Info FKUIUncategorized

Beredar Informasi Tes Covid-19 dengan Tahan Napas, Apa Kata Dokter?

#Liputanmedia

KOMPAS.com – Di tengah pandemi virus corona yang terus bergulir dan belum ditemukannya vaksin sebagai penangkalnya, beragam informasi banyak beredar di masyarakat.
 
Mulai dari obat herbal yang disebut bisa menyembuhkan, ramuan yang bisa menangkal infeksi, hingga metode tes cepat yang bisa dilakukan secara mandiri untuk tahu apakah terinfeksi Covid-19 atau tidak.
 
Salah satunya yang beredar luas melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, pekan lalu. Sebuah video menunjukkan adanya garis membentuk persegi, yang di sana terdapat titik A dan B di sudut kanan dan kiri atas.
 
Di garis tersebut juga ada sebuah bulatan atau titik berwarna merah yang akan berjalan dari arah bawah menuju titik A kemudian B, dengan kecepatan yang melambat.
 
Dalam pesan yang disampaikan, disebutkan metode ini dapat menunjukkan apakah seseorang terinfeksi virus corona atau tidak.
 
Caranya sangat sederhana, hanya dengan menahan napas ketika bulatan merah sudah ada di titik A hingga bulatan itu mencapai titik B.
 
“Jika anda dapat menahan nafas hingga titik merah berpindah dari A ke B anda saat ini bebas COVID-19. Tes sederhana vers uji coba gratis membantu menyelamatkan hidup. Tunggu titik merah berpindah ke A sebelum memulai nafas,” bunyi pesan yang beredar melengkapi video metode tes Covid-19 tersebut.
 
Apa kata dokter?
 
Menanggapi munculnya informasi ini, dokter spesialis paru dari RS Persahabatan Jakarta, dr. Elsina Syahruddin, mengaku tidak memahami apa sebenarnya tujuan dari tes yang tergambar dalam video.
 
Apakah untuk mengetahui fungsi paru atau mendeteksi keberadaan infeksi virus corona.
 
“Kalau untuk mengetahui fungsi paru maka uji fungsi paru paling sederhana dengan menggunakan spirometri yang dapat melihat adakah gangguan restriksi (pengembangan paru) atau obstruksi (gangguan aliran udara di saluran napas),” jelas Elsina saat dihubungi Kompas.com.
 
Namun, uji paru ini tidak direkomendasikan di masa pandemi sekarang, karena memiliki risiko penularan virus melalui aerosol.
 
Uji menggunakan spirometri itu pun disebut Elsina tidak memiliki hubungan sama sekali dengan deteksi Covid-19.
 
“Screening awal untuk Covid-19 belum berubah dari ada tidaknya kontak erat, gejala, foto toraks, beberapa hasil lab dan swab,” jelas dia.
 
Sementara, pemeriksanaan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami hypoxia (penurunan kadar oksigen dalam darah) yang dianjurkan adalah menggunakan pulse oxymetry.
 
Hypoxia ini diketahui bisa terjadi pada pasien yang mengalami Covid-19, namun dengan tidak menunjukkan tanda-tanda seperti sesak napas.
 
Maka dari itu, hypoxia diam-diam ini disebut sebagai happy hypoxia, karena seseorang ada dalam kondisi yang nampak baik-baik saja.
 
“Dengan menggunakan pulse oxymetry dapat mewaspadai sedang terjadi happy hypoxia pada seseorang yang mungkin Covid-19 tanpa gejala atau gejala ringan,” ujar Elsina.
 
Tak ada tes corona dengan tahan napas
 
Elsina yang juga merupakan salah satu akademisi di bagian Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini mengaku belum pernah mengetahui ada metode uji Covid-19 dengan cara menahan napas sembari melihat titik yang bergerak di layar.
 
“Mulai dari kuliah FK hingga sekarang ini. Enggak pernah tuh diajarkan metode itu,” pungkas Elsina.
 
Hal yang sama juga disampaikan oleh dokter paru dari RS Pasar Rebo dan RS Harapan Bunda, yang juga menangani pasien Covid-19 di Jakarta, dr. Eva Sri Diana.
 
Ia mengaku belum pernah mengetahui metode uji tersebut sepanjang kariernya di dunia medis.
 
Eva justru menyebut metode itu adalah informasi bohong atau hoaks.
 
“Iya (tidak ada di dunia medis), jika tidak ada eviden based-nya artinya itu hanya testimoni, hoaks,” jawab Eva singkat.