Hidup Mati Pasien Kanker Anak di Masa Pandemi COVID-19
#Liputanmedia
Liputan6.com, Jakarta – Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan bahwa 10 dari 83 pasien COVID-19 anak adalah pasien kanker.
Dokter spesialis anak konsultan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (FKUI-RSCM), Prof dr Djajadiman Gatot SpA(K), menjelaskan bahwa terapi kanker yang bersifat sistemik seperti kemoterapi mengakibatkan efek samping pada organ tubuh maupun gangguan imunitas tubuh atau immunocompromies.
Sebelum diobati pun, kata Gatot, kanker sudah mengganggu sistem imun, apalagi ketika sudah diberikan kemoterapi? Pasien kanker anak jadi drop.
“Alhasil, anak dengan kanker akan semakin rentan mengalami infeksi bakteri, jamur, atau virus termasuk virus penyebab COVID-19,” kata Gatot dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Kamis, 12 November 2020.
Pandemi COVID-19 yang mulai terjadi di Indonesia pada Maret 2020 tidak hanya menempatkan anak pada risiko tinggi tertular Virus Corona baru. Menurut Gatot, banyak juga ditemui kendala dalam perawatan kanker pada anak.
Kendala pelayanan yang dimaksud antara lain keterbatasan stok obat kemoterapi dan jumlah donor darah yang menurun.
Nasib Pasien Kanker Anak di Masa Pandemi COVID-19
Lebih lanjut Dr Nadirah Rasyid Ridha SpA(K) dari Divisi Hematologi Onkologi Anak Universitas Hasanudin-RSUP dr Wahidin Sudirohusodo, Makassar, mengatakan, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah mengakibatkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.
Nadirah menyebut bahwa banyak pasien yang drop out pengobatan selama kemoterapi lantaran tidak tersedianya ruangan. Kebanyakan ruangan di banyak rumah sakit disulap menjadi tempat isolasi, dan tenaga medisnya pun banyak yang diperbantukan untuk melayani pasien COVID-19.
Belum lagi ketika pasien kanker anak dinyatakan positif COVID-19 setelah melakukan swab test PCR, terpaksa harus menjalani isolasi mandiri terlebih dahulu di rumah sampai dinyatakan negatif COVID-19.
Sebab, pasien kanker anak yang tidak terinfeksi COVID-19 saja harus menunda kemoterapi intensif agar daya tahan tubuh tidak semakin menurun.
“Dampak penundaan kemoterapi adalah tidak tercapainya remisi dan kemungkinan relaps tinggi. Bahkan, menyebabkan kematian,” ujar Ridha.
Solusinya, kata Ridha, adalah dengan mengetatkan protokol pencegahan COVID-19 pada pasien kanker dan meningkatkan layanan telemedicine.
Memaksimal Layanan Telemedicine untuk Pasien Kanker Anak di Masa Pandemi COVID-19
Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) bersama UKK Hematologi Onkologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, mengadakan webinar mengenai Paradigma Baru Penanganan Kanker pada Anak di Era Pandemi pada Sabtu, 7 November 2020. Tujuan dari webinar tersebut sebagai sumbangsih YOAI untuk penanggulangan penyakit kanker pada anak di masa pandemi COVID-19.
“Dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter spesialis anak mengenai pelayanan onkologi anak di era adaptasi kebiasaan baru atau new normal,” kata Ketua YOAI, Rahmi Adi Putra Tahir.
Menurut Prof Gatot, webinar ini diharapkan pengobatan kanker pada anak juga akan memuaskan. Sebab, dengan memberikan terapi sedini mungkin, angka kesembuhan semakin meningkat.
Selain itu, dalam kesempatan tersebut dibahas juga mengenai telemedicine. Menurut Dr Endang Windiastuti SpA(K) dari Divisi Hematologi-Onkologi Anak FKUI-RSCM, telemedicine tidak sama dengan konsultasi daring (online).
Endang, menjelaskan, yang dimaksud dengan layanan telemedicine sesuai kriteria WHO adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis saat jarak menjadi masalah. Informasi yang diberikan menggunakan teknologi infomasi.
Pemerintah, kata Endang, sudah mengatur tentang layanan telemedicine, tapi terbatas pada pelayanan antara fasilitas kesehatan yang satu dengan fasilitas kesehatan yang lain.
Aturan Tentang Telemedicine
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengeluarkan peraturan mengenai kewenangan klinis praktik kedokteran selama pandemi COVID-19 pada April 2020, kata Endang. Salah satunya mengatur tentang telemedicine.
Dokter pun bisa menegakkan diagnosis melalui layanan telemedicine, baik dalam bentuk tulisan, suara, maupun video dengan tetap menjaga kerahasiaan pasien.
“Dalam peraturan KKI dikatakan bahwa dokter yang menggunakan teknologi ini harus punya Surat Tanda Registrasi (STR), dan tetap memerhatikan mutu pelayanan dan keselamatan pasien. Untuk kasus emergensi tidak boleh menggunakan telemedicine karena berisiko menimbulkan kesalahan,” kata Endang.
Endang, menekankan, dokter dilarang melakukan telekonsultasi dengan pasien secara langsung tanpa melalui fasyankes. Artinya, telemedicine dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang resmi, baik puskesmas maupun rumah sakit. Tujuannya untuk menjamin keselamatan pasien.
“Dengan adanya PSBB, layanan kanker anak berubah hampir di semua pusat pelayanan kanker anak di Indonesia. Jadwal radioterapi dan bedah juga berubah dan banyak pembatalan pasien. Maka telemedicine memang menjadi solusi selama pandemi,” Endang menjelaskan.
Menurut Endang, meskipun ada kelemahan dalam akurasi diagnosis melalui anamnesis, tapi telemedicine bisa mengurangi kunjungan yang tidak perlu ke rumah sakit sehingga bisa menekan penyebaran Virus Corona. “Dokter pun akan terlindungi dari penularan,” ujarnya.
Sumber berita: https://www.liputan6.com/…/hidup-mati-pasien-kanker…