Hari Diabetes Nasional 2019: Atasi Obesitas, Hindari Diabetes

Tercatat sebagai negara peringkat keenam dengan beban penyakit diabetes mellitus terbanyak di dunia, data International Diabetes Federation menunjukkan lebih dari 10 juta penduduk Indonesia menderita penyakit tersebut di tahun 2017. Angka ini dilaporkan kian meningkat seiring berjalannya waktu, terbukti dari laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menunjukkan prevalensi diabetes mellitus pada penduduk dewasa Indonesia sebesar 6,9% di tahun 2013, dan melonjak pesat ke angka 8,5% di tahun 2018. Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO), bahkan memprediksikan penyakit diabetes mellitus akan menimpa lebih dari 21 juta penduduk Indonesia di tahun 2030.

Ancaman diabetes mellitus tentunya menjadi salah satu masalah kesehatan utama yang menyedot perhatian besar di Indonesia. Sebagai upaya mengedukasi dan mengingatkan masyarakat, serta dalam rangka memperingati Hari Diabetes Nasional yang jatuh pada tanggal 18 April 2019, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) mengangkat tema “Masalah Obesitas dan Diabetes” sebagai topik utama yang dibahas pada kegiatan ‘Info Sehat FKUI untuk Anda: Seminar Awam & Media’ periode ini.

Obesitas dan diabetes merupakan dua kondisi yang saling berhubungan erat. Salah satu faktor utama yang paling penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan penyakit diabetes mellitus adalah menjaga berat badan ideal. Sayangnya, Indonesia sebagai negara berkembang saat ini mengalami double burden dalam hal permasalahan gizi, di mana kita dihadapkan dengan masalah kekurangan gizi (seperti malnutrisi dan stunting) yang sama beratnya dengan kelebihan gizi (seperti overweight dan obesitas).

Diketahui 1 dari 3 orang dewasa di Indonesia saat ini mengalami obesitas atau obesitas sentral. Obesitas dapat diukur menggunakan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan pangkat dari tinggi badan (dalam meter). Khusus untuk populasi Asia dewasa, digunakan kriteria IMT menurut WHO Asia-Pasifik, di mana hasil IMT ≥25 kg/m2 sudah dinyatakan obesitas. Sedangkan, obesitas sentral dinilai menggunakan pengukuran lingkar perut, dengan batasan lingkar perut > 90 cm untuk laki-laki dan > 80 cm untuk perempuan. Sedangkan untuk usia anak, IMT disesuaikan berdasarkan jenis kelamin dan usia, dan diplot pada kurva WHO 2006 (untuk usia 0-5 tahun) atau CDC 2000 (untuk usia 6-19 tahun).

Lantas, apa yang menyebabkan tingginya angka obesitas dan diabetes ini? Menurut pakar endokrinologi anak FKUI-RSCM, Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), permasalahan obesitas dan penyakit kronik seperti diabetes mellitus umumnya sudah mulai berakar sejak usia anak. Kelebihan berat badan pada usia anak jika dibiarkan terus menerus akan menimbulkan konsekuensi resistensi insulin, yang kemudian menyebabkan intoleransi glukosa dan pada akhirnya menjadi diabetes mellitus tipe 2 di usia dewasa.

obes2

Disadur dari The House of Commons Health Committee pada tahun 2004, generasi saat ini akan menjadi generasi pertama di mana anak cenderung meninggal mendahului orang tuanya, dan hal tersebut merupakan konsekuensi dari tingginya obesitas di usia anak. Semakin muda usia anak mengalami obesitas, semakin dini pula usia anak yang berisiko mengidap diabetes. Bahkan, saat ini diabetes mellitus tipe 2 sudah dapat ditemukan pada anak usia 7-8 tahun di Indonesia. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh obesitas, kesadaran dan persepsi masyarakat akan pentingnya pengendalian asupan gizi seimbang sebagai kunci untuk melawan penyakit menjadi hal yang perlu ditingkatkan.

“Obesitas adalah penyakit yang nyata, diagnosisnya tercantum di dalam International Statistical Classification of Diseases (ICD), dan bukan hanya sekedar masalah estetika biasa. Masyarakat harus sadar tentang hal itu,” ujar dr. Aman pada presentasinya.

