Indonesia Jadi Negara Kedua di Dunia Soal Tingkat Kematian TBC, FKUI Lakukan Gebrakan
#LiputanMedia
TRIBUNNEWSDEPOK.COM, JAKARTA – Penanganan TBC di Indonesia masih mengalami banyak kendala akibat adanya stigma yang dialami oleh pasien penderita TBC.
Padahal TBC masih menjadi permasalahan infeksi terbesar di dunia dan di Indonesia hingga sekarang.
Mereka sering dikucilkan, tidak diajak bersosialisasi, tidak diterima kerja, atau dikeluarkan dari pekerjaan.
Stigma tersebut turut menghambat proses diagnosis dan pengobatan mereka, bahkan menimbulkan masalah mental seperti depresi.
Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) yang disiarkan pada Maret 2023, Kemenkes berhasil mendeteksi TBC sebanyak lebih dari 700 ribu kasus di Indonesia.
Angka ini merupakan angka tertinggi sejak TBC menjadi program Prioritas Nasional.
Keadaan ini mendorong Kemenkes untuk membuat protokol yang baru, kerja sama dengan berbagai asosiasi dan organisasi profesi.
FK Universitas Indonesia (UI) melalui Primary Health Care Research and Innovation Center Cluster IMERI FKUI melakukan kolaborasi inovatif dengan Liverpool School of Tropical Medicine, UK.
Keduanya menyelenggarakan webinar dengan tema “TB-CAPS: Together Reducing Tuberculosis Stigma” yang diadakan secara daring dan dihadiri 161 peserta dari berbagai institusi pendidikan, tenaga kesehatan, dan lainnya.
Acara ini sekaligus menjadi kick-of dari penelitian kolaboratif yang berjudul “TB Caps is a mixed methods study to implement a peer-led, community-based psychosocial support intervention for Indonesians afected by tuberculosis stigma”.
Negara Kedua Tertinggi
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, mengatakan, Indonesia menjadi negara kedua yang memiliki tingkat kasus kematian tertinggi karena TBC di dunia.
Intervensi utama dalam mengontrol tuberkulosis terdiri dari 4 kegiatan, yaitu kegiatan preventif, kegiatan deteksi atau surveilans, kegiatan perawatan, dan promosi kesehatan.
Ia mengatakan, terdapat enam aktivitas yang dilakukan sebagai strategi dalam mengontrol TBC di Indonesia pada 2020-2024.
Pertama adalah mendukung upaya program TBC nasional dalam mengidentifkasi dan mengatasi tantangan kualitas layanan, dengan memberikan umpan balik berbasis komunitas terhadap kualitas layanan TBC di fasilitas kesehatan.
Kedua, menyediakan data hambatan dalam mengakses layanan TBC yang akan digunakan oleh pemangku kepentingan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sebagai bukti untuk mengidentifkasi alternatif solusi.
Ketiga, memperkuat respons terhadap layanan kesehatan dan masyarakat untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi di semua tingkatan.
Keempat, menciptakan lingkungan yang ramah bagi pasien untuk mencapai keberhasilan pengobatan.
Kelima, kampanye atau edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan tentang TBC, khususnya di sekolah dan tempat kerja untuk menghilangkan stereotip.
Terakhir, aktivitas keenam penguatan komunitas dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan tanpa stigma dan diskriminasi terhadap pasien TBC dan keluarganya.
Stigma Negatif
Sementara itu, Staf Departemen Psikiatri FKUI-RSCM dr. Feranindhya Agiananda, Sp.KJ(K) menyampaikan, stigma terkait penyakit (disease related stigma) merupakan pandangan negatif pada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kesamaan ciri dan penyakit tertentu.
“Adanya stigma juga berpengaruh pada penundaan individu untuk mencari pengobatan bantuan atau justru menghentikan pengobatan, sehingga dapat terjadi konsekuensi berupa resistensi pengobatan bahkan kondisi medis yang memburuk kualitas hidup semakin menurun,” kata dr. Feranindhya.
Dalam menangani hal tersebut, lanjutnya, perlu peran dari berbagai pihak. Di antaranya peran tenaga kesehatan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat secara berkesinambungan.
Selain itu, pemberian dukungan pada individu, serta kolaborasi dengan lembaga atau komunitas sosial, dan peran keluarga dalam memberikan dukungan pada individu dalam bentuk emosional medis praktis dan pembentukan lingkungan yang positif.
Pembicara lainnya yang turut memberikan edukasi pada webinar yang diadakan pada 24 Agustus 2023 ini, yaitu Jejaring Riset Tuberkulosis Indonesia Dr. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid.
Acara ini juga turut dihadiri Principal Investigator Liverpool School of Tropical Medicine Tom Wingfeld, MD, PhD.
Webinar ini diakhiri dengan acara Kick-Of TB-CAPS yang dibawakan oleh salah seorang peneliti dari FKUI dr. Ahmad Fuady, M.Sc, Ph.D.
Ia menyampaikan, studi TB-CAPS akan dilaksanakan pada September 2023 hingga Desember 2024 mendatang.TB-CAPS merupakan studi lanjutan dari studi sebelumnya, yaitu CAPITA yang telah mengadaptasi danmemvalidasi skala stigma TB Van Rie di tujuh provinsi di Indonesia, yang kemudian akan digunakan dalam Studi TB-CAPS.
Direktur IMERI FKUI Prof. dr. Badriul Hegar, Sp.A(K), Ph.D., menyampaikan bahwa BoD (Board of Director) IMERI FKUI, sangat mengapresiasi teman-teman dari Primary Health Care Research and Innovation Center IMERI FKUI, yang telah menjajaki sebuah kolaborasi dengan Liverpool School of Tropical Medicine.
terobosan baru untuk tata lakasana TB lebih komprehensif.
“Semoga apa yang telah dan akan kita lakukan dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia,” ujar Prof. Hegar.
Sumber Berita: https://depok.tribunnews.com/2023/09/11/indonesia-jadi-negara-kedua-di-dunia-soal-tingkat-kematian-tbc-fkui-lakukan-gebrakan.