Info FKUIUncategorized

Jiwa-jiwa Tulus Melayani Pasien Kusta di NTT

#LiputanMedia

Kompas.id – Tercatat, sejak 2018 hingga 2021 terdapat 202 penderita kusta yang dirawat di Lembata. Sebanyak 80 orang berasal dari Lembata dan sisanya 122 orang berasal dari Flores Timur, Sikka, dan Ende.

Penyakit kusta bukanlah kutukan. Dengan deteksi dan penanganan yang tepat, kusta dapat disembuhkan. Sepatutnya penderita kusta mendapat perhatian tulus dan perawatan, bukannya malah dikucilkan atau mendapat stigma buruk.

Rombongan berbaju kuning hitam dengan tulisan punggung ”Katamataku” berdiri melingkar, berteguh memanjatkan doa di halaman tempat penginapan yang tak jauh dari Rumah Sakit Santo Damian Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jumat (29/7/2022) pagi. Doa bersama itu mengawali aktivitas 38 anggota tim Katamataku dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang akan melayani 265 pasien kusta di RS St Damian Lewoleba.

Mengemban semangat tinggi untuk melayani, mereka bertekad menyelesaikan pemeriksaan bagi 265 pasien kusta itu dalam sehari. Dengan keahlian, mereka bekerja tanpa pamrih melayani dari pukul 07.00 hingga pukul 19.00 Wita. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19, satu per satu anggota tim memeriksa pasien. Tidak boleh ada pasien yang pulang sebelum dilayani.

Dokter yang menjadi anggota tim, antara lain, Luh Karunia Wahyuni, Melani Marissa, Steven Setiono, Devi Destiana, Hisar Daniel, Tri Rahaya, Azis Muhammad Putera, Yahya Taqiudin Robbani, Tita Berliana Riadi, Gitalisa Andayani, Yolanda Putri Luciana, dan Daryn Cahyono. Ada dokter spesialis kulit kelamin; spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi; spesialis telinga, hidung, tenggorokan, kepala, dan leher (THTKL); serta spesialis mikrobiologi klinis. Mereka membawa peralatan cukup lengkap dari Jakarta untuk kegiatan kemanusiaan tersebut.

”Hari ini kami melakukan diagnosis dengan melihat beberapa bagian tubuh, yakni kulit, mata, telinga, hidung, tenggorakan, kepala, dan leher. Kemudian dari aspek fungsi, yakni fungsi tangan, fungsi kaki, dan cara berjalan. Jika kena saraf, yang bertindak adalah spesialis fisik dan rehabilitasi,” kata Luh Karunia Wahyuni, Ketua Tim Dokter ”Katamataku”.

Pemeriksaan terhadap pasien dilakukan dengan teliti karena tidak semua keluhan, seperti penebalan pada wajah dan tangan, merupakan indikasi menderita penyakit kusta. Dibutuhkan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah seseorang menderita kusta atau tidak. Jika telah dipastikan menderita kusta, pasien segera ditangani sejak dini.

Selain melakukan pemeriksaan medis, tim Katamataku juga melakukan evaluasi untuk melihat seberapa besar pasien kusta mendapatkan stigma dari masyarakat. Evaluasi tersebut krusial mengingat sampai hari ini masih ada stigma dari sebagian masyarakat terhadap penderita kusta. Kondisi itu sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien kusta dan anggota keluarga.

Dalam rangkaian kegiatan kemanusiaan tersebut, tim juga memberikan pelatihan terhadap analis dan dokter-dokter yang ada di RS St Damian serta tenaga kesehatan yang bertugas di 12 puskesmas di Lembata.

Direktur RS St Damian Lewoleba Suster Felicitas Budiawati CIJ mengapresiasi dedikasi dan aksi sosial yang dilakukan tim Katamataku bagi penderita kusta di RS St Damian Lewoleba. Pelayanan tersebut berarti bagi sekitar 265 penderita kusta yang sebagian datang dari luar Kabupaten Lembata, seperti dari Flores Timur, Sikka, dan Ende, serta dari beberapa pulau, seperti Pulau Solor dan Adonara.

”Saya harap bantuan seperti ini terus dilanjutkan pada masa yang akan datang,” kata Felicitas.

Seperi diketahui, jumlah penderita kusta di Indonesia menempati peringkat ketiga terbanyak di dunia. RS St Damian telah berkiprah selama 59 tahun melayani penderita kusta. Rumah sakit ini juga memiliki pemondokan bagi penderita kusta di Woloklaus dengan tujuan untuk memberdayakan mereka sekaligus mengurangi stigma dari masyarakat terhadap mereka.

