Waspada, COVID-19 Bisa Sebabkan Kerusakan Permanen pada Paru-Paru
#Liputanmedia
Hidup penyintas COVID-19 tak bakal sama lagi. Paru-paru mereka rusak, menurut riset. Penyakit lain bisa muncul.
tirto.id – Ketika pandemi COVID-19 melanda Amerika Serikat, Mayra Ramirez, 28 tahun, tidak keluar sama sekali bahkan sekadar untuk membawa anjingnya jalan-jalan. Ia bekerja dari rumah. Ia sadar penyakit autoimun dalam tubuh membuatnya rentan terinfeksi.
Namun malang tak dapat ditolak. Pa 26 April, Mayra dilarikan ke Northwestern Memorial Hospital. Ia dinyatakan positif COVID-19.
Tak berselang lama sejak ia dirawat, virus di tubuhnya semakin ganas. Ia makin sulit bernapas. Mayra harus diintubasi. Sebuah tabung endotrakeal harus dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk membantunya bernapas.
“Semua yang kuingat adalah aku ditidurkan kemudian diintubasi, dan yang kemudian terjadi adalah enam minggu dengan mimpi buruk,” kata Mayra sebagaimana diceritakan kepada NowThisNews.
Selama diintubasi kondisi Mayra tak kunjung membaik. Rupanya, paru-parunya telah rusak dan tak dapat diperbaiki lagi. Ini mulai membuat organ yang lain gagal berfungsi.
Tim dokter mulai mempertimbangkan langkah terakhir yang belum pernah dilakukan sebelumnya terhadap pasien COVID-19 di Amerika Serikat: transplantasi paru-paru.
Setelah berdiskusi dengan keluarga, keputusan ini diambil. Pada 5 Juni, Mayra dioperasi dan berhasil, namun sempat tidak bisa mengenali dirinya sendiri. Ia kehilangan banyak kemampuan kognitif dan motorik. Kini ia masih pemulihan.
Rusak Permanen
Penyakit akibat virus SARS-CoV-2 pertama muncul tahun 2020, oleh karena itu ilmuwan masih mendalami berbagai aspek dari penyakit ini, salah satunya kerusakan yang ditinggalkan setelah kesembuhan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, pasien dengan gejala berat bisa mengalami fibrosis setelah sembuh. Fibrosis adalah gangguan pernapasan akibat pembentukan jaringan parut di paru-paru. Ari menjelaskan fibrosis adalah “penyembuhan luka yang menyebabkan cacat pada paru.” Akibatnya, seseorang bisa mengalami sesak napas bahkan ketika hanya melakukan aktivitas ringan, dan hal itu bisa dialami selamanya.
“Penyakit itu ada, dan enggak boleh bilang enggak, komplikasinya mulai dari tidak ada gejala sampai kematian, bisa juga permanen kalau dia mengalami fibrosis, jadi bisa mengakibatkan kecacatan pada paru-paru,” kata dia.
Sebanyak 15 peneliti melakukan penelitian terkait dampak COVID-19 terhadap fungsi pernapasan. Penelitian ini melibatkan 57 pasien yang telah pulih dan sebulan meninggalkan rumah sakit. Mereka menjalani CT Scan, tes jalan enam menit, serta tes fungsi paru-paru dan fungsi otot pernapasan.
Dari hasil CT Scan, didapati empat orang mengalami fibrosis paru, semuanya merupakan orang yang mengalami COVID-19 gejala berat. Selain itu, sepanjang 30 hari setelah dinyatakan sembuh, enam pasien mengalami batuk ringan, empat sesak napas, dan tiga orang mengalami mengi (bengek).
Sebagian pasien juga mengalami masalah pada fungsi paru-paru dan fungsi otot pernapasan. Peneliti menemukan 30 orang mengalami abnormalitas pada kapasitas difusi gas oksigen yang masuk ke paru-paru dan akan dialirkan ke seluruh tubuh (diffusing capacity for carbon monoxide, DLCO), 26 mengalaminya dalam skala ringan dan empat dalam skala sedang.
Selain itu, lima orang didapati mengalami gangguan sedang dan satu orang mengalami gangguan tingkat ringan pada forced vital capacity (FVC) atau besarnya udara yang dapat diembus dalam satu tarikan napas.
Sebanyak lima orang mengalami ganguan tingkat ringan pada forced expiratory volume in one second (FEV1) atau besarnya udara yang diembus dalam satu detik. Lalu, 25 orang mengalami gangguan ringan pada rasio FVC/FEV1–nilai yang menunjukkan berapa persen kapasitas udara paru-paru yang dapat diembuskan selama satu detik.
Tujuh orang ditemukan mengalami penurunan volume paru-paru (TLC) dalam satu bulan, enam di antaranya pada tingkat ringan dan satu pada tingkat sedang.
Terkait dengan kekuatan otot pernapasan, penelitian ini menemukan lebih dari setengah orang yang diteliti mengalami gangguan. Sebanyak 28 dan 13 pasien memiliki nilai maximal inspiratory dan expiratory mouth pressures (PIMax dan PEMax) di bawah 80 persen dari nilai yang diprediksi.
Riset lain, menurut ahli penyakit paru-paru di Johns Hopkins Bayview Medical Center Panagis Galiatsos, penyakit ini bisa mengakibatkan masalah pada paru-paru baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Salah satunya adalah pneumonia. Penyakit ini diakibatkan paru-paru yang dipenuhi cairan sehingga meradang dan membuat sulit bernapas. COVID-19 bisa mengakibatkan pneumonia parah sehingga pasien membutuhkan ventilator. Karena tingkat keparahannya itu, pneumonia akibat COVID-19 cenderung masih akan terasa meski telah sembuh dan baru membaik setelah berbulan-bulan, berbeda dengan pneumonia biasa yang tidak meninggalkan kerusakan.
Selain itu, ketika terjangkit COVID-19, sistem imun akan bekerja sangat keras untuk melawannya. Hal itu mengakibatkan tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi dari bakteri atau virus lain yang mungkin lebih berbahaya.
Selain itu, COVID-19 juga bisa mengakibatkan sindrom distress pernapasan akut (ARDS) dan sepsis. ARDS salah satu bentuk kegagalan paru-paru ketika air yang memenuhi kantong udara dan bocor ke pembuluh darah di paru-paru, sementara sepsis terjadi ketika infeksi menyebar melalui pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan organ lain. Kedua penyakit ini bisa meninggalkan kerusakan bagi tubuh yang bertahan bahkan ketika sudah sembuh dari COVID-19.
Namun, lanjut Galiatsos, dampak ini masih bisa diatasi kendati membutuhkan waktu yang panjang–hitungan bulan bahkan tahunan. Untuk itu direkomendasikan bagi penyintas COVID-19 untuk melakukan terapi pernapasan dan layanan kesehatan lain yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi paru-parunya.