Perajin Batik Rentan Dermatitis Akibat Pemakaian Naftol
#LiputanMedia
Jakarta – Sejak adanya pencanangan batik sebagai warisan budaya bangsa oleh UNESCO pada 2009, ternyata para pebisnis batik sangat giat berekspansi. Batik kini bisa ditemui di semua daerah. Proses produksi pun semakin meningkat karena bentuknya tidak hanya baju, tetapi dalam bentuk alat rumah tangga, dan lain sebagainya.
Namun di balik pesatnya industri ini, ada dampak yang dialami para perajin batik ini, yaitu sebagian besar pekerjanya mengalami dermatitis atau peradangan kulit yang biasa ditandai dengan ruam bengkak kemerahan dan gatal.
“Hal ini banyak dialami oleh perajin batik laki-laki di daerah Batik dan Kulonprogo yang bekerja di bidang pewarnaan dan pencucian. Kasus ini terjadi akibat adanya salah satu bahan yang cukup besar efeknya, yaitu bahan naftol. Bahan ini merupakan pewarna yang digunakan sebagai bahan utama untuk pewarna di bidang batik cat dan tulis,” ujar Dr dr Windy Keumala Budianti, SpKK, FINSDV, saat ditemui detikHealth di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Kamis (17/1/2019).
Menurut Dr Windy, bahan naftol di kawasan Eropa memang sudah dilarang penggunaannya. Namun di negara Indonesia dan China ternyata bahan ini masih digunakan karena dinilai sangat praktis saat digunakan dan juga dapat mengeluarkan warna-warna yang disukai orang Indonesia.
“Kelainan pada kulit ini memang dinilai kurang diperhatikan oleh pemerintah karena tidak menyebabkan kematian. Namun ternyata cukup besar ditemukan walaupun mereka tidak mengeluhkan sama sekali karena mereka memang harus terus bekerja,” tutur Dr Windy.
Dr Windy mengatakan bahwa perlu sekali untuk memperhatikan tenaga-tenaga kerja yang tentu akan diserap pada bidang batik ini. Hal ini menjadi perhatian khusus kita di mana kesejahteraan dan kesehatan para perajin batik ini adalah fokus utamanya.
“Memang sebenarnya dalam pekerjaan tidak terlalu menghambat. Namun dalam hubungan interpersonal atau rumpin kondisi budaya tetap ada hambatannya karena adanya dermatitis ini pada tangan perajin tersebut. Sehingga perlu dilakukannya upaya intervesi untuk mengurangi kesenjangan tersebut,” tambah Dr Windy.
Lalu langkah yang dilakukan Dr Windy ialah dengan membuat formulasi krim pelembab dari minyak kelapa. Minyak kelapa dinilai memiliki fungsi dan peran sebagai antiseptik.
“Saya gunakan minyak kelapa ini, karena bahan ini merupakan salah satu kekayaan yang kita miliki dan perlu kita gali. Meski banyak sekali referensi yang menyatakan bahwa minyak lain yang dapat digunakan, namun tentu saja kita akan lebih memilih produk yang familiar dan mudah ditemui,” tutup Dr Windy.
Sumber berita: https://health.detik.com/…/perajin-batik-rentan-dermatitis-…