama kali datang ke Harvard. Karena sudah dekat dan nyaman, aku juga banyak ketemu teman-teman Indonesia, jadi kayak rumah keduanya. Dari situ sudah merasa nggak kesulitan beradaptasinya. Tinggal pelajarannya dan tugas saja,” kisah wanita berhijab itu panjang lebar.