Info FKUIUncategorized

Kekerasan Seksual, Siapa Paling Rentan Menjadi Korban?

#LiputanMedia

JAKARTA, KOMPAS.com – Perbincangan mengenai kasus kekerasan seksual kembali menjadi topik hangat.

Kekerasan seksual sendiri diartikan sebagai tindak, ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan seksual tanpa adanya persetujuan.

Beberapa bentuk kekerasan seksual antata lain perkosaan, perbudakan, pemaksaan perkawinan, pelecehan seksual, dan lainnya.

Meskipun kelompok perempuan dan anak-anak cenderung lebih rentan menjadi korban kekerasan, sebenarnya siapa saja bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Hal itu dipaparkan oleh dr. Gina Anindyajati, SpKJ dari Divisi Psikiatri Komunitas, Rehabilitasi dan Trauma Psikososial Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM.

“Siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan, laki-laki bisa jadi korban. Kekerasan seksual tidak pilih-pilih,” ujarnya dalam sebuah seminar bertajuk Waspadai Kekerasan Seksual di Gedung Imeri FKUI Salemba, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).

Gina menyebutkan, ada beberapa faktor risiko seseorang rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Faktor risiko didefinisikan sebagai keadaan atau karakteristik yang terkait peningkatan kemungkinan seseorang menjadi korban.

Beberapa faktor tersebut di antaranya:

– Berusia muda.
– Punya riwayat dianiaya saat kecil.
– Pernah menjadi korban kekerasan seks sebelumnya.
– Menggunakan NAPZA (Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif).
– Pekerja seks.
– Memiliki banyak pasangan seksual.
– Hidup di lingkungan masyarakat yang sanksi terhadap pelaku kekerasan seksualnya rendah.
– Masyarakat yang menganut peran gender tradisional.
– Tinggal di lingkungan dengan norma sosial yang mendukung kekerasan seksual, dan
– Masyarakat dengan ideologi seksual sebagai hak laki-laki.

“Kalau tinggal di lingkungan dan punya riwayat seperti ini, meningkatkan risiko menjadi korban kekerasan seksual,” ujarnya.

Tidak hanya urusan individu

Kasus kekerasan seksual seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai urusan individu.

Padahal, kata Gina, kekerasan seksual merupakan urusan yang melibatkan banyak kelompok masyarakat. Mulai dari unsur keluarga, komunitas dan budaya.

“Artinya kita semua punya peran dalam terjadinya kekerasan seksual,” kata Gina.

Dari unsur keluarga, misalnya, faktor yang meningkatkan risiko terjadinya kekerasan seksual biasanya berkaitan dengan kemiskinan atau pengangguran.

Namun, bukan berarti kekerasan seksual tidak bisa terjadi di kelompok masyarakat menengah ke atas.

Kekerasan seksual bisa terjadi di kelompok tersebut jika ada hubungan yang kurang baik antara suami dan istri.

“Artinya, mau keluarga miskin atau kaya, siklus kekerasan bisa terjadi. Namun risiko lebih tinggi pada keluarga miskin, pengangguran, dan hubungan suami-istri yang tidak harmonis,” ungkapnya.

Komunitas juga memiliki peran yang besar. Tidak hanya lingkup tempat tinggal, namun juga sorotan dari orang-orang sekitar, termasuk pemberitaan media massa terhadap kasus kekerasan seksual.

Terakhir, unsur budaya masyarakat secara keseluruhan. Budaya yang berhubungan dengan risiko kekerasan berkaitan dengan patriarki, di mana budaya-budaya tertentu menempatkan laki-laki lebih tinggi dari perempuan.

Begitu pula dengan budaya di mana kekerasan seksual dimungkinkan untuk dilakukan.

“Semuanya mengakomodir terjadinya kekerasan seksual,” ujar Gina.

Sumber berita: https://lifestyle.kompas.com/…/kekerasan-seksual-siapa-pali…