Obesitas bersifat multifaktorial, yang berarti terdapat banyak faktor baik secara internal seperti genetik, maupun eksternal dari diri seseorang yang menyebabkan kondisi tersebut. “Kita mewarisi nafsu makan para pendahulu kita, gen kita pada dasarnya adalah gen lapar. Bedanya, kita dulu tinggal di gua. Selama ribuan tahun manusia mengalami kelangkaan pangan, harus berjuang dulu untuk mendapat makanan, sehingga cadangan lemak terpakai untuk bertahan hidup. Namun dalam satu abad terakhir, kita justru kelebihan pangan. Kita diberikan akses yang terlalu mudah untuk mendapat makanan. Hal ini menyebabkan adanya seleksi gen, sel cadangan lemak yang ada di tubuh kita akan terus disimpan dan menumpuk, sehingga menjadi overweight dan obesitas,” jelas dr. Aman lebih lanjut.

Pada anak di tingkat sosioekonomi rendah, diketahui kesadaran orang tua memiliki andil dalam munculnya obesitas pada anak. Orang tua umumnya tidak fokus dengan asupan gizi anak, sehingga walaupun anak banyak makan, kandungan gizi pada makanannya tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan gizi seimbang.  Padahal, usia anak sangat adaptif dengan makanan yang dikonsumsinya. dr. Aman berujar, “Ketika anak diberikan makanan yang tidak sehat, akan mudah diingat dan terekam pada otak anak sebagai sesuatu yang adiktif. Maka dari itu, jangan mengekspos anak terlalu cepat dengan snack tidak sehat– terutama gula.”

American Academy of Pediatrics-Ikatan Dokter Anak Indonesia (AAP-IDAI) sendiri memiliki rekomendasi bertajuk ‘5210’ untuk melawan obesitas, yang berarti makan buah dan sayur minimal 5 kali pada kebanyakan hari, batasi waktu layar (screen time) yang tidak terkait sekolah kurang dari 2 jam per hari, lakukan 1 jam kegiatan fisik setiap hari dan 20 menit aktifitas fisik berat minimal 3 kali per minggu, dan usahakan konsumsi 0 gula tambahan– biasakan minum air putih, gunakan lebih sedikit gula.

“Pemberian ASI secara penuh juga dapat menurunkan risiko terjadinya obesitas dini, karena ASI memiliki hormon-hormon tertentu yang tidak terkandung pada susu formula. Selain itu, pola tidur juga memiliki peran penting untuk mencegah obesitas. Sebaiknya anak dibiasakan memiliki pola tidur yang teratur, dengan durasi 9-10 jam,” tambah dr. Aman.

Mengingat tingginya peningkatan angka obesitas dan diabetes yang terjadi secara paralel, skrining diabetes terutama pada anak yang sudah memiliki kelebihan berat badan juga penting dilakukan. Skrining diabetes dapat dilakukan mulai usia 10 tahun, atau awal masa pubertas dengan frekuensi setiap 2 tahun. Selain itu, perlu juga diperhatikan gejala yang mengarah ke diabetes pada anak agar bisa mendapat penanganan segera. “Penurunan berat badan disertai perilaku banyak makan dan minum, banyak kencing, mengompol di atas usia 5 tahun, lalu badan mudah lemas dan loyo adalah gejala diabetes yang bisa dilihat,” ujar dr. Aman.

Serupa dengan fenomena yang terjadi di usia anak, populasi dewasa Indonesia juga mengalami peningkatan angka obesitas yang signifikan. Faktor lingkungan diduga menjadi peran utama dalam timbulnya kondisi tersebut. Pakar ilmu penyakit dalam subspesialis metabolik dan endokrin FKUI-RSCM, dr. Dicky Levenus Tahapary, SpPD-KEMD, Ph.D, memaparkan hasil penelitiannya, “Setiap 1 tahun tinggal di Jakarta, ditemukan peningkatan IMT pada subjek sebanyak 0,15 kg/m2 serta lingkar perut sebanyak 0,5 cm. Hal ini dapat disebabkan karena perubahan gaya hidup. Dulu orang makan untuk hidup, namun sekarang persepsinya terbalik menjadi hidup untuk makan.”

obes3

Komplikasi obesitas pun tidak main-main, dampaknya dapat muncul pada berbagai organ tubuh mulai dari kepala hingga kaki. “Mulai dari otak dapat menyebabkan stroke, di jantung dapat mencetuskan serangan jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya, bisa juga menyebabkan hipertensi, gagal ginjal, serta peningkatan asam lambung menjadi maag, hingga ke kaki dapat menyebabkan gout artritis. Untuk wanita, obesitas juga dapat mempengaruhi organ reproduksi sehingga menimbulkan risiko infertilitas dan keguguran. Tidak jarang pula obesitas menjadi faktor pencetus untuk berbagai jenis kanker seperti kanker usus, payudara, endometrium serta ginjal,” ujar dr. Dicky.

