Info FKUIUncategorized

Puskesmas Perlu Meningkatkan Pemantauan

#Liputanmedia

KOMPAS — Fasilitas pelayanan kesehatan primer perlu meningkatkan pemantauan terhadap kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak. Peningkatan pemantauan dan pemeriksaan dini akan mendukung percepatan penemuan kasus sekaligus mencegah kondisi pasien memburuk.

Staf Departemen Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Eka Laksmi Hidayati, menyampaikan, gangguan ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) merupakan kondisi klinis yang memiliki konsekuensi berat. Penyebabnya beragam dan timbul pada berbagai variasi klinis.

”Anak dengan gejala anuria (tidak mengeluarkan urine) dan oliguria (penurunan volume urine) yang terjadi secara tiba-tiba sudah masuk ke dalam kriteria kasus suspek. Mengingat ini skrining awal, akan ada potensi positif palsu,” ujarnya dalam webinar tentang kesehatan gangguan ginjal akut, Jumat (21/10/2022).

Menurut Eka, kasus suspek tersebut akan menjadi probabel apabila pasien terdeteksi tidak memiliki riwayat kelainan ginjal sebelumnya atau dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) diketahui bentuk dan ukuran ginjalnya normal. Bahkan, pasien tersebut cenderung disertai gejala prodromal, seperti demam, diare, muntah, dan batuk-pilek.

Sebagai upaya memantau gangguan ginjal akut ini, Eka menyebut perlu ada peningkatan sosialisasi di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) primer, seperti puskesmas. Tim juga perlu bekerja sama dengan kader puskemas untuk memantau anak balita yang terlapor mengonsumsi obat demam sediaan sirop, batuk-pilek, ataupun buang air besar (BAB) cair.

”Meski anak balita terdeteksi tanpa gejala anuria, tetap perlu melakukan pemeriksaan penunjang di puskesmas untuk konfirmasi awal. Teman-teman di puskesmas bisa membuat alur pelaporan ke dinas kesehatan bila menemukan kasus dan siaga dalam perujukan,” ujarnya.

Staf Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI-RSCM Dewi Friska menyatakan, dokter di layanan primer kerap disebut sebagai gate keeper atau garda terdepan kesehatan masyarakat. Dokter tersebut juga menjadi pihak yang melakukan kontak pertama dengan masyarakat sehingga berperan penting dalam mempromosikan upaya kesehatan perorangan ataupun kesehatan masyarakat.

”Penting sekali seorang dokter di layanan primer untuk menemukan dan mencatat kasus. Pada akhirnya, dokter juga perlu melakukan penatalaksanaan yang holistik, komprehensif, terpadu atau kolaboratif, dan berkesinambungan,” katanya.

Dewi menekankan, seorang dokter di layanan primer sebaiknya tidak hanya memotret kesehatan individu, tetapi juga keluarga dan komunitasnya. Hal ini juga berlaku untuk menganalisis pasien gangguan ginjal akutsehingga bisa menjadi informasi penting guna melihat faktor-faktor risiko penyebab banyaknya kasus penyakit ini.

”Dokter di layanan primer juga bisa masuk ke dalam konsep preventif atau pencegahan. Dalam kasus keracunan etilenglikol, pencegahan primer, sekunder, dan tersier masih bisa dilakukan,” ucapnya.

Tata laksana pasien

Dari catatan selama ini, intoksikasi atau keracunan senyawa etilenglikol dan dietilen glikol juga dapat menyebabkan gangguan ginjal akut berat pada anak ataupun orang dewasa. Terapi gangguan ginjal akut bahkan akan memburuk pada kasus yang terlambat didiagnosis.

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga telah memaparkan temuan lima obat sirop anak yang mengandung cemaran etilen glikol melebihi ambang batas. BPOM telah memerintahkan pemilik izin edar kelima obat sirop itu untuk menarik produknya dari peredaran.

Eka mengatakan, pasien yang terdeteksi mengonsumsi atau menelan zat yang mengandung etilen glikol perlu segera ditangani, seperti dengan bilas lambung dan arang secara cepat. Salah satu upaya yang bisa dilakukan ialah dengan memberikan thiamin dan piridoksin sebagai koenzim menjadi senyawa yang lebih tidak toksik.

Metode lain yang juga paling efektif untuk menghilangkan etilen glikol dan metabolitnya ialah dengan hemodialisis. Metode ini bertujuan membersihkan darah dari zat berbahaya dan menjadi pilihan tepat ketika pasien tidak merespons terhadap pengobatan lain.

Sumber berita:https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/10/21/puskesmas-perlu-meningkatkan-pemantauan-gangguan-ginjal-akut