Faktor Penyebab Dehisensi Luka Pasca Operasi pada Anak

Dehisensi luka adalah terbukanya kembali luka operasi yang telah dijahit secara primer. Dehisensi luka menimbulkan dampak negatif baik bagi penderita, keluarga, maupun ahli bedah beserta tim. Dampak bagi penderita antara lain infeksi dan perluasan luka yang diikuti oleh penyulit. Tidak jarang kematian dijumpai sehubungan dengan infeksi berat atau penyulit yang terjadi. Pada pasien yang bertahan hidup, kerap diperlukan operasi berulang, lama rawat yang berkepanjangan dampak psikologis serta biaya pengobatan. Tim ahli bedah tentunya juga tidak menginginkan dehisensi luka ini terjadi karena merupakan efek samping yang buruk.

Penyebab dehisensi luka operasi pada anak bersifat multifaktorial. Faktor tubuh anak, baik lokal (jenis sayatan, jenis simpul, operasi gawat darurat, operasi terinfeksi atau kebocoran usus) maupun sistemik dan faktor lingkungan. Faktor lainnya misalnya faktor gangguan oksigenisasi, gangguan kecukupan aliran vena, infeksi, adanya benda asing gizi (gizi buruk atau obesitas), diabetes, obat-obatan (steroid, antiinflamasi, nonsteroid, kemoterapi), kondisi imunokompromis atau rentan (keganasan, radiasi, AIDS) dan faktor usia. Setiap akan melakukan operasi, tim dokter telah mempersiapkan menghilangkan potensi risiko tersebut. Namun, terkadang dehisensi masih tetap terjadi dan belum diketahui faktor penyebab lainnya.

GSTP1 I105V, sebuah enzim yang dikendalikan oleh gen, berfungsi sebagai salah satu antioksidan kuat dalam tubuh anak yang sedang menjalani operasi. Namun pada anak yang mengalami polimorfisme gen GSTP1, ia akan mengalami perubahan respon enzim yaitu tidak berfungsinya antioksidan. Jika antioksidan tidak berfungsi akan berakibat pada reaksi peradangan dalam tubuh yang menjadi tinggi, stress oksidatif yang meningkat sehingga luka sulit sembuh dan menimbulkan risiko terjadinya dehisensi luka. Untuk itu, diperlukan sebuah penelitian untuk melihat peran polimorfisme GSTP1 I105V terhadap terjadinya komplikasi dehisensi luka operasi pada anak yang menjalani operasi mayor.

Penelitian kemudian dilakukan oleh dr. Tinuk Agung Meilany, SpA(K) sebagai penelitian disertasinya dan didapatkan hasil penelitian bahwa polimorfisme GSTP1 I105V dapat memengaruhi peningkatan kejadian dehisensi luka pada keadaan hipoksia pasca operasi yang ditunjukkan dengan penurunan TcPO2 dan pada subjek dengan komplikasi hipoalbumin.

Hasil penelitian tersebut dipaparkan oleh dr. Tinuk pada sidang promosi doktoralnya Kamis (14/7) lalu di Ruang Senat Akademik Fakultas, FKUI Salemba. Disertasi berjudul “Polimorfisme GSTP1 I105V Sebagai Faktor Risiko Peningkatan Kejadian Dehisensi Luka Pasca Bedah Abdomen Mayor pada Anak” ini berhasil dipertahankan dihadapan tim penguji yang diketuai oleh Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI dengan anggota tim penguji Dr. rer. Nat. dr. Septelia Inawati Wanandi; Dr. dr. Joedo Prihartono, MPH; dan Prof. Dr. dr. David S. Perdanakusuma, SpBP-RE(K) (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga).

Prof. dr. Pratiwi Pudjilestari Sudarmono, PhD, SpMK(K), selaku ketua sidang, kemudian mengangkat dr. Tinuk Agung Meilany, SpA(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Promotor Prof. dr. Akmal Taher, SpU(K) dan ko promotor Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dan Prof. dr. Herawati Sudoyo, MS, PhD (Lembaga Biologi Molekuler Eijkman) berharap hasil penelitian ini dapat menjadi informasi dasar terkait pembuatan rekomendasi tata laksana bedah mayor pada anak dalam upaya mencegah dehisensi luka. (Humas FKUI)