Penggunaan Minyak Kelapa untuk Pencegahan Dermatitis Tangan Akibat Kerja pada Pengrajin Batik

Sejak tahun 2009, United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan batik sebagai warisan budaya bangsa. Sejak saat itu pula, industri batik berkembang pesat, mulai dari pulau Jawa hingga menyebar hampir ke seluruh provinsi di Indonesia. Berkembangnya industri batik tentu membawa dampak positif, yaitu membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat sebagai pengrajin batik. Namun, dibalik itu, pengrajin batik juga berisiko mengalami gangguan kesehatan, salah satunya penyakit kulit akibat kerja (PKAK).

Dermatitis kontak (DK) merupakan kelainan kulit paling sering terjadi di antara semua penyakit kulit akibat kerja. Yaitu sebesar 90–95%. Dermatitis pada tangan merupakan kelainan kulit yang paling sering ditemukan dibandingkan area tubuh lain. Pengrajin batik merupakan kelompok berisiko tinggi mengalami dermatitis tangan akibat kerja (DTAK). Upaya pencegahan menggunakan alat pelindung diri (APD) fisik tidak memberi perlindungan optimal sehingga dibutuhkan intervensi lain berupa APD kimia.

Pelembap yang kaya kandungan lemak mampu mencegah iritasi pada kulit, memperbaiki sawar kulit, dan mencegah kekambuhan dermatitis. Minyak kelapa merupakan bahan tradisional yang popular digunakan untuk perawatan kulit sejak turun-temurun, kaya kandungan asam lemak terutama asam laurat, serta berfungsi sebagai pelembap yang bersifat mempertahankan air di dalam kulit bila diaplikasikan dalam konsentrasi yang tepat. Sementara gliserin merupakan humektan (pelembab) yang baik yang mampu menarik air dan menyimpannya di dalam kulit.

Pelembab yang tersedia saat ini mempunyai variasi yang sangat besar pada komposisi dan kandungan lemaknya. Pada saat yang bersamaan, jenis pekerjaan dan pajanan lingkungan kerja juga berbeda, sehingga seringkali produk yang tersedia tidak efektif dalam mencegah dan penanganan DTAK. Pemilihan pelembab yang tidak tepat dapat memperburuk DTAK, sehingga sebaiknya disesuaikan dengan pajanan di lingkungan kerja.

Hingga saat ini, belum ada rujukan atau panduan yang didukung bukti ilmiah mengenai jenis pelembab dan frekuensi optimal untuk  mencegah DTAK, khususnya pada jenis pekerjaan tertentu. Selain efektivitas, perlu juga diperhatikan ketersediaan, kemudahan dalam aplikasi, dan efek kosmetik penggunaan pelembab. Bau yang menyengat atau tekstur pelembab yang lengket akan memengaruhi adherensi penggunaan pelembab. Melihat permasalahan tersebut, perlu dirancang formula krim pelembab dengan kandungan lemak dan humektan yang aman dan efektif untuk pencegahan sekunder dermatitis pada pengrajin batik dengan DTAK. Perlu juga diketahui kadar pelembab krim minyak kelapa yang dapat bertahan dan menjaga hidrasi air di stratum korneum (lapisan kulit terluar) sehingga dapat memberi proteksi sawar kulit secara optimal.

Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM sekaligus peneliti dari Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, dr. Windy Keumala Budianti, SpKK melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan dermatofarmakokinetik pelembab yang mengandung minyak kelapa dan gliserin untuk pencegahan sekunder dermatitis-tangan pada perajin batik, dibandingkan dengan krim gliserin saja. Penelitian tersebut dilakukan di sentra batik Bantul dan Kulonprogo, Yogyakarta dengan melibatkan 32 pengrajin batik lelaki di bidang pewarnaan dan pencucian berusia 25–60 tahun dengan dermatitis-tangan akibat kerja.

Dari hasil penelitian tidak ditemukan tanda dan gejala interaksi buruk antara pelembab dengan pajanan bahan yang digunakan saat bekerja. Temuan ini mendukung rekomendasi penggunaan pelembab berbahan aktif minyak kelapa dan gliserin secara rutin, minimal tiap 12 jam per hari, kepada pengrajin batik bagian pewarnaan dan pencucian, yang berjalan paralel dengan program kesehatan kerja. Diperlukan diseminasi informasi dan pendekatan melalui edukasi bagi para pengrajin, pemilik industri batik, dan tenaga kesehatan antara lain mengenai upaya keselamatan dan kesehatan di lingkungan kerja, pengenalan bahan iritan dan alergen di lingkungan kerja,  penggunaan APD yang benar dan sesuai, perawatan kulit secara komprehensif pada pencegahan DTAK, serta pendekatan melalui regulasi kebijakan pemerintah, berkaitan dengan program BPJS Ketenagakerjaan. Upaya ini menjadi salah satu strategi menurunkan biaya kesehatan yaitu dengan meningkatkan usaha pencegahan karena DTAK merupakan salah satu kondisi kulit yang dapat dicegah.

Pemaparan hasil penelitian tersebut dipresentasikan oleh dr. Windy Keumala Budianti, SpKK pada sidang promosi doktoralnya, Kamis (17/1/2019) lalu di Ruang Auditorium Lt. 3, Gedung IMERI FKUI Salemba.

Disertasi berjudul “Penilaian Efektivitas dan Dermatofarmakokinetik Krim Pelembap Minyak Kelapa untuk Pencegahan Sekunder Dermatitis-Tangan Akibat Kerja pada Perajin Batik” berhasil dipertahankan di hadapan tim penguji. Bertindak selaku ketua tim penguji adalah Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI dengan anggota tim penguji Prof. dr. Fransiscus D. Suyatna, SpFK, PhD; Dr. dr. Minarma Siagian, MS, AIF; dan Prof. Dr. dr. Cita Rosita S. Prakoeswa, SpKK(K) (Universitas Airlangga).

Di akhir sidang, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, selaku ketua sidang mengangkat dr. Windy Keumala Budianti, SpKK sebagai Doktor dalam bidang Ilmu Kedokteran di FKUI. Melalui sambutannya, promotor Prof. Dr. dr. Rustarti Retno W. Soebaryo, SpKK(K) dan ko-promotor dr. Muchtaruddin Mansyur, SpOk, PhD dan Pharm. Dr. Joshita Djajadisastra, MS, PhD, Apt (Fakultas Farmasi Universitas Indonesia) berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bermanfaat bagi pengrajin batik, perusahaan formal dan informal batik dalam usaha pencegahan DTAK, serta mendukung manfaat pemberian pelembab dalam usaha perlindungan kulit, selain penggunaan APD.

(Humas FKUI)