Kemajuan sistem informasi dan industri global menjadi pemantik bagi setiap individu untuk terus berupaya mengembangkan diri. Segala cara dilakukan demi memenuhi standar kehidupan yang semakin tinggi. Salah satu fenomena yang lahir dari situasi tersebut ialah besarnya arus urbanisasi, khususnya di beberapa negara bependapatan menengah ke bawah.
Pernyataan tersebut mencuat pada salah satu sesi presentasi dengan tema “Academic Health Centers and Urban Health” yang dibawakan oleh K. Locana Gunaratna, AA, Dipl, MCP, PhD, Fellow and Past President of National Academy of Science Sri Lanka pada pertemuan internasional AACHI Southeast Asia Regional Meeting 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 11-12 Januari 2023 di di Hotel Aryaduta, Badung, Bali.
Dalam paparannya, Locana mengemukakan bahwa alasan di balik seseorang memutuskan bermigrasi dari area rural ke area urban didasari oleh kepentingan ekonomi. Iming-iming berupa taraf hidup yang lebih baik di daerah urban menjadi setir untuk meninggalkan situasi kehidupan sebelumnya. Padahal tak sedikit dampak yang mengancam fenomena perpindahan masyarakat secara massal tersebut. Kesenjangan sosial, kemiskinan, dan kerusuhan menjadi sebagian kecil realita yang terjadi akibat tidak terkendalinya arus urbanisasi.
Lebih lanjut jika dikaitkan dengan kesehatan, urbanisasi turut memegang andil dalam penurunan kualitas sistem kesehatan suatu daerah. Area hunian yang tidak dilengkapi dengan sanitasi memadai disertai sulitnya akses terhadap pelayanan dan infrastruktur kesehatan menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi kaum urban saat ini. Menurut Locana, situasi tersebut akan sangat mungkin menjadi cikal bakal persoalan kesehatan yang lebih masif, misalnya penularan penyakit yang mampu berkembang menjadi epidemi bahkan pandemi.
Salah satu persoalan yang diduga menjadi pencetus kesenjangan ini ialah tidak setaranya pembangunan di area rural dan urban. “Kurangnya regulasi yang mengatur keseimbangan pembangunan di setiap daerah menyebabkan munculnya kesenjangan yang akan memaksa seseorang untuk melakukan pergerakan demi melanjutkan kehidupan,” jelas Locana. Menurut beliau, satu-satunya cara untuk menanggulangi masalah ini ialah dengan menyelesaikan persoalan utamanya melalui pembangunan daerah terpencil. Investasi dalam bidang infrastruktur dan pelayanan publik tentu saja mampu menarik perkembangan bidang lainnya, termasuk kesehatan. Pemerintah lokal juga diharapkan dapat berkontribusi aktif demi memastikan akses dan mobilitas masyarakat daerah rural terpenuhi sehingga dorongan urbanisasi dapat ditekan perlahan.
Locana menambahkan bahwa diperlukan pula perencanaan (urban planning) yang optimal dalam mengantisipasi masalah yang ditimbulkan oleh urbanisasi. Tak hanya itu, pendidikan di bidang kesehatan juga harus selaras dengan perkembangan sektor ekonomi yang terjadi. Hal tersebut nantinya akan menjadi investasi berharga dalam menghadapi ancaman ganda (double burden) kesehatan di area urban yang mencakup communicable disease (penyakit menular) dan non-communicable disease (penyakit tidak menular).
Senada dengan upaya pengembangan daerah rural, dalam sesi presentasi lainnya, Chancellor of University of Arkansas for Medical Science (UAMS) Amerika Serikat, Cam Patterson, MD, MBA membagikan kisah suksesnya dalam mengembangkan peran serta daerah rural dalam kemajuan sistem kesehatan negara bagian Arkansas, Amerika Serikat. Dalam presentasinya, Patterson memaparkan peran sukarelawan kesehatan (community health workers) dalam memastikan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat di area rural. Sukarelawan tersebut merupakan warga Arkansas yang telah dilatih oleh pemerintah daerah setempat untuk mampu menjadi penghubung masyarakat dengan fasilitas kesehatan.
Untuk memudahkan kegiatannya, seluruh sukarelawan dibekali dengan sistem navigasi kesehatan berbasis digital. Pengembangan sistem kesehatan digital ini tentu saja sejalan dengan situasi global saat ini yang berada di tengah era transformasi digital. Interkoneksi setiap individu yang semakin mudah memastikan seluruh informasi dapat diakses kapanpun dan dimanapun.
“Sistem ini sangat membantu kemajuan kesehatan warga Arkansas yang tinggal di area rural, terlebih dalam hal prevensi dan screening kesehatan dasar. Selain itu, beberapa kasus yang memerlukan evaluasi berkala juga sangat terbantu dengan kehadiran community health workers,” ungkap Patterson.
Patterson juga menambahkan bahwa kemajuan sistem kesehatan daerah rural tidak terlepas dari kontribusi institusi pendidikan setempat. Partisipasi aktif UAMS sebagai bagian dari komunitas Arkansas dalam mengembangkan model sistem pelayanan kesehatan berbasis digital dapat dijadikan contoh baik bagi seluruh intitusi kesehatan, termasuk FKUI. Kegiatan tersebut menjadi bukti nyata dari eksistensi dan kontribusi langsung institusi kesehatan sebagai bagian dari komunitas dalam memajukan kesehatan setempat.
Dekan FKUI sekaligus Regional Ambassador dari AACHI Southeast Asia, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB mengungkapkan, “Pembangunan kesehatan area rural merupakan topik yang sangat relevan dan selaras dengan kondisi Indonesia saat ini. Upaya FKUI dalam menciptakan keseteraan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal masih terus berjalan. FKUI berkomitmen untuk menyukseskan cita-cita tersebut melalui program pemerintah yang tercantum dalam SKB antara Mendikbudristek RI dan Menkes RI tentang Academic Health System (AHS). Demi menunjang hal tersebut, diperlukan pula input baru dari sejumlah pihak dengan latar belakang serta pengalaman berbeda yang dapat dijadikan acuan bagi praktisi kesehatan dalam negeri. Untuk itu, AAHCI Southeast Asia Regional Meeting 2023 hadir sebagai ajang untuk saling bertukar informasi dan gagasan dari para pakar dan praktisi kesehatan dunia demi mengakomodasi pembangunan kesehatan di Indonesia,” jelas Prof. Ari.
(Humas FKUI)