Disparitas ekonomi di Asia Selatan dan Tenggara berdampak pada kesehatan, salah satunya pada perawatan penyakit ginjal stadium akhir. Hal ini ditandai dengan rendahnya perawatan dialisis dan transplantasi ginjal, sumber daya manusia yang kurang mencukupi, pengeluaran out of pocket yang lebih besar. Kesimpulan ini dibuat berdasarkan penelitian yang merupakan hasil dari kolaborasi internasional peneliti-peneliti Asia Selatan dan Asia Tenggara, yang juga melibatkan peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dr. Aida Lydia, Ph.D, Sp.PD-KGH.
Penelitian berjudul “Impact of National Economy and Policies on End-Stage Kidney Care in South Asia and Southeast Asia” ini dilakukan oleh dr. Aida bersama sejumlah pakar nefrologi Asia yaitu Suceena Alexander; Sanjiv Jasuja; Maurizio Gallieni; Manisha Sahay; Devender S. Rana; Vivekanand Jha; Shalini Verma; Raja RamachandranVinant Bhargava; Gaurav Sagar; Anupam Bahl; Chakko Jacob; Ali Alsahow; Mohan M. Rajapurkar; Vijay Kher; Hemant Mehta; Anil K. Bhalla; Umesh B. Khanna; Deepak S. Ray; Himanshu Jain dari India.
Mamun Mostafi dari Bangladesh; Jayakrishnan K Pisharam dari Brunei Darussalam; Sydney C. W. Tang dari Hong Kong; Atma Gunawan yang juga dari Indonesia; Goh B. Leong dari Malaysia; Khin T. Thwin dari Myanmar; Rajendra K Agrawal dari Nepal; Kriengsak Vareesangthip dari Thailand; Roberto Tanchanco dari Filipina; Lina H. L. Choong dari Singapura; Chula Herath dari Sri Lanka; Chih C. Lin dari Taiwan; Nguyen T. Cuong dan Ha P. Haian dari Vietnam; Syed F Akhtar dari Pakistan; Sonika Puri dan Tushar Vachharajani dari Amerika Serikat. Penelitian ini telah dipublikasikan dalam Internasional Journal of Nephrology (https://www.hindawi.com/journals/ijn/2021/6665901/) pada 6 Mei 2021.
Hingga saat ini, asosiasi status ekonomi dengan pelayanan penyakit ginjal stadium akhir di Asia Selatan dan Tenggara belum benar-benar dipelajari. Namun, pada umumnya, negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah cenderung mendorong beban penyakit yang lebih besar. Namun, kejadian-kejadian tersebut tidak terlaporkan dengan baik. Sehingga situasi penyakit, termasuk penyakit ginjal stadium akhir, menjadi lebih kompleks di negara berpenghasilan rendah.
Oleh karena itu, supaya dapat dibuat analisis dan kesimpulan, serta kebijakan kesehatan yang efektif dan komprehensif terkait penyakit ginjal, dilakukan perbandingan antara negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah-menengah dengan negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah-tinggi di kawasan Asia Selatan dan Tenggara. Perbandingan ini memungkinkan peneliti untuk memperkirakan beban penyakit, kekurangan dalam pelayanan dan rasionalisasi SDM, serta pelatihan yang dibutuhkan bagi tenaga Kesehatan di negara-negara berpenghasilan rendah.
Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner mengenai status ekonomi dan korelasinya dengan pola perawatan penyakit ginjal stadium akhir di Asia Selatan dan Tenggara. Kuesioner disebarkan ke perkumpulan pakar nefrologi nasional di seluruh negara di kawasan ini. Dari seluruh negara, terdapat 15 negara yang memberikan respon, yaitu Brunei, Hong Kong, Singapore, Malaysia, Taiwan, dan Thailand sebagai negara berpenghasilan tinggi. Serta Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar, Nepal, Pakistan, Philippines, Sri Lanka, dan Vietnam sebagai negara berpenghasilan rendah.
Alhasil, ditemukan bahwa Asia Selatan dan Tenggara merupakan kawasan paling padat penduduk di dunia dengan perbandingan penduduk negara berpenghasilan tinggi dibandingkan rendah adalah 1:11. Meskipun begitu, rerata laporan kasus penyakit ginjal stadium akhir lebih tinggi di negara berpenghasilan tinggi dibandingkan rendah.
Saat ini hemodialisis masih menjadi pilihan utama untuk perawatan penyakit ginjal, yang mana, biaya hemodialisis lebih tinggi di negara berpenghasilan tinggi dibandingkan rendah. Namun, pembiayaan dialisis di negara berpenghasilan tinggi ditanggung pemerintah atau asuransi. Sedangkan, pada negara berpenghasilan rendah biaya lebih banyak ditanggung secara mandiri (out of pocket). Mesin hemodialisis sendiri lebih sering digunakan di negara berpenghasilan tinggi dibandingkan rendah. Pusat-pusat hemodialisis dan dokter spesialis nefrologi pun lebih banyak ditemukan di negara-negara tersebut.
Frekuensi dialisis di negara berpenghasilan tinggi adalah >2 kali / minggu. Sedangkan, pada negara berpenghasilan rendah adalah <2 kali / minggu. Hal ini dapat berhubungan dengan adanya istilah “on demand dialysis” yang kerap ditemukan di negara berpenghasilan rendah, yaitu dialisis yang dilakukan ketika pasien tampak sangat bergejala. Kejadian putus dialisis lebih sedikit ditemukan di negara berpenghasilan tinggi dibandingkan rendah. Secara umum, angka transplantasi ginjal lebih rendah di negara berpenghasilan rendah.
Dari penelitian ini diketahui bahwa ekonomi memiliki pengaruh penting pada perawatan ginjal di Asia Selatan dan Tenggara. Kebijakan kesehatan negara dan cakupan kesehatan universal, pendanaan pemerintah, kemitraan yang efisien antara sektor publik dan swasta, dan asuransi yang memadai adalah solusi yang layak untuk meningkatkan kondisi perawatan ginjal saat ini di Asia Selatan dan Tenggara.
(Humas FKUI)