Masalah kurangnya dokter spesialis dan sub-spesialis beserta pemerataannya di Indonesia terus bergulir dan tampaknya masih belum menemukan solusi terbaik. Keresahan tersebut menjadi salah satu topik yang diangkat dalam pertemuan AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 yang berlangsung pada 11-12 Januari 2023 di Hotel Aryaduta, Badung, Bali.
Kegiatan ilmiah yang diselenggarakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sebagai AAHCI Southeast Asia Regional Office tersebut mengusung tema “Residency Programs: The Importance of Identity Formation and Growth“ pada salah satu sesi gelar wicaranya. Sesi tersebut menghadirkan sejumlah pakar pendidikan kedokteran dunia untuk duduk bersama dan berbagi sudut pandang mengenai pengelolaan pendidikan dokter spesialis. Koh Dow Rhoon, MD, PhD, Director of International Relations, Yong Loo Lin School of Medicine, NUS, Singapore berkesempatan untuk memfasilitasi sesi gelar wicara.
Membuka sesi, Dr. Achmad Chusnu Romdhoni., dr., Sp.THT-KL(K)., FICS dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga mengangkat topik “The Hybrid Residential Program: One of the Solutions to Health Problems in Indonesia”. Dalam paparannya, Romdhoni menyuguhkan fakta kurangnya rasio dokter spesialis di Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara maju. Misalnya saja, rasio dokter spesialis jantung (kardiolog) di Indonesia hanya 1:166.000 jiwa. Data tersebut jauh di bawah rasio kardiolog Amerika Serikat yang mampu mencapai 1:17.800 jiwa. Tak hanya persoalan kuantitas, Indonesia juga menghadapi isu persebaran dokter spesialis yang tidak merata. Kesenjangan tersebut tentu saja sangat berdampak terhadap perbedaan kualitas pelayanan kesehatan yang berjalan.
Sejumlah faktor berhasil diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya krisis dan kurangnya pemerataan dokter spesialis, meliputi jumlah sekolah spesialistik yang masih kurang, kesejahteraan dokter spesialis yang tidak terjamin, serta fasilitas kesehatan di area rural yang kurang memadai. Beberapa solusi mulai digaungkan untuk menjawab persoalan tersebut. Untuk menanggulangi persoalan kuantitas, kuota penerimaan program residensi serta jumlah sekolah spesialistik mengalami peningkatan. Namun, Romdhoni kembali menyampaikan bahwa penambahan jumlah tanpa diimbangi dengan penyebaran yang merata tidak akan menyelesaikan masalah. Untuk itu menurutnya, program residensi hybrid Tentara Nasional Indonesia (TNI) hadir sebagai salah satu solusi yang mampu mengakomodasi persoalan jumlah dan persebaran.
“Militer terkenal dengan kepatuhan yang tinggi terhadap komando sehingga dokter militer dapat ditugaskan ke pelosok Indonesia untuk mengurangi gap persebaran dokter spesialis. Untuk itu, program residensi hybrid ini tentu saja mampu menjadi salah satu solusi memenuhi kekurangan dokter spesialis di area rural,” ungkap Romdhoni.
Dalam program residensi hybrid, proses seleksi penerimaan tetap diselenggarakan oleh universitas, namun sebagian besar proses pendidikan berlangsung di rumah sakit militer. FKUI sebagai institusi pendidikan yang berkomitmen untuk meningkatkan proses peningkatan dan persebaran dokter spesialis di Indonesia turut ambil bagian dalam pelaksanaan program ini. Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB menyampaikan dukungannya terhadap pengembangan program residensi hybrid militer. “Kolaborasi universitas dengan TNI menjadi bentuk dukungan penuh terhadap pemerataan persebaran dokter spesialis di Indonesia. Saya optimis model kerja sama ini dapat menjadi contoh yang kemudian bisa diterapkan di institusi pendidikan kedokteran lainnya untuk memastikan pemenuhan dokter spesialis ke seluruh penjuru negeri,” terang Prof. Ari.
Sementara itu, Malcolm Mahadevan, MBBS, FRP, FRCSEd, MHPE, FAMS, Designated Institutional Official, NUHS Residency Programme, NUS, Singapore mengemukakan pentingnya formasi identitas profesional selama masa residensi. Dalam presentasinya, Malcolm menegaskan peran penting kualitas pendidikan kedokteran dalam membangun identitas seorang peserta didik. “Pendidikan kedokteran yang berkualitas menyediakan pengetahuan dan skill yang mumpuni bagi residen sehingga mereka mampu berpikir, bertindak, dan mengidentifikasi dirinya sebagai seorang physician,” terang Malcolm.