Ketua Katamataku Yunia Irawati mengatakan, jumlah tim dari Universitas Indonesia yang terlibat dalam bakti kemanusiaan di Lembata sebanyak 38 orang, 14 di antaranya mahasiswa yang sedang dalam persiapan akhir lulus. Katamataku merupakan kependekan dari investigasi pada kaki, tangan, mata, kulit, dan telinga.

Kegiatan tersebut, menurut dia, akan berkelanjutan karena NTT merupakan salah satu daerah endemik kusta di Indonesia timur, selain Papua dan Maluku. Tekad dari Katamataku sama dengan target pemerintah, yakni mengeliminasi kusta di Indonesia pada 2024.

”Meski ini sulit, jika melibatkan semua pihak dan pro-aktif masyarakat, kusta dapat dieliminasi. Katamataku terus melayani dengan hati dan jiwa yang tulus, bertekad kuat, serta berkolaborasi dengan semua pihak mengatasi penyakit ini di Indonesia,” kata Irawati.

Disebabkan bakteri

Melani Marissa, dokter spesialis penyakit kulit, menambahkan, kusta bukan penyakit turunan atau kutukan. Kusta merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri sehingga siapa saja bisa terpapar. Kusta sering ditemukan dalam satu keluarga karena penyakit ini memang menular meskipun cara penularannya cukup sulit.

Tidak semua orang yang kontak langsung dengan pasien kusta akan dengan serta-merta langsung tertular seperti penyakit lain. Penyakit ini berawal dari kontak erat dengan pasien kusta dan kemungkinan orang itu sedang dalam kondisi fisik lemah sehingga tertular.

”Jadi, semuanya tergantung dari sistem imun seseorang juga,” kata Marissa.

Di daerah endemik kusta seperti NTT, jika seseorang mengalami sakit kusta akan mengalami bercak. Bercak itu menyebabkan mati rasa dan benjolan-benjolan di wajah, tungkai, lengan, telinga, dan kaki. Semuanya terasa nyeri. Jika orang itu tinggal di daerah endemik, kecurigaan awal adalah terpapar kusta, tetapi tetap perlu pemeriksaan lebih lanjut.

Bakteri penyebab penyakit kusta yang masuk ke tubuh manusia akan mencari sel saraf tepi pada manusia, terutama kulit, tetapi belum ada bercak. Masa inkubasi bakteri cukup lama, berkisar 3-5 tahun. Namun, ada juga yang inkubasinya sampai 10 tahun kemudian. Seorang penderita kusta bisa saja tidak menularkan penyakit itu kepada anaknya, tetapi ke cucunya dan dapat muncul 10 tahun kemudian. Ini yang sering dipersepsikan sebagian masyarakat sebagai penyakit turunan.

Kondisi endemik di Lembata tidak mudah diatasi mengingat hingga kini daerah yang merupakan pemekaran dari Flores Timur itu masih kekurangan dokter. Kepala Dinas Kesehatan Lembata Gabriel Warat mengatakan, Lembata memiliki sembilan kecamatan dengan 12 puskesmas. Dokter spesialis hanya tiga orang, yakni penyakit dalam, kandungan, dan spesialis anak. Lembata masih kekurangan banyak dokter spesialis, antara lain jantung, anestesi, paru, dan THT.

Tercatat, sejak 2018hingga 2021 terdapat 202 penderita kusta yang dirawat di Lembata. Sebanyak 80 orang berasal dari Lembata dan sisanya 122 orang berasal dari Flores Timur, Sikka, dan Ende.

”Sementara dari Januari-Juni 2022 tercatat ada 20 penderita kusta. Itu baru Lembata, belum dari 21 kabupaten/kota lain di NTT. Jika masing-masing daerah memiliki 20 penderita saja, (diperkirakan) ada 440 penderita kusta,” kata Warat.

Warat juga mengapresiasi aksi kemanusiaan tim UI yang dengan susah payah datang jauh dari Jakarta menuju Pulau Lembata, salah satu pulau kabupaten terpencil di NTT, untuk melayani penderita kusta. ”Kami masih membutuhkan bantuan dari tim Katamataku ini. Semoga kerja sama ini berlanjut di masa depan,” katanya.

Di tengah keterbatasan tenaga kesehatan yang ada di daerah endemik kusta, perhatian dan bantuan dari berbagai pihak sangat berarti bagi penyembuhan penderita kusta.

sumber berita: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/07/29/jiwa-jiwa-tulus-melayani-pasien-kusta-di-ntt