Info FKUIUncategorized

Berpacu dengan Waktu Mendeteksi-Mengobati Kanker Mata Retinoblastoma

#LiputanMedia

DetikHealth – Kanker tidak hanya dialami orang dewasa tetapi juga anak-anak dan bahkan bayi baru lahir. Berbeda dengan pada orang dewasa, kanker pada anak tidak dapat dicegah karena terjadi begitu saja. Proporsi jumlah kasus yang jauh lebih sedikit daripada kanker dewasa membuat kanker anak kerap terlupakan.

Kanker sendiri merupakan pertumbuhan sel-sel tubuh yang terlalu cepat dan abnormal menyebabkan kanker. Umumnya, kanker dialami oleh orang dewasa. Jika tidak ditangani secepat mungkin, penyakit ini kerap berakibat fatal.

Ine Siti Ratnasari, salah satu penyintas kanker mata atau retinoblastoma berbagi pengalamannya ketika menghadapi penyakit tersebut kala usianya masih 4 tahun. Orang tua Ine menyadari adanya kejanggalan di mata putrinya. Mereka segera memeriksakan Ine ke RS dr Cipto Mangunkusumo (RSCM). Benar saja, Ine dididagnosis mengidap retinoblastoma.

“Saat itu orang tua mikirnya mending kehilangan mata satu daripada kehilangan nyawa. Saat umur 4 tahun diangkat mata saya. Kemudian, dilanjutkan kemoterapi 17 kali dan radiasi karena waktu itu sudah kena saraf. Baru pas usia 5 tahun dinyatakan sembuh. Setelah itu saya pakai bola mata palsu atau prostesa,” cerita Ine dalam perbincangan dengan detikcom, Sabtu (11/2/2023).

Setelah menjalani serangkaian terapi dan dinyatakan sembuh, apa perjuangan Ine berakhir? Belum. Wanita yang kini berusia 40 tahun itu mengalami efek radiasi yang membuat kelopak matanya tidak berkembang sehingga protesa tidak dapat masuk. Untuk mengatasi hal itu, ketika kelas 6 SD ia menjalani operasi plastik dengan mengambil daging paha untuk dimasukkan ke kelopak mata. Namun, hasil operasi kurang maksimal sehingga Ine harus menggunakan perban di sebelah matanya.

Ine kecil pun tak jarang mendapat mendapat ejekan dari teman-teman di sekolah. Apalagi ketika berada di lingkungan baru, ia sudah menyiapkan diri untuk menjawab segudang pertanyaan orang terkait kondisi matanya yang diperban.

“Pas masuk sekolah otomatis banyak yang gitu (mengejek). Anak-anak kecil masih ceplas-ceplos banget. Waktu kecil kita masih baperan. Kadang orang tua bilang ke guru biar gurunya meredam. Terus ada sahabat yang selalu membela. Kalau dewasa ‘kan kita sudah cuek,” tuturnya.

Selain menghadapi ejekan, kesulitan yang pernah dialami Ine adalah setelah dirinya lulus sarjana. Kala itu, ia mulai mencari pekerjaan. Namun, perusahaan-perusahaan menolak karena kondisi matanya.

“Setelah lulus S1 saya cari kerja, tes masuk. Giliran wawancara ditolak karena katanya posisinya harus yang modis. Sekali, dua kali, selalu begitu,” kata Ine.

Bertekad untuk mengubah fisik menjadi lebih baik, ia mencoba melakukan operasi plastik lagi pada matanya. Tiga operasi dijalani. Akan tetapi, jaringan pada kelopak mata tersebut sudah mati sehingga operasi apa pun tidak berhasil. Akibatnya, hingga saat ini mata kiri Ine masih tertutup perban.

“Ya sudah saya pasrah nggak apa-apa. Kalau mau cari kerja ya carinya yang nggak harus berpenampilan menarik,” tambahnya.

Deteksi Kanker Retinoblastoma pada Anak

Banyak orang tua yang memandang sebelah mata gejala-gejala seperti panas, demam, atau nyeri yang ternyata adalah kanker. Anak tidak segera berobat ke dokter yang tepat. Akibatnya, ketika dibawa ke rumah sakit kanker sudah mencapai stadium yang lebih tinggi sehingga lebih sulit disembuhkan.

Oleh sebab itu, edukasi kanker anak penting diketahui orang tua. Orang tua yang cepat tanggap membuat kemungkinan anak survive dari kanker semakin besar.

“Tingkat kesembuhan tuh tergantung kapan dideteksinya, kapan ditemukan saat waktu datang didiagnosis. Makin dia dini, makin tinggi angka kesembuhannya, baik secara fungsi, secara ditahannya bola mata gak diangkat, dan secara kehidupan, kalau ditemukan dini. Masalahnya di Indonesia (rata-rata sudah) stadium lanjut,” ucap Prof dr Rita Sita Sitorus, PhD, SpM(K), dokter spesialis mata anak di Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) ketika ditemui detikcom di Jakarta Pusat, Jumat (3/2/2023).

