Peranan Laktat, Interleukin, Kaspase-3 dan Efektifitas Pompa Balon Intra Aorta (PBIA) pada Pasien pasca Henti Jantung Karena Sindroma Koroner Akut

Henti jantung adalah kondisi renjatan paling berat dan mematikan sebagai dampak berhentinya sirkulasi darah dan penumpukan sisa metabolisme tubuh. Henti jantung membutuhkan pertolongan resusitasi jantung paru secepatnya. Sindroma koroner akut (dikenal dengan serangan jantung atau ‘angin duduk’) dilaporkan sering menjadi penyebab utama terjadinya henti jantung mendadak (sudden death). Sindroma koroner akut diketahui berhubungan dengan beberapa faktor risiko kardiovaskular seperti kencing manis (diabetes), tingginya kadar kolesterol (dyslipidemia), tekanan darah tinggi (hipertensi), merokok, dan riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner (PJK).

Bantuan hidup jantung dasar dalam bentuk kompresi dada dan bantuan nafas buatan merupakan tatalaksana segera yang harus diberikan hingga sirkulasi spontan kembali pada pasien-pasien yang mengalami henti jantung mendadak. Sayangnya, meskipun sirkulasi spontan kembali namun angka kematian pasien pasca henti jantung masih sangat tinggi. Hal ini menyebabkan tatalaksana pasien pasca henti jantung masih menjadi tantangan bagi para dokter dalam menolong pasien-pasien pasca henti jantung untuk meningkatkan angka harapan hidup.

Bantuan hidup lanjut atau ACLS (Advance Cardiac Life Support) telah menjadi panduan praktik klinik sehari-hari bagi para dokter untuk menolong pasien pasca henti jantung. Renjatan masif akibat buruknya kerja pompa jantung menjadi indikasi kuat untuk dilakukan pertolongan dengan menggunakan dukungan sirkulasi mekanik (mechanical circulation support) atau biasa disebut sebagai alat dukungan pompa jantung buatan yang tersedia di ruang perawatan intensif kardiak seperti ECMO (Extracorporeal Membranous Oxygenator), LVAD (Left Ventricular Assist Device), Impella, dan PBIA (Pompa Balon Intra Aorta).

Sayangnya, saat ini LVAD dan Impella tidak tersedia di Indonesia. Sementara ECMO masih sangat jarang dan terbilang sangat mahal untuk digunakan. Alat dukungan sirkulasi yang masih terjangkau dan paling sering serta banyak tersedia di rumah sakit tipe A adalah mesin PBIA yang bekerja di dalam pembuluh aorta untuk membantu aliran darah berdenyut.

Namun demikian, penggunaan PBIA menjadi perdebatan hangat dalam dunia kedokteran setelah dua studi besar sebelumnya menyatakan bahwa penggunaan PBIA pada pasien renjatan dan pasca henti jantung tidak mempengaruhi angka kematian dan angka harapan hidup dalam 30 hari dan 1 tahun. Diketahui bahwa waktu pemasangan PBIA pada kedua studi besar tersebut berdasarkan pertimbangan operator atau dokter, sebagian besar dilakukan pemasangan lebih dari 24 jam. Oleh karena itu, perlu dibuktikan bahwa pemasangan PBIA dini pasca henti jantung dapat menurunkan angka kematian di rumah sakit. Selain itu, perlu diketahui juga apakah penggunaan PBIA dini pada pasien sindroma koroner akut pasca henti jantung dapat memperbaiki hemodinamik, mencegah kerusakan jaringan, dan kematian.

Penelitian kemudian dilakukan oleh dr. Isman Firdaus, SpJP(K), staf pengajar sekaligus peneliti dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI-Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Melalui hasil penelitian tersebut, peneliti melaporkan bahwa kadar Kaspase-3, kadar laktat, dan kadar interleukin-6 dapat memprediksi kematian pada pasien pasca henti jantung. Pasien pasca henti jantung yang mengalami kerusakan selular berat ditemukan peningkatan kadar Kaspase-3 serum yang tinggi dalam sirkulasi.  Kaspase-3 merupakan substrat penting yang menjadi eksekutor dalam terjadi proses apoptosis selular (kematian sel) baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik. PBIA dilaporkan memperbaiki penurunan kadar laktat pada jam ke-6 namun perbaikan tersebut ternyata tidak mampu memperbaiki mortalitas akibat kematian sel yang sudah tidak dapat diperbaiki, ditambah dengan proses apoptosis yang terjadi pada pasien pasca henti jantung.

Hasil penelitian tersebut kemudian dipresentasikan oleh dr. Isman Firdaus, SpJP(K) pada sidang promosi doktoralnya, Selasa (21/5/2019) lalu di Ruang Auditorium Lt. 3, Gedung IMERI FKUI Salemba. Disertasi berjudul “Efektivitas Insersi Dini Pompa Balon Intra Aorta terhadap Mortalitas Pasien Pasca Henti Jantung karena Sindroma Koroner Akut: Kajian terhadap Laktat, Interleukin-6, Beklin-1, dan Kaspase-3” berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI dengan tim anggota penguji Prof. Dr. dr. Dede Kusmana, SpJP(K); Prof. dr. Suzanna Immanuel, SpPK(K); Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD-K.Ger; dan Prof. Dr. dr. Rochmad Romdoni, SpPD, SpJP(K) (Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga).

Di akhir sidang, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K), selaku ketua sidang mengangkat dr. Isman Firdaus, SpJP(K) sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Melalui sambutannya, promotor Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K) dan ko-promotor Dr. dr. Hananto Andriantoro, SpJP(K), MARS dan Dr. dr. Cindy Elfira Boom, SpAn, KAKV, KAP (Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran) berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bukti klinis terbaik dalam tata laksana pasien sindroma koroner akut pasca henti jantung.

(Humas FKUI)