Peran Inflamasi Usus pada Anak usia di Bawah Dua Tahun terhadap Kejadian Pendek

Pendek atau stunting adalah status gizi anak usia di bawah 5 tahun yang berada di bawah angka -2 standar deviasi (SD) pada Standar Antropometri WHO tahun 2005. Tinggi badan yang optimal bergantung pada interaksi kompleks antara variabel genetik, hormonal, gizi, dan psikososial. Istilah pendek ekuivalen dengan anak-anak yang menderita retardasi pertumbuhan sebagai akibat dari kekurangan gizi jangka panjang, infeksi berulang atau kontinyu. Bayi yang lahir dengan gizi pendek berisiko terhadap perkembangan mental yang tertunda, prestasi sekolah yang buruk, dan mengurangi kapasitas intelektual.

Pendek termasuk dalam masalah gizi global dan menjadi prioritas masalah kesehatan masyarakat, dengan perkiraan 165 juta anak-anak balita mengalami pendek. Jumlah bayi usia di bawah dua tahun (baduta) pendek di Indonesia tahun 2018 sebesar 29,9%, sedangkan Jakarta mencapai 27,2%. Kondisi pendek pada awal kehidupan berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular pada usia dewasa. Menurut kategori WHO, prevalensi balita pendek di Indonesia termasuk dalam kategori prevalensi tinggi.

Intervensi yang dilakukan terhadap balita pendek adalah dengan mempromosikan gerakan Scaling Up Nutrition (SUN) atau percepatan perbaikan gizi yang diluncurkan pada bulan September tahun 2010. Di Indonesia, gerakan ini dikenal dengan Gerakan 1.000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK).

Periode 1.000 hari yaitu 270 hari selama masa kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama anak sejak dilahirkan, merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap anak pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya pada usia dewasa.

Usus merupakan sebuah komponen utama dari penyerapan zat gizi dalam tubuh, bertindak sebagai antar muka antara asupan gizi dan pertumbuhan, dan elemen penting dari sistem kekebalan tubuh. Pendek merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara asupan zat gizi yang tidak optimal, kesehatan usus yang buruk, penyakit infeksi, fungsi imunitas tubuh yang menurun, keturunan, dan hormonal.

Biomerker yang tepat diharapkan dapat menjadi alat untuk diagnosis dini dan tidak bersifat invasif sehingga intervensi yang diberikan dapat bermanfaat serta tepat sasaran. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk memahami peran inflamasi atau peradangan usus pada anak usia di bawah 2 tahun terhadap kejadian pendek.

Peneliti dari Program Doktor Ilmu Biomedik FKUI, Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes, kemudian melakukan penelitian tersebut. Hasil dari penelitian mendapatkan bahwa jumlah anak baduta pendek di suatu kelurahan di Jakarta Timur sebanyak 20,4%. Prevalensi tersebut merepresentasikan kondisi baduta pendek di kelurahan tersebut sudah termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat.

Dalam penelitian ini didapatkan profil subjek penelitian adalah anak pendek dan normal tidak memiliki perbedaan dalam parameter jenis kelamin dan kelompok umur serta memiliki hormon yang membantu dalam pertumbuhan anak (hormon tiroid) yang normal.

Profil keturunan mendapatkan hasil bahwa anak pendek dan normal dipilih dari orang tua yang normal. Untuk profil infeksi parasit usus diperoleh hasil bahwa subjek penelitian tidak mengalami infeksi parasit, kecuali ditemukan infeksi amuba pada 1 anak normal.

Berdasarkan persentase rata-rata asupan diperoleh hasil bahwa asupan energi dan zat gizi makro dari anak pendek dan normal tidak berbeda dan termasuk dalam kategori baik, meskipun asupan karbohidrat dari anak pendek pada bulan tertentu dalam fase penelitian termasuk dalam kategori kurang.

Walaupun dalam penelitian ini tidak berhasil menunjukan bahwa inflamasi usus dan malabsorbsi (gangguan penyerapan) didominasi oleh anak pendek, tetapi penelitian ini berhasil mengungkap bahwa inflamasi usus terjadi pada anak pendek dan normal serta dapat menurunkan indikator panjang badan berdasarkan umur dari kedua anak tersebut.

Inflamasi usus yang terjadi pada anak pendek dan normal juga berkorelasi dengan malabsorbsi. Dari profil infeksi parasit usus dapat disimpulkan bahwa infeksi parasit usus tidak berkorelasi dengan inflamasi usus dan malabsorbsi.

Pemaparan hasil penelitian tersebut dipresentasikan oleh Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes pada sidang promosi doktoralnya, Senin (17/6/2019) lalu di Ruang Teaching Theatre Lt.6, Gedung IMERI FKUI Salemba. Disertasi berjudul “Peran Inflamasi Usus pada Anak Usia di Bawah 2 Tahun terhadap Kejadian Pendek” berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji Prof. Dr. dr. Badriul Hegar Syarif, SpA(K) dengan anggota tim penguji Prof. dr. Fransiscus D. Suyatna, PhD, SpFK(K); Dr. Drs. Heri Wibowo, M.Biomed; dan Dr. Minarto, MPS (Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia).

Di akhir sidang, Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK, selaku ketua sidang mengangkat Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Biomedik di FKUI.

Melalui sambutannya, promotor Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K) dan ko-promotor Prof. dr. Agnes Kurniawan, PhD, SpParK dan Dr. Moesijanti YE Soekatri, MCN (Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II) berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai peran inflamasi usus terhadap kejadian anak pendek usia di bawah 2 tahun.

Orang tua yang memiliki anak usia di bawah 2 tahun disarankan dapat memberikan asupan makanan yang optimal, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, memberikan ASI secara eksklusif dan optimal serta tidak memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) sebelum umur 7 bulan karena akan mengganggu keseimbangan mikroorganisme usus dan dapat menyebabkan inflamasi usus.

(Humas FKUI)