UI Kembali Kukuhkan Dua Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia kembali mengukuhkan dua Guru Besar Tetap dari Fakultas Kedokteran pada Sabtu (21/9/2019), pukul 10.00 WIB di Aula IMERI FKUI, Kampus UI Salemba. Sidang terbuka pengukuhan guru besar dipimpin langsung oleh Rektor UI, Prof. Dr. Ir. Mohammad Anis, M.Met, yang mengukuhkan Prof. Dr. dr. Lucky Aziza Bawazier, SpPD-KGH, FACP, FINASIM, SH, MH dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI dan Prof. Dr.rer.physiol. dr. Septelia Inawati Wanandi dari Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Lucky menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Tantangan Deteksi Dini Hipertensi dan Penyakit Ginjal Kronis saat ini di Indonesia” dan Prof. Septelia menyampaikan pidato berjudul “Terobosan Kesiapterapan Ilmu Biokimia dan Biologi Molekuler di Indonesia pada Era Globalisasi: Menyibak Tabir Sel Punca Kanker untuk Target Deteksi dan Terapi Kanker.”

Dalam pidatonya tersebut, Prof. Lucky menyampaikan bahwa di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, jumlah penyandang hipertensi pada usia dewasa (≥18 tahun) mencapai 34,1%. Sementara itu, kepatuhan untuk rutin minum obat juga masih tergolong rendah yaitu 32,3% dan tidak minum obat sama sekali sebanyak 13,3%.

Hipertensi secara medis diartikan sebagai tekanan darah atas (sistolik) ≥140 mmHg dan/atau tekanan darah bawah (diastolik) ≥90 mmHg. Penelitian terbaru akhir-akhir ini menetapkan batas seseorang dikatakan mengidap hipertensi menjadi lebih ketat yaitu tekanan darah atas ≥130 dan/atau tekanan darah bawah ≥80 mmHg.

Alasan ditetapkannya ambang tekanan darah tinggi menjadi lebih rendah karena sangat banyak komplikasi yang disebabkan hipertensi seperti stroke, sesak nafas karena serangan jantung maupun gagal jantung, hingga gagal ginjal. Ironisnya, banyak kejadian tersebut terjadi pada usia yang relatif muda yaitu usia 30-40 tahun.

“Pengidap hipertensi seringkali tidak mengetahui bahwa tekanan darahnya tinggi karena tidak semua orang dengan tekanan darah tinggi bergejala, sehingga sering disebut sebagai the silent killer. Hal ini tentu membuat banyak masyarakat yang tidak terdeteksi memiliki tekanan darah tinggi,” papar Prof. Lucky. “Sebaliknya, terdapat populasi masyarakat yang mengalami tekanan darah tinggi ketika diperiksa di klinik tetapi normal di luar klinik, karena kecemasan pasien saat diperiksa, atau sering dikenal sebagai hipertensi jas putih, karena melihat jas putih dokter. Selain itu, saat ini masih banyak masyarakat yang belum patuh minum obat dan bahkan ada yang tidak minum obat sama sekali,” lanjutnya kemudian.

Menurut panduan pengobatan hipertensi, seseorang dengan tekanan darah normal saat diperiksa di klinik disarankan untuk diperiksa ulang 3-5 tahun kemudian karena banyak populasi yang mengalami hipertensi terselubung (1 dari 6 orang), yaitu seseorang dengan tekanan darah normal di klinik namun tinggi diluar klinik seperti di rumah atau tempat bekerja.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Septelia mengutarakan terobosannya terkait cara sederhana memprediksi kekambuhan kanker payudara. Kanker merupakan penyakit yang disebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol sehingga merajalela dan menyebar keluar jaringan asal.

Hingga saat ini, kanker masih merupakan masalah kesehatan yang tertinggi dan belum terselesaikan di dunia. Walaupun telah dikembangkan berbagai jenis terapi kanker, namun resistensi terapi dan kekambuhan penyakit masih sangat tinggi. Hal ini antara lain karena terapi kanker belum menargetkan pada suatu populasi sel yang dikenal sebagai Sel Punca Kanker (SPK) atau Cancer Stem Cell (CSC).

SPK memiliki karakter serupa dengan sel punca normal yang merupakan sel muda dan induk atau inisiator dari sel-sel yang matang/dewasa, namun perbedaannya adalah SPK memiliki kemampuan tumorigenik yaitu memicu pembentukan sel-sel tumor baru, berbeda dengan sebagian besar sel tumor yang bukan SPK. Selain itu SPK memiliki ketahanan hidup yang tinggi sehingga dianggap bertanggung jawab terhadap resistensi terapi kanker, kekambuhan dan penyebaran kanker.

“Kami, di Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler FKUI kemudian membentuk Grup Riset Sel Punca Kanker pada tahun 2010 dengan penelitian payung yang bertujuan menyibak tabir SPK terutama keberadaan dan perannya serta faktor yang mempengaruhi keganasannya, untuk dapat mengaplikasikannya sebagai target deteksi dan terapi kanker,” terang Prof. Septelia.

Sebagai langkah awal, grup riset tersebut telah menemukan metode untuk isolasi SPK dan cara pengukuran sifat tumorigenik dari sel punca kanker tersebut. Bahkan, hasil temuan dari penelitian tersebut sudah memperoleh dua Paten Proses dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Selain itu, penemuan berjudul: “Cara Sederhana Prediksi Kekambuhan Kanker Payudara: Penetapan satuan Mamosfer sebagai Penanda Keganasan Bibit Kanker Payudara” juga telah mendapatkan penghargaan 109 Inovasi Indonesia Prospektif – Business Innovation Center LIPI dan DIIB Award dengan Kategori Kekayaan Intelektual-Patent Terdaftar pada tahun 2017.

Peta jalan penelitian tersebut tidak berhenti pada produk penelitian dasar, namun berlanjut pada penelitian terapan dan pengembangan metode deteksi dan terapi target untuk SPK payudara. Model pengendalian sel punca kanker ini merupakan suatu model terobosan kesiapterapan Ilmu Biomedik, khususnya Biokimia dan Biologi Molekuler di Indonesia dalam menghadapi era globalisasi.

Berdasarkan UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Menjadi sebuah kebanggaan bagi Universitas Indonesia ketika para sivitas akademikanya begitu mencintai almamaternya dan mencetak banyak prestasi. Dengan bertambahnya peraih gelar Guru Besar, diharapkan dapat memacu semangat sivitas akademika UI lainnya untuk terus berprestasi dan dapat menaikkan nama besar UI di kancah nasional dan internasional.

(Humas FKUI)