Menanggapi permasalahan deteksi dini di Indonesia, Prof Rita menjelaskan bahwa hal ini seringkali terjadi akibat keterlambatan dalam mendiagnosis dan mendeteksi gejala awal pada anak.

“Kenapa masalahnya di Indonesia banyak yang meninggal? Karena kasusnya terlambat didiagnosis, delay dalam diagnosis. Keterlambatan waktu ketemunya, keterlambatan dalam diagnosis bisa akibat nggak tahu ortunya atau misdiagnosis dari tenaga kesehatan,” jelasnya.

Prof Rita menilai permasalahan kultur masih menjadi permasalahan yang juga seringkali mempengaruhi keterlambatan dalam mengambil tindakan.

“Misalnya ‘Angkat (bola matanya), Bu, Pak’, tapi nggak mau, refuse, menolak. Kenapa? Takut, kulturnya. Kultur kita ‘kan tunggu ngomong dulu sama kakeknya, neneknya, tapi ‘kan harus cepet nih satu sampai dua minggu, (jadi) terlambat. Begitu dia sudah bengkak, baru datang. Udah lain lagi ceritanya,” ucapnya.

Selain itu, ia juga menilai bahwa pengobatan alternatif masih menjadi opsi utama bagi sebagian orang. Masalahnya, pengobatan-pengobatan seperti inilah yang dianggap lebih ‘seksi’ dibandingkan nasehat para dokter.

Lebih lanjut, Prof Rita menekankan pentingnya skrining dini pada anak-anak berusia di bawah 5 tahun yang tergolong berisiko tinggi.

“Diberlakukan terutama mereka yang kakak atau adiknya punya riwayat retinoblastoma. Harus diskrining ini sejak dia lahir dan berturut-turut tiap periode tertentu karena dia (kanker retinoblastoma) bisa muncul kapan aja, waktu lahir tidak apa-apa tapi besok-besoknya dalam waktu lima tahun ini bisa (terjadi). Jadi ini diprioritaskan untuk kelompok itu,” tuturnya.

Sementara, Ns Eny Kusrini, SKep, seorang perawat kanker anak di RSCM juga membagikan pengalamannya dalam menghadapi permasalahan serupa dan pentingnya deteksi dini kanker pada anak.

“Ada tetangga saya, orang tuanya aware banget sama kesehatan. Setiap anaknya demam langsung periksa darah meskipun baru hari kedua. Ternyata leukositnya tinggi, langsung konsul ke dokter hemato. Terdiagnosis leukemia high risk. Alhamdulilah dengan perawatan yang benar, di rumah juga orang tuanya support, sekarang survivor. Jadi jangan menganggap remeh keluhan nyerinya anak,” cerita Ns Eny dalam perbincangan dengan detikcom di RSCM, Jumat (10/2/2023).
Dukungan Orang Tua Bagi Pasien Kanker Anak

Perjuangan Ine melawan kanker pun tak luput dari peran kedua orang tuanya. Mereka langsung bergerak cepat ketika tahu ada masalah pada mata Ine. Ketika Ine bertanya tentang kondisinya, orang tua selalu menjelaskan secara ‘baik’ yang membuatnya berbesar hati.

Mereka senantiasa membawa Ine dari Cianjur-Jakarta dan sebaliknya berkali-kali. Terlebih, di era 80-an jumlah transportasi belum ramai dan mudah dijangkau seperti sekarang. Yayasan kanker dan rumah singgah pun belum ada.

Former co-chair International Society of Paediatric Oncology (SIOP) 2019-2022 sekaligus dosen ilmu keperawatan Mayapada Nursing Academy, Yuliana Hanaratri, BSN, MA-Nursing mengatakan orang tua adalah support system pertama dalam pengobatan kanker. Keluarga adalah mitra perawat dalam merawat pasien kanker anak.

“Tentu kita harus respect ke mereka (orang tua). Kita harus bisa berkomunikasi dan mendengarkan apa yang mereka yakini dalam asuhan keluarganya supaya asuhan perawat bisa sejalan. Pasti ibu atau bapak yang nungguin anak di rumah sakit harus meninggalkan keluarganya. Kalau dia punya adik atau kakak harus dia tinggalkan, pekerjaan ditinggalkan, Pasti stressfull buat orang tua sendiri,” ungkap Ns Yuliana ketika ditemui detikcom di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Selasa (7/2/2023).

Sumber Berita : https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-6565367/berpacu-dengan-waktu-mendeteksi-mengobati-kanker-mata-retinoblastoma/2