Untuk masalah metabolik endokrin sendiri, obesitas dapat menimbulkan resistensi insulin yang pada akhirnya menjadi diabetes. “Resistensi insulin adalah kondisi di mana sel tubuh tidak dapat menggunakan gula darah dengan baik karena terganggunya respon sel tubuh terhadap insulin. Akibatnya, gula darah tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga menumpuk menjadi kerak di pembuluh darah. Hal ini lah yang menyebabkan diabetes atau gula darah tinggi. Maka dari itu, kunci utama dari mencegah diabetes adalah dengan menjaga makanan,” tambah dr. Dicky.

Selain faktor asupan gizi dan aktifitas fisik, obesitas dan diabetes ditemukan memiliki keterkaitan yang erat pula dengan faktor riwayat serupa pada keluarga. Menurut seorang spesialis penyakit dalam konsultan metabolik dan endokrin FKUI-RSCM, Dr. dr. Dyah Purnamasari, SpPD-KEMD, individu yang memiliki orangtua kandung penyandang diabetes mellitus tipe 2 memiliki risiko obesitas dan obesitas sentral, serta resistensi insulin yang lebih dini dan lebih tinggi dibandingkan individu tanpa riwayat diabetes mellitus tipe 2 pada orangtua. Maka dari itu, tidak heran jika diabetes mellitus tipe 2 sudah mulai sering ditemukan di usia muda.

“Dulu, selalu ditekankan faktor risiko diabetes salah satunya usia di atas 40 tahun. Namun sekarang batas usia telah bergeser, diabetes sudah banyak ditemukan bahkan dari usia kepala 2,” jelas dr. Dyah.

Berbagai komplikasi obesitas seperti stroke juga diperparah dengan adanya riwayat diabetes pada keluarga kandung. “1 dari 2 anak kandung penderita diabetes mellitus tipe 2 sudah memiliki plak di pembuluh darah leher bahkan sebelum usia 40 tahun,” ujar dr. Dyah. Plak pada pembuluh darah dapat terlepas dan berpindah mengikuti aliran darah ke otak atau jantung, sehingga jika ukuran plak cukup besar dapat menyebabkan sumbatan aliran darah ke kedua organ vital tersebut dan pada akhirnya menimbulkan stroke atau serangan jantung.

obes4

Selain itu, ibu yang melahirkan bayi besar juga perlu diperhatikan sebagai faktor risiko terjadinya diabetes. “Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir lebih dari 4 kg merupakan faktor risiko klasik terjadinya diabetes baik untuk ibu maupun anak,” tambah dr. Dyah.

Mengingat semakin dininya usia penyandang diabetes serta tingginya kerentanan gangguan metabolik seperti obesitas dan resistensi insulin pada populasi anak kandung penyandang diabetes di usia muda, tindakan pencegahan diabetes sudah harus dilakukan sedini mungkin. dr. Dyah menjelaskan, “Faktor risiko diabetes lebih banyak yang bisa dimodifikasi. Salah satunya adalah dengan menerapkan gaya hidup aktif dan tidak obesitas (menjaga makanan). Terutama untuk anak kandung penderita diabetes, bagaimana pun caranya tidak boleh obesitas.”

Skrining rutin juga penting dilakukan agar pasien diabetes bisa mendapat tatalaksana dini sebelum timbul komplikasi. “Medical check up harus dilakukan secara rutin walaupun tidak ada gejala, paling lambat usia 30 tahun sudah diperiksa. Untuk anak kandung penyandang diabetes atau orang yang sudah mengalami berat badan berlebih, paling lambat usia 20 tahun sudah dilakukan skrining medical check up,” tambah dr. Dyah.

Pencegahan diabetes dapat dilakukan sedini mungkin bahkan sejak masa prenatal atau sebelum kehamilan. dr. Dyah menyarankan, “Untuk ibu yang ingin hamil, turunkan berat badan sebelum hamil (bagi ibu dengan berat badan berlebih) dan jaga kenaikan berat badan saat hamil.” Kenaikan berat badan ketika hamil harus sesuai anjuran dokter, jangan sampai kekurangan atau kelebihan.

Permasalahan diabetes dan obesitas yang berjalan secara linear tentunya dapat dicegah dan diatasi. Prinsip utama penanganan obesitas adalah dengan menjaga asupan gizi yang masuk serta aktifitas fisik yang adekuat. Selain itu, pemeriksaan kesehatan rutin juga penting untuk mendapat penatalaksaan dini dan mencegah komplikasi yang timbul. Pada akhirnya, dengan berkurangnya beban berat badan berlebih, berkurang pula beban permasalahan akibat diabetes.

(Humas FKUI)