Sejatinya, proses pembentukan identitas seorang individu sudah dimulai sejak lahir dan kemudian terwujud ke dalam label diri yang kompleks, meliputi gender, ras, agama, dan kelas sosial. Label yang melekat tersebut selanjutnya akan menentukan bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya. Jika proses formasi identitas berlangsung optimal, tidak sulit untuk membangun dan menyusun sebuah identitas baru. Misalnya, identitas sebagai dokter yang baik melalui pendidikan kedokteran.
Tak hanya itu, Malcolm juga mengingatkan pentingnya polaritas berpikir bagi seorang residen. Polaritas berpikir yang dimaksud ialah kemampuan untuk memandang diri sebagai individu dan bagian dari sebuah tim. Kerja sama menjadi kunci bagi residen untuk mengidentifikasi perannya dalam tim, mengingat pelayanan medis membutuhkan kolaborasi tim yang baik. Untuk menunjang keberhasilan kolaborasi tersebut, seorang peserta didik juga membutuhkan asupan serta pedoman dari seorang mentor, konselor, dan peer group. Kendali stres melalui kegiatan bermanfaat dan komunikasi efektif juga mampu menumbuhkan kepercayaan diri serta resiliensi seorang residen.
Pembicara berikutnya adalah Sawsan Abdel-Razig, MD, FACP, MEHP, Interim Chief Academic Officer, Cleveland Clinic Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Beliau berkesempatan membawakan materi berjudul “Professionalism and Our Cultural Context”. Mengawali presentasinya, Sawsan menjelaskan dua unsur penting yang menjadi pondasi pembangunan profesionalisme, yaitu manusia dan sebuah profesi. Melalui penelitiannya, Sawsan menjelaskan bahwa kedua unsur tersebut saling melengkapi dalam membentuk enam domain definisi profesionalisme, meliputi akuntabilitas, altruisme, pemenuhan kewajilban, keunggulan, penghormatan (respect), serta kejujuran dan integritas.
Setelah mengumpulkan angket dari beberapa residen, Sawsan menemukan bahwa sebagian besar responden mendefinisikan profesionalisme sebagai upaya menjalankan peran yang dilandasi domain kejujuran dan integritas. Hasil lainnya ditemukan pada survei yang ditujukan pada pihak fakultas. Sebagian besar pihak kampus yang terlibat dalam penelitian tersebut mendefinisikan profesionalisme sebagai suatu bentuk aplikasi akuntabilitas. Perbedaan pendapat tersebut membuktikan bahwa latar belakang seorang individu akan sangat memengaruhi sudut pandangnya.
Sawsan menjelaskan bahwa definisi operasional profesionalisme bagi seorang individu, khususnya residen sangat bergantung pada sejarah panjang pengalaman serta budaya yang pernah dilalui. Untuk itu, pandangan dan implementasi nilai profesionalisme yang berbeda di dunia nyata sangat mungkin ditemui. Menutup presentasinya, Sawsan membagikan pesan penting berupa beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi perbedaan budaya tersebut. Luangkan waktu dan ciptakan jarak aman (space) dengan pasien. Perlu diingat bahwa tidak semua individu memiliki kecocokan atau kesesuaian terhadap sebuah regulasi. Selain itu, peran keluarga, identitas gender serta hubungan, dan sistem yang berlaku harus menjadi daftar poin yang dipertimbangkan seorang residen dalam menjalankan tugasnya.
AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 yang berlangsung di Bali merupakan pertemuan regional keempat yang diselenggarakan oleh FKUI sejak penunjukannya sebagai AAHCI Southeast Asia Regional Office pada 2018 lalu. AAHCI adalah aliansi institusi pendidikan kedokteran dunia yang menjadi bagian dari The Alliance of Academic Health Centers (AAHC), organisasi nonprofit berbasis di Amerika Serikat yang berfokus pada kesejahteraan dan kesehatan komunitas. AAHCI memiliki misi untuk mengembangkan seluruh potensi setiap institusi kesehatan dunia dalam mewujudkan stabilitas kesehatan global melalui optimalisasi sistem pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penelitian.
(Humas FKUI)