Fakta Seputar Cacar Monyet Menurut Pakar Infeksi
#LiputanMedia
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Penyakit Tropik dan Infeksi dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, dr. Adityo Susilo, SpPD-KPTI mengatakan kasus cacar monyet sebagian besar ditemukan pada orang-orang yang tinggal dekat dengan hutan hujan tropis di negara-negara endemik di Afrika. Orang-orang tersebut berpotensi mengalami kontak dengan hewan-hewan liar yang membawa virus cacar monyet sehingga rentan terinfeksi.
Hal ini sesuai dengan laporan WHO yang menemukan peningkatan kejadian kasus cacar monyet di Afrika Barat dan Afrika Tengah dalam beberapa dekade terakhir. Peningkatan diduga terjadi akibat peningkatan kontak antara manusia dengan hewan liar yang terinfeksi oleh virus monkeypox (MXPV).
“Banyaknya orang yang bepergian serta pengiriman hewan dari negara endemik ke negara-negara lain memungkinkan menyebarnya cacar monyet ke negara-negara di luar Afrika. Sebagai contoh, penyebaran cacar monyet ke Amerika Serikat pada tahun 2003 diduga terjadi akibat pengiriman hewan pengerat dari Ghana,” ujar dr. Adityo dalam siaran pers, Senin (20/5).
Hewan pengerat tersebut diduga menginfeksi prairie dog yang kemudian menunjukkan gejala terjangkit cacar monyet dan selanjutnya mengakibatkan penularan ke manusia.
Menelaah temuan cacar monyet di Singapura, dr. Adityo berpendapat bahwa kasus ini merupakan kasus impor. Kementerian Kesehatan Singapura menyatakan bahwa terdapat satu pasien warga negara Nigeria yang terdiagnosis cacar monyet di Singapura.
Mempertimbangkan latar belakang, riwayat kontak dan masa inkubasi, pasien tersebut kemungkinan besar terjangkit virus selama berada di Nigeria yang merupakan salah satu negara endemik penyakit cacar monyet. Penularan diduga terjadi melalui daging hewan liar (bush meat) yang dikonsumsi pasien saat menghadiri acara pernikahan di negara asalnya. Dibutuhkan waktu sekitar 5 sampai 21 hari dari sejak virus masuk ke tubuh hingga munculnya penyakit, pasien baru menunjukkan tanda dan gejala cacar monyet saat tiba di Singapura.
Dilansir dari laman Straits Times pada 14 Mei 2019, pasien dalam keadaan stabil. Sebanyak 23 orang yang sempat berkontak dekat dengan pasien juga tengah menjalani isolasi dan belum ada yang menunjukkan tanda terjangkit cacar monyet.
“Jika terjangkit cacar monyet, pasien mula-mula mengalami periode invasi yang dapat berlangsung hingga 5 hari. Periode ini ditandai dengan demam yang disertai nyeri kepala, nyeri otot, nyeri punggung, dan rasa kelelahan yang cukup berat. Selain itu dapat pula terjadi pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) di berbagai daerah tubuh seperti daerah rahang dan leher. Pembesaran kelenjar getah bening ini tidak ditemukan pada cacar air,” jelas dr. Adityo.
Lebih jauh dr. Adityo menjelaskan, gejala khas yang muncul pada penderita cacar monyet adalah timbulnya lesi kulit pada 1 sampai 3 hari setelah terjadinya demam. Lesi kulit awalnya berupa bercak-bercak (rash), yang meluas menjadi lesi makulopapuler. Lesi kemudian berubah menjadi lenting yang berisi cairan (vesikel). Selanjutnya lesi vesikuler tersebut dapat membesar dan mengeras, membentuk pustul, hingga akhirnya pecah dan tertutup koreng (krusta), dan mengering.
Mula-mula lesi kulit muncul di area wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Untuk monkeypox, lesi kulit terutama ada di wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Jumlah lesi kulit bervariasi dari pasien ke pasien, dari mulai beberapa hingga ribuan. Lesi cacar monyet dapat juga mengenai selaput lendir rongga mulut, mata, dan genitalia.
Cacar monyet merupakan penyakit self-limiting atau swasirna yang dapat sembuh dengan sendirinya dalam kurun waktu 2-3 minggu. Kecuali pada kondisi tertentu seperti adanya penyakit lain (komorbid) yang berat, daya tahan tubuh yang rendah, dan usia anak-anak, maka terdapat risiko komplikasi.
Oleh karena sifatnya yang swasirna, tidak ada obat spesifik yang perlu dikonsumsi. Yang utama adalah pasien cacar monyet harus mendapat asupan nutrisi dan cairan yang cukup serta dukungan terapi suportif-simtomatik lainnya. Antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi kulit untuk mengatasi infeksi sekunder yang timbul.
Komplikasi yang pernah dilaporkan antara lain berupa bronkopneumonia, diare dan muntah yang mengakibatkan dehidrasi berat, serta ensefalitis. Lesi yang mengenai mata dapat mengakibatkan kebutaan, sedangkan lesi pada kulit dapat meninggalkan sikatriks hipotrofik yang biasa disebut bopeng. Secara umum, cacar monyet memiliki tingkat keparahan yang jauh lebih ringan daripada smallpox, dengan case fatality rateyang bervariasi, yaitu sekitar 1 sampai 10 persen.
Dr. Adityo mengatakan bahwa pada saat terjadinya kasus khusus seperti ini, kita perlu selalu waspada namun dianjurkan untuk tidak khawatir secara berlebihan. Mengingat cacar monyet dapat secara efektif dicegah dengan menghindari kontak dengan hewan dan pasien yang terinfeksi. Menurutnya, saat ini belum diperlukan travel warning secara khsusus ke Singapura karena sumber penularan potensial, yaitu pasien dan orang-orang sekitarnya yang berkontak dengan pasien, sudah dikarantina. Namun demikian upaya untuk mengikuti perkembangan berita dan infomasi faktual dari Pemerintah harus terus dilakukan.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan saat ini tengah gencar melakukan penyebarluasan informasi terkait cacar monyet kepada masyarakat. Serta meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan dari Singapura dan negara-negara Afrika Barat dan Afrika Tengah.
Selain itu, pemerintah pun mengimbau agar dinas kesehatan maupun instansi terkait segera melakukan upaya pengendalian awal dan melaporkan kepada Kemenkes apabila ditemukan kasus suspek monkeypox.
Sumber berita: https://gayahidup.republika.co.id/…/fakta-seputar-cacar-mon…