Belajar dari Kasus Sutopo, Adakah Beda Batuk Kanker Paru dengan Lainnya?
#LiputanMedia
KOMPAS.com – Kabar meninggalnya Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB), Sutopo Purwo Nugroho membawa duka bagi publik Indonesia. Sutopo sendiri meninggal saat menjalani serangkaian pengobatan kanker paru di China.
Kasus kanker paru sendiri berada di peringkat pertama dalam kasus kematian akibat kanker. Kanker ini biasanya memiliki gejala awal seperti batuk, sesak napas, dan lain sebagainya.
Sering kali, gejala ini begitu mirip dengan penyakit pernapasan lain. Akibatnya, banyak orang mengabaikannya hingga akhirnya baru mengetahui mengidap kanker paru setelah stadium lanjut.
Namun, bagaimana cara membedakan batuk akibat kanker paru dengan penyakit pernapasan lain?
Menurut dr Elisna Syahruddin, SpP(K), PhD dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Respiratori, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tidak ada perbedaan batuk kanker paru dengan batuk lain.
“Semuanya (batuk) sama saja,” ungkap Elisna saat dihubungi Kompas.com, Rabu (10/10/2018).
Meski begitu, dia mengungkap ada beberapa faktor risiko seseorang mengidap kanker paru. Faktor risiko tersebut di antarany, lingkungan tempat tinggal, riwayat kesehatan, kebiasaan merokok, usia, juga tingkat polusi udara tempat tinggal.
“Jadi kalau dia sudah berusia di atas 40 tahun, kemudian punya kebiasaan merokok, mungkin saja mengidap kanker paru,” imbuhnya.
Selain batuk yang tak kunjung sembuh, gejala kanker paru yang lain yang perlu diwaspadai adalah adanya darah dalam dahak, kesulitan bernapas, nyeri di dada, dan suara serak.
Gejala-gejala ini, menurut Elisna, mirip seperti gejala sakit pernapasan pada umumnya.
Elisna juga mengingatkan bahwa kanker paru adalah jenis kanker yang spesial. Berbeda dengan kanker payudara dan kanker serviks yang sudah ada alat pendeteksinya, skrining kanker paru terbilang masih sulit.
Untuk itu, Elisna menganjurkan untuk rutin melakukan cek kesehatan, terutama untuk orang yang memiliki banyak faktor risiko.
“Juga lakukan pengendalian faktor risikonya,” pesan Elisna.
World Cancer Research Fund mencatat, setidaknya 1,59 juta orang meninggal akibat kanker paru. Terlebih lagi, hanya sekitar 240.000 atau 15 persen di antaranya sintas.
“Kalau ada 10 orang yang didiagnosis mengidap kanker paru, delapan orang meninggal pada tahun itu juga,”kata Elisna dalam sebuah kesempatan wawancara kepada Kompas.com.
“Itulah kenapa kanker paru disebut kanker yang mematikan. Karena umumnya di seluruh dunia, kanker paru ketemunya sudah stadium lanjut jadi tidak bisa dilaksanakan terapi secara maksimal,” tegasnya.
Sumber berikut: https://sains.kompas.com/…/belajar-dari-kasus-sutopo-adakah…