Burnout merupakan sindrom kelelahan yang terdiri atas tiga karakteristik perasaan, meliputi kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya hasrat untuk tetap berprestasi. Dalam sebuah rutinitas pekerjaan, seseorang yang mengalami burnout akan mempertanyakan nilai serta kemampuannya dalam memberikan performa terbaik. Jika terus dibiarkan, kondisi ini mampu memicu depresi dan kelelahan berkepanjangan yang dapat berkontribusi terhadap turunnya produktivitas.
Mengambil latar belakang isu burnout yang sering ditemukan pada mahasiswa kedokteran maupun residen, AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 secara khusus mengangkat topik kelelahan emosional tersebut dalam salah satu sesi gelar wicara. Pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 11-12 Januari 2023 di Hotel Aryaduta, Badung, Bali ini menghadirkan sejumlah pakar pendidikan kedokteran untuk mendiskusikan fenomena burnout di kalangan peserta didik di bidang kesehatan.
“Burnout and Well-being: Training, Supporting, and Adapting”, menjadi tema sesi gelar wicara yang difasilitasi langsung oleh Ben Canny, MD, Director of Medical Education, Adelaide Medical School, Australia. Sesi diskusi dibuka oleh presentasi mengenai pengenalan terhadap burnout yang dibawakan oleh Margaret C. McDonald, PhD, MFA, Associate Professor of Epidemiology, School of Public Health, University of Pittsburgh, Amerika Serikat. Dalam presentasinya yang berjudul “Medical Student Burnout and Well-Being – What Our Institution Can Do” Margaret menjelaskan bahwa secara faktual burnout lebih sering ditemukan pada mahasiswa kedokteran jika dibandingkan dengan bidang lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem pendidikan kedokteran yang selalu menuntut kesempurnaan. Tanggung jawab yang tidak main-main berupa nyawa manusia membuat mahasiswa sering dilingkupi perasaan takut dan cemas.
Margaret juga menyuguhkan sebuah data dari studi meta analisis tahun 2019 yang menjelaskan bahwa 1 dari 2 mahasiswa kedokteran mengalami burnout bahkan sebelum menjalani program residensi.
Dari segi institusi pendidikan sendiri, Margaret membagikan beberapa rekomendasi mengenai peran serta kampus dalam menanggulangi persoalan burnout di kalangan mahasiswa kedokteran yang dikutip dari American Medical Association (AMA). Aturan mengenai pembagian tanggung jawab dalam pendidikan menjadi poin utama yang diangkat dalam rekomendasi tersebut. Kurikulum yang mengakomodasi kesehatan mental disertai asesmen berkala mengenai hal tersebut juga amat diperlukan oleh sebuah institusi. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk membangun resiliensi dan self care juga tidak kalah pentingnya dalam membangun kepercayaan diri seorang peserta didik. Jika sudah telanjur jatuh pada kondisi burnout, institusi harus hadir menyediakan akses yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Hal senada disampaikan oleh Dr. dr. Fika Ekayanti, M.Med.Ed, dari Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, melalui risetnya yang menemukan sekitar 13% mahasiswa kedokteran UIN Jakarta mengalami burnout sementara 43,1% lainnya memiliki risiko tinggi mengalami burnout di kemudian hari. Dalam paparannya, Fika menjelaskan bahwa faktor usia muda dan kondisi finansial yang kurang memadai memegang peranan penting dalam terjadinya burnout.
Menurut Fika, kondisi tersebut kian memburuk ketika seorang individu memiliki dorongan atau motivasi belajar yang kurang terasah. Fika juga menjelaskan bahwa faktor keluarga, misalnya jumlah saudara dan konflik internal mampu memberikan suntikan beban tambahan. Dari segi faktor internal seorang individu, sejumlah faktor, seperti kepribadian, kontrol diri, dan resiliensi akan berperan sebagai faktor risiko ataupun justru menjadi faktor protektif terhadap burnout jika dibangun dengan baik.
Demi menanggulangi hal tersebut, Ben Canny, MD, yang juga menjadi pemateri pada sesi tersebut menegaskan pentingnya edukasi dan intervensi langsung terhadap fenomena burnout pada mahasiswa kedokteran. Melalui paparannya yang berjudul “Burnout in the Australian Medical School Context”, Ben menjelaskan bahwa peran serta pemangku kebijakan dalam mengidentifikasi fenomena ini amat diperlukan yang kemudian diimplementasikan melalui aturan atau panduan spesifik. Di Australia sendiri, terdapat panduan khusus yang mengatur pentingnya kesehatan mental bagi fakultas kedokteran. Dalam panduan tersebut dibagikan info menarik mengenai burnout pada mahasiswa kedokteran dan langkah-langkah informatif yang bisa diambil oleh peserta didik jika memerlukan bantuan.
Pandemi, e-Learning, dan Kelelahan Emosional
Menutup sesi gelar wicara, Lee Yew Kong, MD, Head of Research Training Unit, Faculty of Medicine Universiti Malaya, Malaysia, membagikan materi dengan topik berjudul “A case study – Virtual patients to increase engagement and reduce e-Learning fatigue”. Dalam presentasinya, Lee menjelaskan bahwa interaksi virtual selama masa pandemi menjadi faktor yang ikut berperan dalam memicu burnout. Kondisi tersebut kemudian sangat memengaruhi kualitas pendidikan kedokteran yang lebih banyak membutuhkan interaksi langsung dengan pasien untuk membangun kemampuan penalaran klinis. Interaksi virtual tentu saja memiliki beberapa batasan sehingga seorang peserta didik tidak mampu mendapatkan keterampilan dan informasi penting yang dibutuhkan jika dibandingkan dengan interaksi langsung.
Lee kemudian membagikan pengalaman proses adaptasi yang dilakukan oleh Universiti Malaya untuk memastikan pemenuhan kompetensi bagi peserta didik meski kegiatan pembelajaran dilakukan secara virtual. Pemanfaatan beberapa perangkat lunak dan sistem informasi serta komunikasi yang baik dikembangkan untuk mengakomodasi kebutuhan mahasiswa. Beberapa aplikasi yang ramah pengguna juga dilibatkan dalam proses pertukaran informasi antara staf pengajar dan mahasiswa. Setelah menjalankan proses adaptasi dalam kegiatan e-learning, Lee juga menampilkan data berupa umpan balik positif dari peserta didik yang menjalankan proses pembelajaran digital.
Menutup presentasinya, Lee mengingatkan bahwa proses adopsi teknologi, adaptasi, dan inovasi menjadi tiga hal yang harus dilakukan saat ini. “Saya akui bahwa sumber daya dalam membangun pembelajaran digital sangat terbatas dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk itu, kolaborasi tingkat regional maupun global sangat diperlukan untuk saling berbagi sumber daya dan pengetahuan demi membangun sistem pembelajaran yang optimal,” tutup Lee.
(Humas FKUI)